Rabu, 28 Juni 2017

Kisah Islamnya Umair bin Wahab

“Sungguh Umair telah menjadi seseorang yang lebih aku cintai dari sebagian anak-anakku.” (Umar bin al-Khattab)

Umair bin Wahab al-Jumahi pulang dari Badar dengan selamat, namun dia meninggalkan anaknya di belakangnya sebagai tawanan di tangan kaum muslimin.

Umair khawatir kaum muslimin akan melakukan sesuatu yang buruk terhadap anaknya atas dosa-dosa bapaknya, menyiksanya dengan siksaan terburuk sebagai balasan atas penderitaan yang telah dia timpakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sebagai hukuman atas siksaan yang telah dia timpakan kepada para sahabatnya.

Di suatu pagi, Umair menuju masjid untuk thawaf di Ka’bah dan memohon keberkahan kepada berhala-berhalanya, dia melihat Shafwan bin Umayyah[1] yang sedang duduk di sisi Hijir,[2] dia berjalan kepadanya dan mengucapkan, “Im shabahan.[3] Wahai sayid Quraisy.”

Shafwan berkata, “’Im shabahan wahai Abu Wahab. Duduklah, kita berbicara sebentar, kita menghabiskan waktu dengan berbicara.”

Umair pun duduk di depan Shafwan bin Umayyah, dua laki-laki ini mulai berbicara mengenang Badar, mengenang musibahnya yang besar, menghitung tawanan-tawanan yang jatuh di tangan Muhammad dan para sahabatnya, berduka cita atas kematian para pemuka Quraisy di ujung pedang kaum muslimin dan dilemparkannya jasad mereka ke dasar sumur di Badar. Maka Shafwan menarik nafas sedih seraya berkata, “Demi Allah tidak ada kebaikan dalam hidup ini sesudah mereka.”

Umair berkata, “Kamu benar, demi Allah.” Kemudian Umair diam sesaat lalu dia melanjutkan, “Demi Rabb Ka’bah, kalau aku tidak memikul utang yang saat ini aku tidak memiliki sesuatu yang bisa aku gunakan untuk melunasinya. Dan keluarga, dimana aku khawatir mereka akan terlunta-lunta sesudahku, niscaya aku akan pergi kepada Muhammad dan membunuhnya, aku akan menghabisi perkara dan mengakhiri keburukannya.”

Umair melanjutkan dengan suara pelan, “Keberadaan anakku Wahab di antara mereka membuat kehadiranku ke Yatsrib tidak menimbulkan kecurigaan pada mereka.”

Shafwan bi Umayyah memanfaatkan ucapan Umair bin Wahab, dia tidak ingin melepaskan peluang ini begitu saja, maka dia berkata, “Wahai Umair, biarkan aku yang memikul seluruh utang-utangmu, aku akan melunasinya sebesar apapun. Dan keluargamu, akan aku akan menanggung kehidupan mereka bersama dengan keluargaku, selama aku dengan mereka masih hidup. Hartaku melimpah, cukup untuk membiayai mereka dan membuat mereka hidup makmur.”

Umair berkata, “Kalau begitu simpanlah perbicaraan kita ini, jangan katakan kepada siapa pun.”

Maka Shafwan berkata, “Aku menjaminnya untukmu.”

Umair meninggalkan al-Haram sementara api kebencian bergolak di dadanya terhadap Muhammad, dia langsung menyiapkan segala perlengkapannya untuk melaksanakan tekadnya, dia tidak perlu khawatir dicurigai oleh seseorang dalam perjalanannya karena dia termasuk orang-orang Quraisy yang masih mempunyai urusan dengan kaum muslimin terkait dengan tawanan perang Badar, mereka hilir mudik ke Madinah untuk membebaskan tawanan mereka.

Umair mengasah pedangnya setajam mungkin dan menaburkan racun padanya.

Umair menyiapkan kendaraannya, dan naik ke atas punggungnya.

Dia bergerak menuju Madinah dengan niat buruk dan tekad jahat memenuhi sesuatu di dalam jubahnya.

Umair tiba di Madinah, dia menuju masjid hendak menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , setibanya dia di dekat pintu masjid, dia menderumkan onta dan turun dari punggungnya.

Umar bin al-Khattab pada saat itu sedang duduk bersama sebagian sahabat di dekat pintu masjid, mereka membicarakan Badar dan apa yang dibawa olehnya berupa tawanan perang dari orang-orang Quraisy dan korban mereka, mereka mengenang kepahlawanan-kepahlawanan kaum muslimin dari kalangan orang-orang Muhajirin dan Anshar, mereka membicarakan kemenangan yang Allah Ta’ala anugerahkan kepada mereka, kekalahan dan kehinaan yang Allah Ta’ala timpakan kepada musuh mereka.

Tiba-tiba Umar menoleh, dia melihat Umair bin Wahab turun dari punggung kendaraannya dan berjalan menuju masjid dengan menenteng pedangnya, maka Umar berdiri dengan perasaan cemas, dia berkata, “Anjing, musuh Allah Umair bin Wahab. Demi Allah, dia tidak datang kecuali bermaksud jahat. Dia telah mempengaruhi orang-orang musyrikin di Mekah untuk memusuhi kami dan dia adalah mata-mata mereka atas kami sebelum terjadi perang Badar.”

Kemudian Umar berkata kepada rekan-rekannya, “Pergilah kalian kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetaplah kalian di samping beliau, berhati-hatilah terhadap kelicikan orang busuk itu.”

Kemudian Umar bergegas menuju Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dia berkata kepada beliau, “Ya Rasulullah, ini musuh Allah Umair bin Wahab telah datang dengan menghunus pedangnya, menurutku dia tidak datang kecuali dengan maksud jahat.”

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bawa dia masuk kepadaku.”

Maka al-Faruq membawa Umair bin Wahab kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mencengkeram kerah bajunya dan mengalungkan tali pedangnya di lehernya.

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya dalam kondisi demikian, beliau bersabda, “Lepaskan dia wahai Umar.” Maka Umar melepaskannya. Kemudian beliau bersabda kepada Umar, “Mundurlah dariku.” Maka Umar mundur. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghampiri Umair bin Wahab dan beliau bersabda, “Mendekatlah wahai Umair.” Umair berkata, “An’im shabahan.” Ini adalah ucapan salam jahiliyah.

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Allah telah memulaikan kami dengan sebuah penghormatan yang lebih baik dari ucapanmu itu wahai Umair. Allah telah memuliakan kami dengan salam, ia adalah penghormatan untuk penduduk surga.”

Maka Umair berkata, “Demi Allah, engkau sendiri tidak asing dengan penghormatan kami dan engkau belum lama meninggalkannya.”

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu datang wahai Umair?”

Umair menjawab, “Aku datang dengan harapan engkau berkenan melepaskan tawanan yang ada di tanganmu, berbuat baiklah kepadanya demi aku.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Lalu mengapa pedang itu ada di pundakmu?”

Umair menjawab, “Pedang yang buruk dan tidak berguna apapun bagi kami di perang Badar.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencercanya, “Katakan kepadaku dengan jujur, apa yang membuatmu datang kepadaku?”

Umair menjawab, “Aku tidak datang kecuali untuk itu.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak demikian, akan tetapi kamu duduk bersama Shafwan bin Umayyah di Hijir, lalu kalian berdua mengenang orang-orang Quraisy yang dilemparkan ke sumur Badar. Kamu berkata, ‘Kalau bukan karena utang yang aku pikul dan keluarga yang aku tanggung niscaya aku akan berangkat menemui Muhammad untuk membunuhnya’. Lalu Shafwan bin Umayyah memikul utangmu dan menjamin kehidupan keluargamu dengan syarat kamu membunuhku. Allah Ta’ala menghalangimu untuk melakukan hal itu.”

Umair terhenyak sesaat, kemudian dia berkata, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah.”

Kemudian dia buru-buru menambahkan, “Ya Rasulullah, dulu kami mendustakanmu dengan tidak mempercayai berita langit yang engkau bawa dan wahyu yang turun kepadamu, akan tetapi ceritaku dengan Shafwan bin Umayyah hanya diketahui oleh kami berdua. Demi Allah, sungguh aku yakin bahwa yang menyampaikannya kepadamu hanyalah Allah. Segala puji bagi Allah yang telah menggiringku kepadamu sehingga Dia membimbingku kepada Islam.”

Kemudian Umair bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang haq selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, dia masuk Islam.

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat, “Jadikanlah saudara kalian ini paham (dengan) agamanya dan ajarilah dia Alquran serta bebaskanlah tawanannya.”

Kaum muslimin berbahagia dengan masuknya Umair bin Wahab ke dalam Islam, sampai-sampai Umar bin al-Khatthab berkata, “Seekor babi lebih aku cintai daripada Umair bin Wahab ketika dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , namun sekarang dia lebih aku cintai daripada sebagian anakku sendiri.”

Umair terus menyucikan dirinya dengan ajaran-ajaran Islam, mengisi hatinya dengan cahaya Alquran, menghidupkan hari-hari kehidupannya yang paling mengagumkan dan paling sarat kebaikan, hal ini membuatnya melupakan Mekah dan siapa yang tinggal di sana.

Shafwan bin Umayyah menggantungkan harapan kepada Umair, dia melewati sekumpulan orang-orang Quraisy sambil berkata, “Bergembiralah kalian, sebuah berita besar akan datang kepada kalian dalam waktu dekat, berita yang membuat kalian melupakan kekalahan di Badar.”

Shafwan bin Umayyah menunggu dan menunggu, penantiannya berjalan lama, akhirnya kecemasan mulai menggelayuti benaknya sedikit demi sedikit, sampai dia seperti berguling-guling di atas bara api yang paling panas, dia mulai bertanya-tanya kepada para rombongan musafir yang lewat tentang Umair bin Wahab, namun dia tidak menemukan jawaban yang memuaskan.

Sampai datanglah seorang musafir yang berkata kepadanya, “Umair telah masuk Islam.”

Berita yang terdengar di telinga Shafwan bak halilintar yang menyambar di siang hari karena sebelumnya dia yakin bahwa Umair tidak akan masuk Islam sekalipun seluruh penduduk bumi masuk Islam.

Umair bin Wahab terus mendalami agamanya, menghafal kalam Allah yang bisa dia hafal, sehingga dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Ya Rasulullah aku telah melewati suatu zaman, selama itu aku selalu berusaha untuk memadamkan cahaya Allah, kerap menimpakan gangguan kerasa terhadap orang-orang yang masuk ke dalam agama Allah, aku ingin engkau berkenan memberi izin kepadaku untuk pergi ke Mekah untuk mengajak orang Quraisy kepada Allah dan Rasul-Nya, jika mereka menerimanya dariku maka apa yang mereka lakukan adalah sebaik-baik perbuatan, namun jika mereka berpaling maka aku akan melakukan terhadap mereka seperti dulu aku melakukan terhadap orang-orang yang masuk Islam.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan, maka Umair datang ke Mekah, dia datang ke rumah Shafwan dan berkata, “Wahai Shafwan, sesungguhnya kamu adalah salah seorang pembesar Mekah, salah seorang Quraisy yang berakal, apakah menurutmu apa yang kalian yakini selama ini, yaitu menyembah batu dan menyembelih untuknya benar dalam akal sehingga ia patut dijadikan sebagai agama? Aku telah bersaksi bahwa tiada Ilah yang haq selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”

Kemuian Umair terus berdakwah kepada Allah di Mekah sehingga banyak orang Mekah masuk Islam atas ajakannya.

Semoga Allah memberikan pahala yang besar kepada Umair bin Wahab dan meliputi kuburnya dengan cahaya.[4]

Keterangan:
------------------
[1] Shafwan bin Umayyah bin Khalaf al-Jumahi al-Quraisyi, kun-nyahnya adalah Abu Wahab, masuk Islam setelah Fathu Mekah, seorang laki-laki pemberani dan dermawan, salah seorang pembesar Quraisy, termasuk ke dalam deretan muallaf, ikut dalam perang Yarmuk dan meninggal di Mekah tahun 42 H.
[2] Hijir adalah Hijir Ismail di Ka’bah, daerah yang dikelilingi oleh al-Hathim yang mengelilingi Ka’bah. Orang-orang Quraisy tidak mampu merenovasi Ka’bah di atas pondasinya karena kekurangan biaya yang halal dari kas perbendaraan mereka.
[3] ‘Im Shabahan adalah salah satu ucapan salam di zaman Jahiliyah.
[4] Untuk menambah wawasan tentang Umair bin Wahab, silakan merujuk: Hayah ah-Shahabah, daftar isi di jilid keempat; As-Sirah, Ibnu Hisyam dengan Tahqiq as-Saqa, lihat daftar isi; Al-Ishabah, (III/36), 6058; Thabaqot Ibnu Saad, (IV/146)

Shared from Kisah Muslim for android http://bit.ly/KisahMuslim

Selengkapnya..

Siapakah Khalid bin Walid?

Dia bernama Khalid bin Walid bin Mughirah bin Abdullah bin Umair bin Makhzum. Ia dijuluki saifullah (pedang Allah). Ia seorang pahlawan Islam, panglima para mujahid, dan pemimpin pasukan yang selalu dibantu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia tak pernah terkalahkan baik di masa jahiliah maupun setelah Islam. Ia memiliki ide-ide yang cemerlang, keperkasaan yang tiada tara, dan taktik yang jitu. Ia termasuk salah seorang juru tulis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Gelarnya/kun-yahnya adalah Abu Sulaiman.

Ayahnya:
--
Ayahnya bergelar Abdu Syams. Ia salah seorang hakim di kalangan bangsa Arab pada masa jahiliah. Ia juga salah seorang pemimpin terkemuka suku Quraisy. Kekayaan yang dimilikinya sangat banyak, sampai seluruh suku Quraisy mesti berkumpul untuk membungkus Ka’bah dengan kiswah sementara ia cukup sendirian saja melakukannya. Ia termasuk orang yang mengharamkan khamr di masa jahiliah. Ia sempat bertemu dengan masa Islam pada saat berusia sangat lanjut, akan tetapi ia memusuhi Islam dan menentang dakwahnya, sampai ia meninggal tiga bulan setelah hijrah.

Ibunya

Ibunya bernama Ashma’ atau yang dikenal dengan Lubabah kecil; putri al-Harits bin Harb al-Hilaliah. Ia adalah saudari Lubabah besar; istri Abbas ibn Abdul Muththalib. Keduanya merupakan saudari Maimunah binti al-Harits; istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Khalid bin Walid adalah seorang penunggang kuda yang tangguh dan pahlawan suku Quraisy. Ia terjun dalam Perang Badar, Perang Uhud, dan Perang Khandak di barisan kaum musyrikin. Kemudian, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menginginkan kebaikan untuknya, Allah Subhanahu wa Ta’ala memasukkan rasa cinta Islam ke dalam hatinya.

Khalid bin Walid telah mengikuti berbagai peperangan. Tak sejengkal pun bagian tubuhnya melainkan terdapat “cap” syuhada (bekas besetan pedang atau tusukan tombak). Ia pernah berkata, “Malam di kala aku dihadiahi seorang pengantin atau aku diberi kabar gembira dengan kelahiran anakku tidaklah lebih aku sukai daripada malam yang sangat dingin dalam barisan pasukan kaum Muhajirin di saat paginya aku akan berhadapan dengan musuh.”

WALID MENGAJAKNYA MASUK ISLAM

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke kota Mekah dalam rangkaian umrah qadha. Ikut bersama Rasulullah, al-Walid bin Walid –saudara Khalid bin Walid– yang telah lebih dahulu masuk Islam daripada Khalid.

Walid mencari-cari saudaranya, Khalid, tetapi tidak menemukannya. Ia pun menulis sepucuk surat kepada saudaranya.

“Bismillahirrahmanirrahim. Amma ba’d. Sesungguhnya aku tak menemukan sesuatu yang lebih mengherankan daripada jauhnya pikiranmu dari Islam. Engkau seorang yang cerdas. Tak seorang pun yang tidak mengenal agama seperti Islam. Aku pernah ditanya suatu kali oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang dirimu. Beliau bertanya,

‘Mana Khalid?’

Aku menjawab, ‘Semoga Allah memberinya hidayah.’

Beliau bersabda lagi,

‘Orang seperti Khalid tidak mengenai Islam? Andaikan ia gunakan kehebatan dan ketangguhannya –yang selama ini ia gunakan untuk yang lain– bersama kaum muslimin, tentu akan lebih baik baginya.’

Bergegaslah wahai saudaraku untuk menjemput peluang-peluang kebaikan yang sempat luput darimu.

KISAH ISLAMNYA KHALID BIN WALID

Khalid bin Walid menerima surat dari saudaranya. Surat itu dibacanya dengan seksama. Ia sangat gembira mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya tentang dirinya. Hal itu semakin mendorongnya untuk masuk Islam. Akhirnya Khalid mengarahkan jiwa dan nuraninya pada agama baru yang setiap hari benderanya semakin naik dan berkibar. Cahaya keyakinan pun mulai berkilau di hatinya yang suci. Ia berkata dalam hatinya, “Demi Allah, sungguh jalan inilah yang kurus. Sesungguhnya dia (Muhammad) memang benar-benar seorang rasul. Sampai kapan? Demi Allah aku harus segera menemuinya untuk mengutarakan keislamanmu.”

Pada malam itu Khalid bermimpi seperti berada di sebuah daerah sempit dan gersang. Tak ada tanaman dan tak ada air. Kemudian ia pergi menuju daerah yang hijau dan luas. Setelah bangun, Khalid berkata dalam hati, “sungguh ini sebuah mimpi yang baik.”

Khalid keluar dari rumahnya. Ia sudah bertekad untuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mimpi yang ia alami semalam terus melekat dalam pikirannya dan seolah-olah berada di depan kedua matanya. Ia mencari seseorang yang bisa menemaninya menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di tengah jalan ia bertemu dengan Shafwan bin Umayyah. Khalid berkata pada Shafwan, “Wahai Abu Wahb, tidakkah engkau perhatikan kondisi kita? Kita ibarat gigi geraham sementara Muhammad telah menguasai bangsa Arab dan non-Arab. Kalau kita datang menemui Muhammad lalu kita ikuti langkahnya, niscaya kemuliaan Muhammad juga kemuliaan kita.”

Shafwan bin Umayyah sangat enggan menerima ajakan Khalid. Ia berkata, “Andaikan tak ada lagi yang tersisa selain diriku sendiri, sungguh aku tak akan pernah mengikutinya selama-lamanya.”

Akhirnya Khalid bin Walid meninggalkan Shafwan bin Umayyah. Ia berkata dalam hati, “Orang ini, saudara dan bapaknya terbunuh di Perang Badar.”

Kemudian Khalid berjumpa dengan Ikrimah bin Abu Jahal. Khalid berkata kepada Ikrimah seperti yang dikatakannya kepada Shafwan bin Umayyah. Jawaban yang diberikan Ikrimah juga sama dengan jawaban Shafwan bin Umayyah.

Lalu Khalid kembali ke rumahnya dan mempersiapkan kudanya. Ia mulai melangkah. Tiba-tiba ia bertemu dengan Utsman bin Thalhah yang merupakan sahabat dekatnya. Ia menyampaikan rencananya untuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata Utsman menerima ajakannya. Akhirnya  keduanya pergi dengan tujuan yang sama. Di jalan mereka bertemu dengan Amru bin Ash. Amru berkata pada keduanya, “Marhaban.”

“Marhaban bika,” balas keduanya.

“Mau ke mana kalian?” tanya Amru.

“Apa yang menyebabkan engkau keluar di waktu begini?” keduanya balik bertanya.

“Kalau kalian, apa yang menyebabkan kalian keluar?” Amru balas bertanya.

“Untuk masuk Islam dan mengikuti Muhammad,” jawab Khalid dan Utsman serentak.

“Itulah yang membuat aku datang ke sini,” timpal Amru sambil tersenyum.

Mereka berangkat sampai tiba di Madinah. Di jalan, sebelum bertemu Rasulullah, Khalid bertemu dengan saudaranya; al-Walid. Al-Walid berkata, “Cepatlah. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengetahui kedatanganmu dan beliau sangat gembira dengan kedatanganmu. Beliau sedang menunggu kalian.”

Mereka memeprcepat langkah dan segera masuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Khalid lebih dulu masuk dan ia segera menyampaikan salam pada Rasulullah. Rasulullah membalas salamnya dengan wajah berseri.

Khalid segera berucap, “Sesungguhnya aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa engkau adalah utusan Allah.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Mari ke sini!”

Ketika Khalid bin Walid sudah mendekat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Segala puji bagi Allah yang telah menunjukimu. Aku memang sudah melihat kecerdasan dalam dirimu dan aku berharap semoga kecerdasan itu membawamu pada kebaikan.”

Setelah membaiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Khalid berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah banyak berada pada posisi yang menentang kebenaran, maka berdoalah kepada Allah untuk mengampuniku.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Islam akan menghapus segala dosa yang telah berlalu.”

Khalid melanjutkan, “Wahai Rasulullah, doakanlah aku!”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Ya Allah, ampunkanlah Khalid atas segala perbuatannya yang menghalangi manusia dari jalan-Mu.”

Kemudian Utsman bin Thalhah dan Amru ibnul Ash pun maju dan membaiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sejak hari itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tak pernah memberi sesuatu pun kepada para sahabatnya lebih banyak dari yang diberikannya kepada Khalid bin Walid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berpesan kepada sahabat-sahabat yang lain,

“Jangan sakiti Khalid karena sesungguhnya ia adalah pedang di antara pedang-pedang Allah yang Dia hunuskan pada orang-orang kafir.”

Abu Bakar ash-Shiddiq Menafsirkan Mimpi Khalid

Suatu kali Khalid bin Walid berjumpa dengan Abu Bakar ash-Shiddiq. Ia berkata dalam hati, “Aku akan sampaikan mimpi yang pernah kualami kepada Abu Bakar.”

Setelah Khalid menceritakan kepada Abu Bakar mimpi yang ia alami, Abu Bakar berkata, “Sesungguhnya daerah hijau yang luas itu adalah jalan keluar yang menjadi tempat Allah menunjukimu pada Islam dan sesungguhnya daerah yang sempit itu adalah masa yang engkau lalui dalam kemusyrikan.”

Pembebasan Mekah

Khalid bin Walid telah masuk Islam. Ia membelakangi tuhan-tuhan nenek moyangnya dan seluruh bentuk pujaan kaumnya. Bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin lainnya ia menyongsong dunia baru. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menakdirkannya berada di bawah panji Rasulullah dan kalimat tauhid.

Pada saat pembebasan Mekah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk masuk ke Mekah dari arah atas. Khalid dan orang-orang bersamanya masuk ke Mekah dari tempat yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata ia dihadang oleh beberapa orang kaum Quraisy. Di antara meraka ada Shafwan bin Umayyah, Ikrimah bin Abu Jahal, dan Suhail bin Amru. Mereka mengahalangi Khalid untuk masuk dan bahkan menghunus senjata serta melemparinya dengan ketapel. Khalid mengobarkan semangat sahabat-sahabatnya dan memerangi kaum Quraisy tersebut. Sebanyak 24 orang kaum Quraisy menemui ajal sementara 2 orang kaum muslimin menemui syahadah. Akhirnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyempurnakan pembebasan Mekah untuk Rasul-Nya dan segenap kaum muslimin.

Diutus untuk Menghancurkan Uzza

Patung Uzza terletak di daerah Nakhlah. Suku Quraisy, Kinanah, dan Mudhar sangat mengagungkannya. Orang-orang yang memelihara dan yang menjaganya adalah Bani Syaiban (yang berasal) dari Bani Sulaim dan merupakan sekutu Bani Hasyim.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Khalid bin Walid untuk menghancurkan Uzza. Ketika penjaga patung Uzza yang berasal dari Bani Sulaim mendengar bahwa Khalid bin Walid sedang menuju ke sana untuk menghancurkannya, ia segera menggantungkan pedangnya di pundak patung Uzza tersebut. Kemudian ia naik ke atas bukit yang terletak di dekat sana lalu berkata,

“Wahai Uzza, siapkan dirimu, tak ada yang lain selainmu yang mampu menghadang Khalid yang telah siaga. Siapkan dirimu, karena jika engkau tidak membunuh Khalid, niscaya engkau akan ditimpa dosa yang dekat dan tak berdaya.”

Setelah Khalid sampai di sana, ia segera menghancurkan Uzza. Setelah kembali, Rasulullah bertanya kepadanya,

“Apa yang engkau lihat?”

Khalid menjawab, “Aku tidak melihat apa-apa.”

Rasulullah menyuruhnya untuk kembali ke sana. Ketika Khalid sampai ke tempat itu, dari dalam ruangan tempat patung Uzza dihancurkan keluarlah seorang wanita hitam yang menguraikan rambutnya sambil menaburkan tanah ke kepala dan mukanya. Khalid segera mengayunkan pedangnya dan berakhirlah hidup wanita itu. Khalid berkata,

“Wahai Uzza engkau dikufuri dan dirimu tidak suci. Aku lihat Allah telah menghinakanmu.”

Kemudian Khalid menghancurkan rumah (ruangan) tempat patung itu lalu ia ambil seluruh harta yang ada di sana. Setelah itu ia kembali. Ia ceritakan kepada Rasulullah semua hal yang terjadi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Itulah Uzza dan ia tak akan pernah disembah lagi untuk selama-lamanya.”

PERANG MU’TAH

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim sebuah pasukan yang berjumlah sebanyak 3000 prajurit ke daerah Mu’tah untuk membalas dendam terhadap kematian Harits bin Umair al-Azdi radhiallahu ‘anhu yang diutus oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membawa suratnya kepada Raja Bushra guna menyerunya masuk Islam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih Zaid bin Haritsah untuk memimpin komando pasukan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada mereka,

“Zaid bin Haritsah yang akan menjadi komandan. Jika ia terbunuh maka komando pasukan diambil oleh Ja’far bin Abu Thalib. Jika Ja’far juga terbunuh maka pimpinan diambil oleh Abdullah bin Rawahah. Jika Abdullah bin Rawahah juga terbunuh maka silakan kaum muslimin memilih di antara yang mereka ridhai untuk menjadi pimpinan.”

Berita tentang bergeraknya pasukan muslimin sampai ke telinga musuh. Heraklius, penguasa Romawi, segera mengumpulkan pasukan yang berjumlah lebih dari 100.000 prajurit untuk mempertahankan wilayah Ghasasinah. Turut bergabung ke dalam pasukan tersebut 100.000 orang dari Arab Badui yang musyrik.

Kadua pasukan bertemu di daerah Mu’tah. Peperangan sengit pun mulai berkecamuk. Sebanyak 3.000 orang menghadapi serangan 200.000 orang.

Kaum muslimin terjun ke dalam peperangan yang tak seimbang itu tanpa rasa gentar. Kaum muslimin tidak berperang dengan mengandalkan jumlah, kekuatan, atau banyak pasukan. Mereka berperang dengan agama yang Allah telah muliakan mereka dengannya. Mereka menyongsong pintu-pintu syahadah dengan penuh suka cita dan keberanian yang menakjubkan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi tahu Rasul-Nya semua hal yang terjadi pada para sahabat. Beliau naik ke mimbar. Setelah memuji dan menyanjung Allah Subhanahu wa Ta’ala, beliau bersabda kepada para sahabat yang hadir,

“Sesungguhnya saudara-saudara kalian telah berhadapan dengan musuh. Pertama kali panji dipegang oleh Zaid bin Haritsah. Ia berperang dengan gagah berani sampai akhirnya syahid. Kemudian panji diambil oleh Ja’far bin Abu Thalib. Ia berperang sampai akhirnya juga syahid. Setelah itu panji diambil oleh Abdullah bin Rawahah. Lalu ia berperang sampai akhirnya jatuh syahid. Terakhir, panji diambil oleh pedang di antara pedang-pedang Allah; Khalid bin Walid, maka Allah menenangkan kaum muslimin di bawah komandonya.”

Setelah syahidnya tiga orang komandan kaum muslimin tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menengadahkan wajahnya dan berdoa,

“Ya Allah, dia adalah pedang di antara pedang-pedang-Mu maka menangkanlah ia.”

Sejak hari itu Khalid bin Walid dijuluki dengan saifullah (pedang Allah).

KEJENIUSAN KHALID BIN WALID

Kejeniusan Khalid bin Walid secara militer tampak sangat jelas di Perang Mu’tah. Setelah gugurnya tiga orang komandan sebelumnya, mulanya panji diambil oleh Tsabit bin Aqram radhiallahu ‘anhu. Panji itu dipegangnya dengan tangan kanannya dan diangkatnya tinggi-tinggi di tengah-tengah pasukan muslimin agar barisan kaum muslimin tidak kocar-kacir. Belum beberapa saat Tsabit bin Aqram memegang panji itu, ia segera berlari menuju Khalid bin Walid dan berkata kepadanya, “Ambillah panji ini, wahai Abu Sulaiman.”

Dengan penuh adab dan rendah hati Khalid berkata, “Tidak… tidak… aku tak akan memegang panji itu. Engkau yang lebih berhak memegangnya karena engkau lebih tua dan ikut dalam Perang Badar.”

Tsabit bin Aqram berkata, “Ambillah, karena engkau yang lebih berpengalaman dariku dalam berperang. Demi Allah, aku tidak mengambil panji ini kecuali untuk menyerahkannya kepadamu.”

Kemudian Tsabit bin Aqram berteriak kepada seluruh pasukan, “Apakah kalian ridha dengan kepemimpinan Khalid?”

Mereka serentak menjawab, “Ya.”

Khalid segera mengambil panji dengan tangan kanannya dan membawanya ke depan barisan. Ia berperang dengan sangat berani. Tidak pernah terlihat orang seberani dirinya. Sampai ada sembilan pedangnya patah di tangan dan tidak ada satu pun yang tidak terkena luka kecuali bagian kanannya. Dengan pasukan yang terbatas itu, sepanjang siang di hari pertama peperangan ia berhasil bertahan di hadapan lautan pasukan Romawi yang sangat besar.

Khalid bin Walid merasa perlu untuk melakukan semacam tipu muslihat perang guna menimbulkan rasa takut dan gentar di hati pasukan Romawi dan kaum musyrikin lainnya. Sehingga, ia bisa pulang bersama pasukan muslimin tanpa dikejar oleh pasukan Romawi dan kaum musyrikin. Ia sangat menyadari bahwa untuk bisa lolos dari cengkeraman mereka sangatlah sulit. Seandainya pasukan muslimin teriihat lari, musuh akan mengejar. Saifullah mulai memandangi medan perang yang luas itu dengan kedua matanya yang tajam seperti mata elang. Ia berpikir keras mencari cara melepaskan pasukan muslimin dari krisis yang ada di hadapannya.

Di sini Khalid menampakkan kejeniusan, kemahiran, dan kecerdasannya dalam berinteraksi dengan kondisi yang sangat sulit. Pada pagi hari kedua, Khalid mengubah posisi pasukan dan menyusun strategi dari awal. Pasukan yang semula di barisan depan diletakkannya di barisan belakang dan pasukan di sayap kanan ditempatkannya di sayap kiri, dan begitu juga sebaliknya. Ketika pasukan musuh melihat hal itu, mereka seakan tak mengenali pasukan ‘baru’ ini. Mereka berkata sesamanya, “Bantuan telah datang pada mereka.” Akhirnya mereka mulai merasa gentar.

Setelah kedua pasukan bertemu dan saling menguji kekuatan lawan beberapa saat, Khalid mulai mundur bersama beberapa pasukan sedikit demi sedikit dengan tetap menjaga komposisi barisan pasukan. Pasukan Romawi dan kaum musyrikin tidak berani mengikuti kaum muslimin karena mereka mengira bahwa kaum muslimin sedang menipu mereka dan berusaha melakukan muslihat untuk menjebak mereka ke padang pasir tak bertepi.

Begitulah. Akhirnya pasukan musuh kembali ke negeri mereka dan tidak berpikir untuk mengejar pasukan muslimin. Di bawah komando Khalid bin Walid kaum muslimin berhasil meninggalkan medan perang dalam keadaan selamat sampai kembali ke Madinah.

MEMIMPIN SARIYYAH KE UKAIDIR DAUMAT JANDAL

Pada bulan Rajab tahun 9 Hijriah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim Khalid bin Walid memimpin 420 prajurit menemui Ukaidir bin Abdul Malik dari suku Kindah (sebuah suku di Yaman). Ia adalah seorang Raja Nasrani di daerah Daumat Jandal. Sebelum bergerak, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi berita baik kepada Khalid bahwa ia akan menyerang si Raja yang dalam keadaan lengah dan Khalid akan bisa menangkapnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya engkau akan mendapatinya sedang memburu sapi.”

Khalid berangkat memimpin sariyah-nya menuju Daumat Jandal sampai ia tiba di perbatasan daerah itu. Ia sudah bisa melihat dengan jelas keadaan di dalam daerah tersebut.

Ukaidir bin Abdul Malik adalah seseorang yang sangat gemar berburu sapi. Pada malam itu, ketika ia berada di beranda istannya bersama istrinya, tiba-tiba ada beberapa ekor sapi yang mendorong pintu benteng dengan tanduknya. Istrinya memandang dari atas pintu benteng dan menyaksikan ulah sapi-sapi tersebut.

Dengan penuh heran, istrinya bertanya, “Apakah engkau pernah melihat hal seperti ini sebelumnya?”

Ukaidir bin Abdul Malik menjawab, “Belum, demi Tuhan.”

“Lalu siapa yang membiarkan sapi-sapi tersebut lepas?” tanya istrinya lagi.

“Tak ada seorang pun,” jawab Ukaidir,

Ukaidir bin Abdul Malik memerintahkan pembantunya untuk menyiapkan kudanya. Kemudian ia bersama beberapa orang keluarganya –termasuk saudara Hassan- keluar untuk memburu sapi-sapi itu.

Khalid bin Walid memanfaatkan kesempatan tersebut. Ia segera mengejar mereka. Akhirnya ia dapat menawan Ukaidir bin Abdul Malik. Sementara saudaranya Hassan tewas.

Ukaidir bin Malik mengenakan jubah dari sutra yang ditenun dengan emas. Para sahabat sangat takjub melihat jubah tersebut. Akan tetapi Khalid adalah seseorang yang tidak tertarik pada kesenangan dan perhiasan duniawi. Sedikit pun ia tidak bergerak untuk menyimpan jubah mewah tersebut. Ia bahkan langsung mengirim jubah itu ke Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum ia sampai ke Madinah.

Setelah Khalid bin Walid datang membawa Ukaidir bin Abdul Malik menghadap Rasulullah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamin keselamatannya dan mengadakan perjanjian damai dengannya, dengan syarat ia mesti membayar jizyah. Kemudian Rasulullah membebaskannya dan membiarkannya kembali ke daerahnya.

MEMERANGI ORANG-ORANG MURTAD

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berpulang ke haribaan Tuhannya setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala menenteramkan jiwanya, menyempurnakan nikmat-Nya terhadap hamba-hamba-Nya, dan menyempurnakan agama yang telah Dia ridhai sebagai konsep hidup untuk seluruh makhluk-Nya. Akan tetapi, manusia terbagi dalam beberapa golongan: ada mukmin yang berkeyakinan sempurna, ada mukmin yang imannya masih mudah goyah, ada yang kafir selalu menentang, dan ada munafik yang terbukti kemunafikannya – pagi bersama golongan ini tapi sore bersama golongan yang lain. Musibah besar itu datang secara tiba-tiba kepada kaum muslimin dengan wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti angin kencang, berita yang sangat menyedihkan itu tersebar ke seluruh pelosok Jazirah Arab.

Di sini kemunafikan menampakkan wujudnya. Yahudi dan Nasrani pun mulai melihat-lihat peluang. Ahli kebohongan, baik laki-laki maupun perempuan mulai menyebarkan berita-berita dusta. Kelompok-kelompok kaum murtad dan orang-orang yang enggan membayar zakat mulai mempersiapkan diri untuk melancarkan konspirasi berbahaya, Abu Bakar menerima tanggung jawab kekhilafan. Ia bersikap sangat tegas dan menolak segala bentuk ‘basa-basi’ menghadapi kaum munafik dan murtad.

Abu Bakar ash-Shiddiq menyiapkan pasukan muslimin dan memimpin pasukan secara langsung menuju suku-suku yang murtad dari Bani Abs, Bani Murrah, dan Dzubyah. Ia menolak setiap usaha sahabat-sahabat terkemuka untuk menghalangi niatnya atau menyerahkan komando pasukan kepada sahabat yang lain sementara ia tetap tinggal di Madinah dalam kondisi yang sulit itu.

Perang pun berlangsung dengan sengit. Dengan karunia Allah dan keberanian Abu Bakar, kaum muslimin memperoleh kemenangan gemilang dalam perang tersebut. Belum berapa lama pasukan muslimin beristirahat di Madinah, Khalifah kembali memanggil mereka untuk bersiap menghadapi perang kedua.

Berita tentang pemberontakan kaum murtad dari waktu ke waktu semakin mengkhawatirkan. Akhirnya ash-Shiddiq kembali berniat untuk memimpin pasukan kedua ini secara langsung. Para sahabat terkemuka sudah tidak bisa menahan diri lagi. Mereka telah sepakat agar Khalifah tetap berada di Madinah.

Melihat kesepakatan para sahabat tersebut, khalifah akhirnya bersedia untuk tetap berada di Madinah. Kemudian ia menoleh pada Khalid bin Walid, sang pedang Allah, pahlawan Islam, panglima jenius, seseorang yang tak pernah absen dari berbagai peperangan dan sangat terlatih serta berpengalaman di arena jihad. Khalifah memanggilnya dan ia segera mengabulkan panggilan itu. Khalifah menyerahkan komando pasukan kepadanya dan ia taat menerima amanah tersebut.

Setelah itu Khalifah mengumumkan hal tersebut kepada seluruh pasukan. Ia berkata, “Berangkatlah dengan nama Allah dan diiringi keberkahan-Nya. Pemimpin kalian adalah Khalid bin Walid, maka dengarlah arahannya dan patuhlah kepadanya.”

Setelah itu Abu Bakar minta bicara empat mata dengan Khalid. Abu Bakar berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Hamba Allah dan saudara suatu kaum yang paling baik adalah Khalid bin Walid. Khalid bin Walid adalah pedang di antara pedang-pedang Allah yang Allah hunuskan kepada kaum kafir dan munafikin’.”

Kemudian ia berwasiat kepada Khalid, “Wahai Khalid, engkau harus senantiasa bertakwa kepada Allah dan mengutamakan Allah dari apa saja, serta berjihad di jalan-Nya. Sebagaimana engkau lihat, aku telah mengangkatmu sebagai pemimpin terhadap kaum muhajirin dan Anshar yang termasuk ahli Badar (orang-orang yang ikut ambil bagian dalam Perang Badar).”

PERANG YAMAMAH

Khalid bin Walid membawa pasukannya dari satu peperangan ke peperangan yang lain dan dari satu kemenangan pada kemenangan yang lain sampai pada peperangan yang sangat menentukan, yaitu Perang Yamamah. Di Yamamah, Bani Hanifah beserta suku-suku lain yang bergabung dengan mereka telah mempersiapkan pasukan murtad yang paling berbahaya yang dikomandoi oleh Musailamah al-Kadzdzab. Baru saja Musailamah mendengar bahwa Khalid bin Walid bersama pasukannya sedang menuju padanya, ia segera mempersiapkan barisan pasukannya dan menjadikannya benar-benar menjadi bahaya yang hakiki serta musuh yang menakutkan bagi muslimin.

Khalid bin Walid berhenti di daerah berpasir di perbatasan Yamamah. Musailamah datang dengan penuh congkak dan sombong. Jumlah pasukannya sangat banyak dan panjang seolah-olah barisan itu tak berujung. Khalid menyerahkan bendera dan panji pada masing-masing komando sayap pasukan.

Kedua pasukan pun bertemu. Dimulailah peperangan yang sangat menegangkan. Berturut-turut syuhada muslimin berguguran. Khalid menyadari keunggulan musuh dari segi jumlah. Akan tetapi dengan pandangan yang dalam dan cerdas, ia menangkap satu titik kelemahan dalam pasukannya, yaitu kebanyakan mereka adalah Arab Badui yang baru masuk Islam. Kemudian Khalid menyeru, “Wahai kaum Anshar…” kaum Anshar datang kepadanya satu demi satu.

Kemudian ia menyeru lagi, “Wahai kaum Muhajirin…” Kaum Muhajirin pun berkumpul di sekitarnya. Lalu ia ulang kembali formasi pasukannya di medan perang. Ia tempatkan pasukan dari Arab Badui di bagian belakang. Kemudian ia menyeru, “Jagalah jarak dari yang lain. Hari ini kita akan melihat ketangguhan masing-masing kelompok.”

Mereka mengambil jarak satu sama lain. Kaum Muhajirin berada di bawah satu panji dan kaum Anshar juga berada di bawah satu panji. Dalam hitungan beberapa menit saja arah peperangan berubah. Sekarang pasukan Musailamah yang jatuh berguguran bagaikan laron yang berjatuhan. Arena perang dipenuhi jasad pasukan Musailamah sampai akhirnya ia sendiri binasa.

PEMBEBASAN IRAK

Setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala mengaruniakan kemenangan pada kaum muslimin dalam memerangi orang-orang murtad dan orang yang enggan membayar zakat, Abu Bakar ash-Shiddiq menyadari bahwa bahaya besar yang selalu mengancam daulah Islam yang berada di perbatasan wilayah muslimin, yaitu Persia di Irak dan Romawi di daerah Syam. Oleh karena itu, ash-Shiddiq segera memerintahkan saifullah Khalid bin Walid untuk berangkat bersama pasukannya menuju Irak.

Sang pejuang Islam pun berangkat ke Irak. Ia mulai dengan operasi mengirim surat kepada seluruh gubernur bawahan Kisra dan wakil-wakilnya di berbagai kota dan pelosok daerah Irak. Ia ajak mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan masuk ke dalam Islam. Jika tidak mau, mereka mesti membayar jizyah atau pilihan terakhir yaitu perang.

Mata-mata yang disebarkannya di berbagai tempat melaporkan tentang jumlah pasukan yang sangat banyak yang telah disiapkan oleh pemimpin-pemimpin Persia di Irak. ‘Pedang Allah yang terhunus’ tidak menyia-nyiakan waktunya. Ia segera mempersiapkan pasukannya untuk menghancurkan kebatilan dan seolah-olah bumi dilipatkan untuknya secara sangat menakjubkan.

Dari pertempuran Dzat as-Salasil dan terbunuhnya Hurmuz – eorang panglima pasukan perisa– di tangan Khalid bin Walid menuju pertempuran al-Madzar, lalu pertempuran al-Walijah, pertempuran Ullais, pertempuran Umighyasyiyya, kemudian penaklukan al-Hirah –ibu kota Persia di Irak– lalu pertempuran al-Anbar, pertempuran Ain at-Tamar, lalu menaklukkan Daumat Jandal di mana rajanya melanggar perjanjian yang telah disepakati bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian pertempuran Khanafis, pertempuran al-Hashid, pertempuran al-Mudhayyah, dan pertempuran al-Firadh.

Setiap saifullah, Khalid bin Walid, meraih satu kemenangan yang membanggakan seluruh kaum muslimin, ia segera disambut oleh kemenangan lain yang lebih besar dan lebih hebat. Belum sempat Persia bangun dari sebuah kekalahan telak, mereka kembali menderita kekalahan yang jauh lebih telak dan menyakitkan di hadapan pahlawan Islam yang tak terkalahkan.

Khalid bin Walid mengirim kabar gembria dan seperlima dari harta rampasan perang kepada Abu Bakar ash-Shiddiq. Ash-Shiddiq sangat gembira mendapat kabar tersebut. Lalu ia berkhotbah di depan para sahabat sambil memuji dan mengakui kejeniusan Khalid bin Walid dalam strategi perang yang luar biasa, dan ash-Shiddiq lebih tahu dengan tokoh-tokoh yang telah ditunjuknya. Ia berkata, “Wahai sekalian kaum Quraisy, sesungguhnya ‘singa’ kalian telah mengalahkan singa yang sesungguhnya, lalu ia merobek-robek dagingnya. Tak akan ada lagi wanita yang mampu melahirkan sosok seperti Khalid bin Walid.”

PETUALANGAN YANG BERBAHAYA

Khalid bin Walid menjadikan Hirah sebagai markas (pangkalan militer) utama di Irak. Dari sana ia mulai bergerak jika ingin terjun ke sebuah peperangan dan ke sana ia akan kembali jika situasi sudah tenang. Setelah selesai dari pertempuran Firadh dan daerah-daerah perbatasan Syam sudah ditaklukkan, ia menginstruksikan pasukannya untuk kembali ke Hirah. Ia memerintahkan Ashim bin Amru untuk mengomandokan barisan depan pasukan dan Syajarah Ibnul A’azz untuk mengomandokan barisan bagian belakang. Khalid sendiri berjalan di bagian belakang pasukan.”

Pasukan mulai bergerak dengan membawa segala peralatan dan perangkat perang yang berat-berat. Di sini Khalid melakukan sebuah petualangan yang sangat berbahaya. Dengan beberapa orang-orang dekatnya ia pergi ke Masjid Haram untuk melaksanakan ibadah haji. Ia pergi ke Mekah dengan melewati jalan yang belum pernah ditempuh sebelumnya. Ia melewati padang pasir yang sangat sulit dan melalui jalan yang sangat berbahaya. Akhirnya ia sampai di Mekah dan berhasil melaksanakan ibadah haji tahun itu.

Setelah itu ia segera kembali ke dalam barisan pasukan (bagian belakang) sebelum mereka sampai di Hirah. Tak ada yang menyadari petualangan dan ibadah haji yang dilakukan oleh Khalid selain beberapa orang yang ikut bersamanya.

MENAKLUKKAN WILAYAH-WILAYAH ROMAWI

Abu bakar ash-Shiddiq menyiapkan pasukan yang sangat banyak untuk menaklukkan Romawi. Ia telah memilih sahabat-sahabat terbaik untuk memimpin pasukan-pasukan tersebut. Di antaranya adalah Abu Ubaidah ibnul Jarrah radhiallahu ‘anhu, Amru bin Ash radhiallahu ‘anhu, Yazid bin Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu, dan Syuhrabil bin Hasanah radhiallahu ‘anhu.

Ketika berita tentang pasukan kaum muslimin sampai ke telinga Heraklius, pengauasa Romawi, ia menyarankan kepada para menteri dan panglima-panglimanya untuk berdamai dengan kaum muslimin dan tidak berperang. Tapi, para menteri dan panglimanya tidak mau menerima saran itu. Mereka bersikeras untuk tetap berperang. Mereka lalu menghimpun pasukan yang jumlahnya mencapai 240.000 prajurit.

Pasukan Romawi berhenti di sebuah lemah dan berkemah di pinggir lembah tersebut. Mereka menjadikan lembah itu sebagai parit yang membatasi mereka dengan kaum muslimin. Akhirnya kaum muslimin mengepung mereka selama tiga bulan. Kedua pasukan sama-sama tidak bisa saling menyerang. Ketika pengepungan tersebut cukup lama dan cukup berat bagi kaum muslimin, mereka mengirim surat kepada Khalifah untuk mengabarkan jumlah pasukan Romawi yang sangat banyak dan meminta bantuan pada Khalifah.

Setelah ash-Shiddiq membaca surat dari para komandan tersebut, segera terlintas dalam pikirannya nama seorang pembungkam kaum murtad, penakluk Irak dan membersihkannya dari Persia, pedang Allah yang selalu terhunus, dan pahlawan yang tak terkalahkan, yaitu Khalid bin Walid radhiallahu ‘anhu. Wajah Khalifah segera bersinar. Ia berkata dalam hati, “Khalid yang cocok untuk tugas ini. Demi Allah, aku akan membuat bangsa Romawi melupakan bisikan-bisikan setan dengan kedatangan Khalid bin Walid.”

Ash-Shiddiq menulis surat kepada Khalid bin Walid. Dalam surat itu ia menyayangkan petualangan Khalid yang berbahaya tapi sekaligus memberi selamat atas kemenangannya. Khalifah juga mengingatkan dan memberinya nasihat lalu memotivasinya untuk membantu saudara-saudaranya para komandan perang di Syam dan menyempurnakan nikmat Allah terhadapnya dengan menaklukkan Syam sebagaimana ia telah menaklukkan Irak, serta dengan menghancurkan kekuatan Romawi sebagaimana ia telah menghancurkan kekuatan Persia.

Khalifah menulis kepadanya, “Berangkatlah sampai engkau berjumpa dengan pasukan kaum muslimin di Yarmuk karena sesungguhnya mereka sekarang dalam keadaan sedih dan gelisah. Tapi jangan lakukan lagi apa yang telah engkau lakukan karena sesungguhnya –dengan pertolongan Allah– tak seorang pun yang dapat membuat pasukan gelisah seperti halnya dirimu dan tak seorang pun yang dapat menghilangkan kecemasan dari pasukan selain dirimu. Semoga niat yang baik dan kemenangan selalu menyertaimu, wahai Abu Sulaiman. Maka, sempurnakanlah (perjuangan) dan semoga Allah menyempurnakan (nikmat-Nya) untukmu. Jangan sampai kesombongan merasuki dirimu yang akan membuatmu merugi dan hina. Jauhi dirimu dari menyebut-nyebut amal karena hanya Allah yang berhak menyebut-nyebut karunia-Nya dan Dia-lah yang berhak memberi balasan.”

Khalifah melanjutkan, “Berangkatlah sampai engkau tiba di Syam. Di sana engkau akan bertemu Abu Ubaidah ibnul Jarrah bersama pasukannya. Apabila engkau berjumpa dengan mereka maka engkaulah yang memimpin seluruh pasukan. Wassalamu alaikum warahmatullah.”

IMAN DAN ETIKA YANG MULIA

Khalid bin Walid menaati perintah Abu Bakar ash-Shiddiq. Ia amanahkan wilayah Irak kepada Mutsanna bin Haritsah. Bersama pasukannya. Ia bergerak menuju posisi pasukan muslimin di wilayah Syam.

Sebelumnya, ia telah mengobarkan semangat dan mengokohkan iman seluruh pasukannya. Ia berkata, “Jangan sampai semangat juang kalian berbeda dan jangan sampai keyakinan kalian lemah. Ketahuilah bahwa sesungguhnya pertolongan itu datang sesuai dengan niat yang terhunjam dan pahala akan diberikan sesuai dengan tingkat keikhlasan. Sesungguhnya seorang muslim tidak sepantasnya membanggakan sesuatu yang ia lakukan karena itu semua atas pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Kata-kata itu telah memberikan pengaruh yang besar dalam jiwa kaum muslimin sebagaimana yang diharapkan oleh Khalid bin Walid. Dengan semangat luar biasa mereka melintasi padang pasir yang sangat gersang. Khalid sendiri semakin bertambah keyakinan dan semangatnya saat menyaksikan semangat pasukannya dalam berkorban.

Ia berpikir tentang kondisi kaum muslimin yang sedang terdesak oleh pasukan Romawi yang berjumlah lebih besar dan memilki persenjataan yang lebih lengkap. Ia juga berpikir tentang Amin al-Ummah (orang kepercayaan umat), Abu Ubaidah ibnul Jarrah, yang sedang memimpin pasukan Islam di sana. Khalid berpendapat untuk memberi tahu mereka tentang datangnya bantuan yang akan memberikan ketenangan dan kedamaian di dalam jiwa pasukan muslimin yang berada di Syam.

Ia juga berpikir –setelah Khalifah mengamanahkan kepadanya komando umum pasukan dan mengutusnya untuk membawahi komandan-komandan pasukan di Syam– untuk menyampaikan kepada Abu Ubaidah bahwa ia sangat menyadari dan mengakui posisi dan derajatnya di tengah-tengah kaum muslimin. Maka Khalid mengirim dua pucuk surat, satunya ia kirim untuk seluruh pasukan kaum muslimin di Syam yang berbunyi,

“Amma ba’du, sesungguhnya surat Khalifah telah sampai kepadaku dan menyuruhku untuk bergerak menuju kalian dan aku sudah siaga serta akan segera sampai. Jika sudah kalian tangkap bayang-bayang kudaku, maka bergembiralah untuk menyempurnakan janji Allah dan pahala yang besar dari sisi-Nya. Semoga Allah menjaga kita semua dengan keyakinan yang kuat dan membalasi kita dengan pahala mujahid terbaik.”

Surat kedua ia kirim langsung secara khusus pada Abu Ubaidah,

“Amma ba’du, sesungguhnya aku berdoa kepada Allah untuk menurunkan kepada kita rasa aman di hari penuh kecemasan dan terpelihara dari segala yang buruk di dunia ini. Surat Khalifah telah datang kepadaku yang berisi perintah agar aku segera bergerak menuju Syam dan mengomandokan seluruh pasukan. Demi Allah, aku tak pernah meminta hal itu dan tidak pula aku menginginkannya ketika aku diserahkan amanah tersebut. Maka tetaplah engkau pada posisimu saat ini, kami tidak akan melanggar perintahmu atau menyalahimu dan kami tidak akan memutuskan sesuatu tanpa konsultasi denganmu karena engkaulah pemimpin kaum muslimin. Kami tidak akan memungkiri kemuliaan dan kelebihanmu dan kami tidak akan mengabaikan pendapatmu. Semoga Allah menyempurnakan niat kita semua dengan lebih baik dan memelihara kita dari terjerumus ke dalam neraka. Wassalamu alaikum warahmatullah.”

Setelah Abu Ubaidah ibnul Jarrah membaca surat dari Khalid ia berkata, “Semoga Allah memberkahi pendapat dan keputusan Khalifah dan semoga Allah memuliakan Khalid.” Kemudian ia melanjutkan, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‘Khalid adalah pedang di antara pedang-pedang Allah. Ia adalah pemuda terbaik dalam sebuah keluarga.”

PERTEMPURAN YARMUK

Seluruh pasukan muslimin berkumpul setelah komando dipegang oleh Khalid bin Walid radhiallahu ‘anhu. Kemudian ia berpidato di depan mereka, “Sesungguhnya ini adalah satu hari di antara hari-hari Allah, tidak sepantasnya ada kesombongan dan kezaliman. Ikhlaskan niat jihad kalian dan tujuan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan amal kalian!” Setelah itu, sang pahlawan yang tak terkalahkan ini memegang tali kekang kudanya lalu mengangkat panji tinggi-tinggi seraya menyerukan pekikan jihad, “Allahu akbar! Bertiuplah angin surga.”

Peperangan berlangsung dengan sangat sengitnya. Tak ada bandingnya. Pasukan Romawi terjun berpeleton-peleton bagaikan gunung. Mereka menghadapi perlawanan dari kaum muslimin yang tidak mereka duga-duga sebelumnya. Pasukan muslimin memperlihatkan potret perjuangan dan pengorbanan yang sangat mencengangkan dari prajurit-prajurit yang berani mengorbankan jiwa mereka dan juga dari kekokohan semangat mereka. Pertempuran Yarmuk telah menjadi arena yang jarang ditemukan bagi para fida’iy (prajurit yang berani mati syahid).

Kejeniusan Khalid telah mencengangkan pemimpin dan komandan-komandan pasukan Romawi. Hal itu membuat salah seorang di antara mereka bernama Jurjah/George mengundang Khalid pada salah satu masa istirahat perang. Ketika keduanya sudah bertemu, komandan pasukan Romawi itu bertanya kepada Khalid, “Wahai Khalid, jawablah dengan jujur dan jangan berbohong karena seorang yang merdeka tidak akan berbohong dan jangan pula engkau tipu aku karena seorang yang mulia tidak akan menipu orang yang berharap secara baik-baik. Demi Allah, apakah Allah pernah menurunkan sebuah pedang dari langit kepada Nabi-Nya lalu diberikannya kepadamu sehingga setiap kali engkau hunuskan pada suatu kaum engkau pasti bisa mengalahkannya?”

Khalid menjawab, “Tidak.”

“Kalau demikian, kenapa engkau dijuluki pedang Allah?”

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus Nabi-Nya pada kami lalu ia menyeru kami, tapi kami lari dan menjauh darinya. Kemudian sebagian dari kami memercayai dan mengikutinya dan sebagian lagi menjauh dan mendustakannya. Mulanya aku termasuk yang mendustakan, menjauh, bahkan memeranginya. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala melembutkan hati kami dan memberi kami petunjuk sehingga kami mengikutinya. Kemudian beliau bersabda, ‘Engkau adalah pedang di antara pedang-pedang Allah yang Dia hunuskan kepada kaum musyrikin’.”

“Engkau telah jujur,” kata komandan Romawi itu. Lalu ia melanjutkan, “Wahai Khalid, beritahukanku, kepada apa kalian mengajak?”

Khalid menjawab, “Kepada syahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya serta membenarkan segala hal yang dibawanya dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Komandan Romawi itu mulai mendekati Khalid. Ia berkata, “Ajarkan aku Islam.”

Akhirnya Jurjah/George masuk Islam. Kemudian ia berwudhu dan shalat dua rakaat karena Allah. Hanya itu shalat yang sempat ia kerjakan. Tak berapa lama setelah itu, kedua pasukan kembali memulai peperangan. Jurjah, sang komandan Romawi itu, berperang mati-matian di barisan kaum muslimin untuk mengejar syahadah sampai akhirnya ia memperolehnya.

Perang berakhir dengan sangat hebat. Kaum muslimin di bawah komando Khalid bin Walid telah berhasil merebut kemenangan dari taring-taring Romawi dengan sangat mengagumkan.

Khalid menyerahkan kembali kepemimpinan kepada Amin al-Ummah, Abu Ubaidah ibnul Jarrah, setelah wafatnya Abu Bakar ash-Shiddiq dan naiknya Umar ibnul Khaththab sebagai Khalifah baru.

Khalid tetap menjadi seorang tentara yang jenius dan legendaris. Keikhlasannya tidak kurang dan semangatnya tak pernah melemah. Ia tak pernah kekurangan ide-ide hebat karena ia adalah pedang Allah dan seorang pejuang Islam sejati.

WAFATNYA SANG PAHLAWAN

***********************************
Sekarang tibalah saatnya sang pahlawan untuk istrirahat. Bumi tak pernah menyaksikan sosok sepertinya yang membuat seorang ‘musuh’ tak bisa tenang. Tibalah saatnya bagi tubuhnya yang letih untuk beristirahat. Dialah yang disifati oleh sahabat dan musuhnya sebagai ‘seseorang yang tidak pernah tidur dan tidak membiarkan orang lain tidur.’

Tapi baginya, andaikan disuruh memilih tentu ia akan memilih agar usianya dipanjangkan oleh Allah beberapa tahun lagi untuk meneruskan perjuangan menghancurkan benteng-benteng kekafiran dan kemusyrikan serta melanjutkan amal dan jihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Di saat ajal akan menjemput Khalid bin Walid,
beliau menangis dengan pilu.
Adalah sebuah tragedi baginya ketika hidupnya berakhir di atas katil sementara dia telah menghabiskan usianya di atas punggung kuda dan di bawah kilatan pedang untuk berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, membungkam pelaku-pelaku kemurtadan dan meratakan singgasana Persia di Irak dan Romawi di Syam dengan tanah. Ia berkata, “Aku telah merasakan ini dan itu di medan perang dan seluruh bagian dari tubuhku terdapat bekas pukulan pedang, lemparan panah, atau tusukan tombak. Tapi sekarang aku akan mati di atas kasur seperti matinya seekor unta. Tidak akan pernah tidur mata orang-orang pengecut.”

Kemudian ia berkata lagi, “Aku telah mengejar kematian di tempatnya tapi aku tidak ditakdirkan untuk mati kecuali di atas kasurku. Tak ada satu amal pun yang lebih aku harapkan setelah kalimat lailaha illallah selain satu malam yang aku lalui dalam keadaan siaga sementara langit mengguyurkan hujannya sampai pagi. Kemudian pada pagi harinya kami melancarkan serangan terhadap kaum kafir.”

Khalid bin Walid sangat mencintai jihad fi sabilillah. Ia pernah berkata, “Aku tidak tahu dari hari yang mana aku hendak lari; apakah dari hari yang Allah berkehendak untuk menghadiahkan syahadah kepadaku ataukah dari hari yang Allah berkehendak untuk menghadiahkan kemuliaan kepadaku (dengan kemenangan yang gemilang)?”

Ketika Abu Darda radhiallahu ‘anhu datang menjenguknya di akhir-akhir kehidupannya, ia berwasiat kepada Abu Darda, “Sesungguhnya kuda dan senjataku sudah aku infakkan untuk digunakan demi jihad fi sabilillah, sementara rumahku di Madinah untuk disedekahkan dan aku sudah meminta Umar ibnul Khaththab sebagai saksinya. Dialah sebaik-baik penolong terhadap Islam dan aku sudah limpahkan wasiat dan pelaksanaannya kepada Umar.”

Ketika hal itu sampai kepada Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati Abu Sulaiman. Apa yang di sisi Allah lebih baik baginya dari apa yang ada padanya. Ia telah wafat dalam keadaan bahagia dan hidup dalam keadaan terpuji. Akan tetapi aku lihat masa tidak akan berhenti.”

Umar ibnul Khaththab ikut mengantar jenazahnya. Ibu Khalid bin Walid mendendangkan beberapa bait syair yang berisi kelebihan-kelebihan Khalid. Ia berkata,

Engkau lebih baik dari sejuta kaum

Ketika para tokoh banyak tersalah

Pemberani? Engkau lebih berani dari singa

Laki-laki kuat mempertahankan diri dari anak-anak singa

Dermawan? Engkau lebih dermawan dari hujan yang mengguyur menggenangi lembah-lembah

Mendengar itu Umar ibnul Khaththab berkata, “Demi Allah, engkau benar. Sesungguhnya ia memang demikian adanya.”

Pada tanggal 18 Ramadhan 21 H, Khalid bin al-Walid wafat. Umar bin al-Khattab sangat bersedih dengan kepergian Sang Pedang Allah. Ketika ada yang meminta Umar agar menenangkan wanita-wanita Quraisy yang menangis karena kepergian Khalid, Umar berkata, “Para wanita Quraisy tidak harus menangisi kepergian Abu Sulaiman (Khalid bin al-Walid).” (al-Bidayah wa an-Nihayah oleh Ibnu Katsir: 7/132).

Setelah wafatnya, Khalid mendermakan senjata dan kuda tunggangannya untuk berjihad di jalan Allah (ath-Thabaqat al-Kubra oleh Ibnu Saad: 7/397).

Semoga Allah meridhaimu wahai Abu Sulaiman, mengampuni segala kesalahanmu, dan mempertemukan kita semua di surga Allah yang penuh kedamaian.

Sumber: Pendekar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ksatria Islam yang Gagah Berani, Asyraf Muhammad al-Wahsy, Gema Insani Press, 2011

https://kisahmuslim.com

Selengkapnya..

PANDUAN I'TIKAF RAMADHAN

I’tikaf secara bahasa berarti menetap pada sesuatu. Sedangkan secara syar’i, i’tikaf berarti menetap di masjid dengan tata cara yang khusus disertai dengan niat.[1]

Dalil Disyari’atkannya I’tikaf
------------------------
Ibnul Mundzir mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa i’tikaf itu sunnah, bukan wajib kecuali jika seseorang mewajibkan bagi dirinya bernadzar untuk melaksanakan i’tikaf.”[2]

Dari Abu Hurairah, ia berkata,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri’tikaf selama dua puluh hari”.[3]

Waktu i’tikaf yang lebih afdhol adalah di akhir-akhir ramadhan (10 hari terakhir bulan Ramadhan) sebagaimana hadits ‘Aisyah, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”[4]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dengan tujuan untuk mendapatkan malam lailatul qadar, untuk menghilangkan dari segala kesibukan dunia, sehingga mudah bermunajat dengan Rabbnya, banyak berdo’a dan banyak berdzikir ketika itu.[5]

I’tikaf Harus Dilakukan di Masjid
------------------------
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187).

Demikian juga dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah di rumah sama sekali. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa disyaratkan melakukan i’tikaf di masjid.”[6] Termasuk wanita, ia boleh melakukan i’tikaf sebagaimana laki-laki, tidak sah jika dilakukan selain di masjid.[7]

I’tikaf Boleh Dilakukan di Masjid Mana Saja
------------------------
Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena keumuman firman Allah di atas (yang artinya) “Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”. [8]

Imam Bukhari membawakan Bab dalam kitab Shahihnya, “I’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramdhan dan i’tikaf di seluruh masjid.” Ibnu Hajar menyatakan, “Ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 187) menyebutkan disyaratkannya masjid, tanpa dikhususkan masjid tertentu”[9].[10]

Para ulama selanjutnya berselisih pendapat masjid apakah yang dimaksud. Apakah masjid biasa di mana dijalankan shalat jama’ah lima waktu[11] ataukah masjid jaami’ yang diadakan juga shalat jum’at di sana?

Imam Malik mengatakan bahwa i’tikaf boleh dilakukan di masjid mana saja (asal ditegakkan shalat lima waktu di sana, pen) karena keumuman firman Allah Ta’ala,

وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187).

Ini juga menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i. Namun Imam Asy Syafi’i rahimahullah menambahkan syarat, yaitu masjid tersebut diadakan juga shalat Jum’at.[12]

Tujuannya di sini adalah agar ketika pelaksanaan shalat Jum’at, orang yang beri’tikaf tidak perlu keluar dari masjid.

Kenapa disyaratkan di masjid yang ditegakkan shalat jama’ah? Ibnu Qudamah katakan, “Shalat jama’ah itu wajib (bagi laki-laki). Jika seorang laki-laki yang hendak melaksanakan i’tikaf tidak berdiam di masjid yang tidak ditegakkan shalat jama’ah, maka bisa terjadi dua dampak negatif:
(1) meninggalkan shalat jama’ah yang hukumnya wajib, dan
(2) terus menerus keluar dari tempat i’tikaf padahal seperti ini bisa saja dihindari. Jika semacam ini yang terjadi, maka ini sama saja tidak i’tikaf. Padahal maksud i’tikaf adalah untuk menetap dalam rangka melaksanakan ibadah pada Allah.”[13]

Wanita Boleh Beri’tikaf
------------------------
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri beliau untuk beri’tikaf.  ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[14]

Dari ‘Aisyah, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”[15]

Namun wanita boleh beri’tikaf di masjid asalkan memenuhi 2 syarat:
(1) Meminta izin suami dan
(2) Tidak menimbulkan fitnah (godaan bagi laki-laki) sehingga wanita yang i’tikaf harus benar-benar menutup aurat dengan sempurna dan juga tidak memakai wewangian.[16]

Lama Waktu Berdiam di Masjid
------------------------
Para ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak ada batasan waktu maksimalnya. Namun mereka berselisih pendapat berapa waktu minimal untuk dikatakan sudah beri’tikaf. [17]

Bagi ulama yang mensyaratkan i’tikaf harus disertai dengan puasa, maka waktu minimalnya adalah sehari. Ulama lainnya mengatakan dibolehkan kurang dari sehari, namun tetap disyaratkan puasa. Imam Malik mensyaratkan minimal sepuluh hari. Imam Malik  juga memiliki pendapat lainnya, minimal satu atau dua hari. Sedangkan bagi ulama yang tidak mensyaratkan puasa, maka waktu minimal dikatakan telah beri’tikaf adalah selama ia sudah berdiam di masjid dan di sini tanpa dipersyaratkan harus duduk.[18]

Yang tepat dalam masalah ini, i’tikaf tidak dipersyaratkan untuk puasa, hanya disunnahkan[19].

Menurut mayoritas ulama, i’tikaf tidak ada batasan waktu minimalnya, artinya boleh cuma sesaat di malam atau di siang hari.[20] Al Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak[21] adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).”[22]

Yang Membatalkan I’tikaf
------------------------
● Keluar masjid tanpa alasan syar’i dan tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak.
● Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al Baqarah ayat 187. Ibnul Mundzir telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa yang dimaksud mubasyaroh dalam surat Al Baqarah ayat 187 adalah jima’ (hubungan intim)[23].

Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf
------------------------
● Keluar masjid disebabkan ada hajat yang mesti ditunaikan seperti keluar untuk makan, minum, dan hajat lain yang tidak bisa dilakukan di dalam masjid.
● Melakukan hal-hal mubah seperti mengantarkan orang yang mengunjunginya sampai pintu masjid atau bercakap-cakap dengan orang lain.
● Istri mengunjungi suami yang beri’tikaf dan berdua-duaan dengannya.
● Mandi dan berwudhu di masjid.
● Membawa kasur untuk tidur di masjid.

Mulai Masuk dan Keluar Masjid
------------------------
Jika ingin beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka seorang yang beri’tikaf mulai memasuki masjid setelah shalat Shubuh pada hari ke-21 dan keluar setelah shalat shubuh pada hari ‘Idul Fithri menuju lapangan. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Aisyah, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[24]

Namun para ulama madzhab menganjurkan untuk memasuki masjid menjelang matahari tenggelam pada hari ke-20 Ramadhan. Mereka mengatakan bahwa yang namanya 10 hari yang dimaksudkan adalah jumlah bilangan malam sehingga seharusnya dimulai dari awal malam.

Adab I’tikaf
------------------------
Hendaknya ketika beri’tikaf, seseorang menyibukkan diri dengan melakukan ketaatan seperti berdo’a, dzikir, bershalawat pada Nabi, mengkaji Al Qur’an dan mengkaji hadits. Dan dimakruhkan menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat.[25]

Semoga panduan singkat ini bermanfaat bagi pembaca sekalian. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan membuahkan amalan tentunya.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

 ------------------------
[1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/1699.
[2] Al Mughni, 4/456.
[3] HR. Bukhari no. 2044.
[4] HR. Bukhari no. 2026 dan  Muslim no. 1172.
[5] Latho-if Al Ma’arif, hal. 338
[6] Fathul Bari, 4/271.
[7] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13775.
[8] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151.
[9] Fathul Bari, 4/271.
[10] Adapun hadits marfu’ dari Hudzaifah yang mengatakan, ”Tidak ada i’tikaf kecuali pada tiga masjid yaitu masjidil harom, masjid nabawi dan masjidil aqsho”; perlu diketahui, hadits ini masih diperselisihkan statusnya, apakah marfu’ (sabda Nabi) atau mauquf (perkataan sahabat). (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151). Jika melihat perkataan Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah, beliau lebih memilih bahwa hadits tersebut hanyalah perkataan Hudzaifah ibnul Yaman. Lihat Fathul Bari, 4/272.
[11] Walaupun namanya beraneka ragam di tempat kita, baik dengan sebutan masjid, musholla, langgar, maka itu dinamakan masjid menurut istilah para ulama selama diadakan shalat jama’ah lima waktu di sana untuk kaum muslimin. Ini berarti jika itu musholla rumahan yang bukan tempat ditegakkan shalat lima waktu bagi kaum muslimin lainnya, maka ini tidak masuk dalam istilah masjid. Sedangkan dinamakan masjid Jaami’ jika ditegakkan shalat Jum’at di sana. Lihat penjelasan tentang masjid di Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13754.
[12] Lihat Al Mughni, 4/462.
[13] Al Mugni, 4/461.
[14] HR. Bukhari no. 2041.
[15] HR. Bukhari no. 2026 dan  Muslim no. 1172.
[16] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151-152.
[17] Lihat Fathul Bari, 4/272.
[18] Idem.
[19] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/153.
[20] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/154.
[21] I’tikaf mutlak, maksudnya adalah i’tikaf tanpa disebutkan syarat berapa lama.
[22] Al Inshof, 6/17.
[23] Fathul Bari, 4/272.
[24] HR. Bukhari no. 2041.
[25] Lihat pembahasan I’tikaf di Shahih Fiqh Sunnah, 2/150-158.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Cuplikan dari Buku Panduan Ramadhan

https://rumaysho.com/1150-panduan-itikaf-ramadhan.html

Selengkapnya..

Adab Shalat Berjamaah di Masjid

Shalat berjamaah di masjid merupakan salah satu amal yang mulia. Agar ibadah ini semakin sempurna, ada beberapa adab dan petunjuk Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak boleh diabaikan. Berikut di antara beberapa adab yang perlu diperhatikan seorang muslim ketika hendak melakukan shalat berjamaah di masjid:

■ Memilih Pakaian yang Bagus

Hendaknya kita memilih pakaian yang bagus saat pergi ke masjid. Allah tidak hanya memerintahkan kita untuk sekedar memakai pakaian yang menutup aurat, akan tetapi memerintahkan pula untuk memperbagus pakaian, lebih-lebih lagi ketika akan pergi ke masjid. Allah Ta’ala berfirman

يَا بَنِي آدَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ

“Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid.” (Al A’raf: 31).

Dari ayat ini dapat diambil pelajaran bahwa kita dianjurkan untuk berhias ketika shalat, lebih-lebih ketika hari jumat dan hari raya. Termasuk dalam hal ini memakai parfum bagi laki-laki.

Namun sekarang banyak kita jumpai kaum muslimin yang ketika pergi ke masjid hanya mengenakan pakaian seadanya padahal ia memiliki pakaian yang bagus. Bahkan tidak sedikit yang mengenakan pakaian yang penuh gambar atau berisi tulisan-tulisan kejahilan. Akibatnya, mau tidak mau orang yang ada dibelakangnya akan melihat dan membacanya sehingga mengganggu konsentrasi dan kekhusyukan shalat.

■ Berwudhu dari Rumah

Sebelum pergi ke masjid, hendaknya berwudhu sejak dari rumah, sebagaimana diterangkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ لِيَقْضِيَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللهِ كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً وَالْأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً

“Barangsiapa yang bersuci dari rumahnya kemudian berjalan ke salah satu rumah dari rumah-rumah Allah (masjid) untuk menunaikan salah satu dari kewajiban-kewajiban yang Allah wajibkan, maka kedua langkahnya salah satunya akan menghapus dosa dan langkah yang lainnya akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim 1553)

■ Membaca Doa Menuju Masjid

Saat keluar dari rumah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kita untuk mengucapkan doa. Dari Anas bin Malik, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا خَرَجَ الرَّجُلُ مِنْ بَيْتِهِ فَقَالَ بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ قَالَ يُقَالُ حِينَئِذٍ هُدِيتَ وَكُفِيتَ وَوُقِيتَ فَتَتَنَحَّى لَهُ الشَّيَاطِينُ فَيَقُولُ لَهُ شَيْطَانٌ آخَرُ كَيْفَ لَكَ بِرَجُلٍ قَدْ هُدِيَ وَكُفِيَ وَوُقِيَ

“Jika seorang laki-laki keluar dari rumahnya lalu mengucapkan:  “Bismillahi tawakkaltu ‘alallaahi, laa haula wa laa quuwata illa billah” (Dengan nama Allah aku bertawakal kepada Allah, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan izin Allah). ‘ Beliau bersabda, “Maka pada saat itu akan dikatakan kepadanya, ‘Kamu telah mendapat petunjuk, telah diberi kecukupan, dan mendapat penjagaan’, hingga setan-setan menjauh darinya. Lalu setan yang lainnya berkata kepadanya (setan yang akan menggodanya, pent.), “Bagaimana (engkau akan mengoda) seorang laki-laki yang telah mendapat petunjuk, kecukupan, dan penjagaan.” (HR. Abu Daud no. 595, At-Tirmizi no. 3487)

■ Ketika hendak menuju masjid, dianjurkan membaca :

اللَّهُمَّ اجْعَلْ فِي قَلْبِي نُورًا وَفِي بَصَرِي نُورًا وَفِي سَمْعِي نُورًا وَعَنْ يَمِينِي نُورًا وَعَنْ يَسَارِي نُورًا وَفَوْقِي نُورًا وَتَحْتِي نُورًا وَأَمَامِي نُورًا وَخَلْفِي نُورًا وَاجْعَلْ لِي نُورًا

“Allahummaj’al fii qolbi nuura wa fii bashari nuura wa fii sam’i nuura wa ‘an yamiinihi nuura wa ‘an yasaarii nuura wa fauqi nuura wa tahti nuura wa amaami nuura wa khalfi nuura waj’al lii nuura (Ya Allah jadikanlah cahaya dalam hatiku, cahaya dalam penglihatanku, cahaya dalam pendengaranku, cahaya dari kananku, cahaya dari kiriku, cahaya dari belakangku, dan jadikanlah untukku cahaya” (H.R Muslim 763)

■ Berdoa Ketika Masuk Masjid

Setelah sampai di masjid, hendaknya masuk masjid dengan mendahulukan kaki kanan sambil membaca doa masuk masjid. Bacaan doa masuk masjid sebagaimana terdapat dalam hadits Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu:

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلْيَقُلِ اللَّهُمَّ افْتَحْ لِى أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ. وَإِذَا خَرَجَ فَلْيَقُلِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ

“Jika salah seorang di antara kalian memasuki masjid, maka ucapkanlah, ‘Allahummaftahlii abwaaba rahmatik’ (Ya Allah, bukakanlah pintu-pintu rahmat-Mu). Jika keluar dari masjid, ucapkanlah: ‘Allahumma inni as-aluka min fadhlik’ (Ya Allah, aku memohon pada-Mu di antara karunia-Mu).” (HR. Muslim 713)

■ Tidak Lewat di Depan Orang yang Sedang Shalat

Harap diperhatikan ketika kita berjalan di dalam masjid, jangan sampai melewati di depan orang yang sedang shalat. Hendaklah orang yang lewat di depan orang yang shalat takut akan dosa yang diperbuatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda:

لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَي الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ، لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِيْنَ، خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ

“Seandainya orang yang lewat di depan orang yang shalat  mengetahui (dosa) yang ditanggungnya, niscaya ia memilih untuk berhenti selama 40 ( tahun), itu lebih baik baginya daripada lewat di depan orang yangsedang  shalat.” (HR. Bukhari 510 dan Muslim 1132)

Yang terlarang adalah lewat di depan orang yang shalat sendirian atau di depan imam. Adapun jika lewat di depan makmum maka tidak mengapa. Hal ini didasari oleh perbuatan Ibnu Abbas ketika beliau menginjak usia baligh. Beliau pernah lewat di sela-sela shaf jamaa’ah yang diimami oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menunggangi keledai betina, lalu turun melepaskan keledainya  baru kemudian beliau bergabung dalam shaf. Dan tidak ada seorangpun yang mengingkari perbuatan tersebut (Lihat dalam riwayat Bukhari 76 dan  Muslim 504). Namun demikian, sebaiknya memilih jalan lain agar tidak lewat di depan shaf makmum.

■ Melaksanakan Shalat Dua Rakaat Sebelum Duduk

Di antara adab ketika memasuki masjid adalah melaksanakan shalat dua rakaat sebelum duduk. Shalat ini diistilahkan para ulama dengan shalat tahiyatul masjid. Rasulullah shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda :

 إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِ

“Jika salah seorang dari kalian masuk masjid, maka hendaklah dia shalat dua rakaat sebelum dia duduk.” (H.R. Bukhari 537 dan Muslim 714)

Syariat ini berlaku untuk laki-laki maupun wanita. Hanya saja para ulama mengecualikan darinya khatib jumat, dimana tidak ada satupun dalil yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam shalat tahiyatul masjid sebelum khutbah. Akan tetapi beliau datang dan langsung naik ke mimbar. Syariat ini juga berlaku untuk semua masjid, termasuk masjidil haram. Yang dimaksud dengan tahiyatul masjid adalah shalat dua rakaat sebelum duduk di dalam masjid. Tujuan ini sudah tercapai dengan shalat apa saja yang dikerjakan sebelum duduk. Oleh karena itu, shalat sunnah wudhu, shalat sunnah rawatib, bahkan shalat wajib, semuanya merupakan tahiyatul masjid jika dikerjakan sebelum duduk. Merupakan suatu hal yang keliru jika tahiyatul masjid diniatkan tersendiri, karena pada hakikatnya tidak ada dalam hadits ada shalat yang namanya ‘tahiyatul masjid’, akan tetapi ini hanyalah penamaan ulama untuk shalat dua rakaat sebelum duduk. Karenanya jika seorang masuk masjid setelah adzan lalu shalat qabliah atau sunnah wudhu, maka itulah tahiyatul masjid baginya. Tahiyatul masjid disyariatkan pada setiap waktu seseorang itu masuk masjid dan ingin duduk di dalamnya. Termasuk di dalamnya waktu-waktu yang terlarang untuk shalat, menurut sebagian pendapat kalangan ulama.

■ Menghadap Sutrah Ketika Shalat

Yang dimaksud denagan sutrah adalah pembatas dalam shalat, bisa berupa tembok, tiang, orang yang sedang duduk/sholat, tongkat, tas, dll. Sutrah disyariatkan bagi imam dan bagi orang yang shalat sendirian. Dalil yang menunjukkan disyariatkannya shalat menghadap sutrah terdapat dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut :

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا

“Apabila salah seorang di antara kalian shalat, hendaknya ia shalat dengan menghadap sutrah dan mendekatlah padanya” (HR. Abu Daud 698. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Shahihul Jaami’ 651)

Sebagian ulama berpendapat bahwa hukum memasang sutrah adalah wajib karena adanya perintah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.. Dalam shalat berjamaah yang menghadap sutrah adalah imam, dan sutrah bagi imam juga merupakan sutrah bagi makmum yang dibelakangnya.

Hendaklah orang yang shalat menolak/mencegah apa pun yang lewat di depannya, baik orang dewasa maupun anak-anak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ، فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَلْيَدْفَعْ فِي نَحْرِهِ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنّمّا هُوَ شَيْطَانٌ

“Apabila salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang menutupinya dari manusia (menghadap sutrah), lalu ada seseorang ingin melintas di hadapannya, hendaklah ia menghalanginya pada lehernya. Kalau orang itu enggan untuk minggir (tetap memaksa lewat) perangilah (tahanlah dengan kuat) karena ia hanyalah setan.” (HR. Bukhari 509 dan Muslim 1129)

■ Menjawab Panggilan Adzan

Ketika mendengar adzan, dianjurkan untuk menjawab adzan. Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda:

إِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ الْمُؤَذِّنُ

“Apabila kalian mendengar adzan maka ucapkanlah seperti yang sedang diucapkan muadzin.” (HR. Bukhari 611 dan Muslim 846)

Ketika muadzin sampai pada pengucapan hay’alatani yaitu kalimat{ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ,  حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ} disenangi baginya untuk menjawab dengan hauqalah yaitu kalimat { لاَ حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ } sebagaimana ditunjukkan dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda:

إِذَا قَالَ الْمُؤَذِّنُ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، فَقَالَ أَحَدُكُمُ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ؛ ثُمَّ قَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، فَقاَلَ: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ؛ ثُمَّ قَالَ: أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، فَقَالَ: أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ؛ ثُمَّ قَالَ: حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، قَالَ: لاَ حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ؛ ثُمَّ قَالَ: حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ، قَالَ: لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ؛ ثُمَّ قَالَ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، قَالَ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ؛ ثُمَّ قَالَ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، قَالَ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ؛ مِنْ قَلْبِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Apabila muadzin mengatakan, “Allahu Akbar Allahu Akbar”, maka hendaklah  kalian yang mendengar menjawab, “Allahu Akbar Allahu Akbar.” Kemudian muadzin mengatakan, “Asyhadu An Laa Ilaaha Illallah”, maka dijawab, “Asyhadu An Laa Ilaaha Illallah.” Muadzin mengatakan setelah itu, “Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah”, maka maka dijawab, “Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah.” Saat muadzin mengatakan, “Hayya ‘Alash Shalah”, maka maka dijawab “Laa Haula wala Quwwata illa billah.” Saat muadzin mengatakan, “Hayya ‘Alal Falah”, maka maka dijawab “Laa Haula wala Quwwata illa billah.” Kemudian muadzin berkata, “Allahu Akbar Allahu Akbar”, maka dijawab, “Allahu Akbar Allahu Akbar.” Dan muadzin berkata, “Laa Ilaaha illallah”, maka dijawab, “La Ilaaha illallah” Bila yang menjawab adzan ini mengatakannya dengan keyakinan hatinya niscaya ia pasti masuk surga.” (HR. Muslim. 848)

Ketika selesai mendengarkan adzan, dianjurkan membaca doa yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits berikut :

مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa yang setelah mendengar adzan membaca doa : Allahumma Robba hadzihid da’wattit taammah was shalatil qaaimah, aati muhammadanil wasiilata wal fadhiilah wab’atshu maqaamam mahmuudanil ladzi wa ‘adtahu “(Ya Allah pemilik panggilan yang sempurna ini dan shalat yang didirikan berilah Muhammad wasilah dan keutamaan dan bangkitkanlah dia pada tempat yang terpuji yang telah Engkau janjikan padanya) melainkan dia akan mendapatkan syafaatku pada hari kiamat.” (HR. Bukhari 94)

■ Tidak Keluar dari Masjid Tanpa Udzur

Jika kita berada di dalam masjid dan adzan sudah dikumandangkan, maka tidak boleh keluar dari masjid sampai selesai dtunaikannya shalat wajib, kecuali jika ada udzur. Hal ini sebagaiamana dikisahkan dalam sebuah riwayat dari Abu as Sya’tsaa radhiyallahu’anhu, beliau berkata :

كُنَّا قُعُودًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ فَأَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ فَقَامَ رَجُلٌ مِنْ الْمَسْجِدِ يَمْشِي فَأَتْبَعَهُ أَبُو هُرَيْرَةَ بَصَرَهُ حَتَّى خَرَجَ مِنْ الْمَسْجِدِ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ أَمَّا هَذَا فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

 “Kami pernah duduk bersama Abu Hurairah dalam sebuah masjid. Kamudian muadzin mengumandangkan adzan. Lalu ada seorang laki-laki yang berdiri kemudian keluar masjid. Abu Hurairah melihat hal tersebut kemudian beliau berkata : “ Perbuatan orang tersebut termasuk bermaksiat terhadap Abul Qasim (Nabi Muhammad) shallallahu ‘alaihi wa sallam” (H.R Muslim 655)

Imam Nawawi menjelaskan bahwa berdasarkan hadits di atas dibenci keluar dari masjid setelah ditunaikannya adzan sampai sholat wajib selesai ditunaikan, kecuali jika ada udzur.

Tidak boleh keluar dari masjid setelah dikumandangkan adzan kecuali  ada udzur seperti mau ke kamar kecil, berwudhu, , mandi, atau keperluan mendesak lainnya.

 ■ Memanfaatkan Waktu Antara Adzan dan Iqomah

Hendakanya kita memanfaatkan waktu antara adzan dan iqomah dengan amalan yang bermanfaat seperti shalat sunnah qabliyah, membaca al quran, berdizikir, atau berdoa. Waktu ini  merupakan waktu yang dianjurkan untuk berdoa, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:

الدعاء لا يرد بين الأذان والإقامة

“Doa di antara adzan dan iqamah tidak tertolak” (HR. Tirmidzi, 212, ia berkata: “Hasan Shahih”)

Boleh juga diisi dengan membaca quran atau mengulang-ulang hafalan al quran asalkan tidak dengan suara keras agar tidak mengganggu orang yang berdzikir atau sedang shalat sunnah. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

لا إن كلكم مناج ربه فلا يؤذين بعضكم بعضا ولا يرفع بعضكم على بعض في القراءة أو قال في الصلاة

“Ketahuilah, kalian semua sedang bermunajat kepada Allah, maka janganlah saling mengganggu satu sama lain. Janganlah kalian mengeraskan suara dalam membaca Al Qur’an,’ atau beliau berkata, ‘Dalam shalat’,” (HR. Abu Daud.1332, Ahmad, 430, dishahihkan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani di Nata-ijul Afkar, 2/16).

Tidak selayaknya seseorang justru mengisi waktu-waktu ini dengan obrolan-obrolan yang tidak bermanfaat.

■ Jika Iqamah Telah Dikumandangkan

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِذَا أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَلَا صَلَاةَ إِلَّا الْمَكْتُوبَةُ

 Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Jika shalat wajib telah dilaksanakan, maka tidak beleh ada shalat lain selain shalat wajib” (H.R Muslim 710)

Berdasarkan hadits di atas, jika seseorang sedang shalat sunnah kemudian iqamah telah dikumandangkan, maka tidak perlu melanjutkan shalat sunnah tersebut dan langsung ikut shalat wajib bersama imam.

■ Raihlah Shaf yang Utama

Di antara kesempurnaan shalat berjamaah adalah sebisa mungkin menempati shaf yang utama. Bagi laki-laki yang paling depan, adapun bagi wanita yang paling belakang. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ صُفُوفِ الِرجَالِ أَوِّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا

“Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang pertama dan seburuk-buruknya adalah yang terakhir. Sebaik-baik shaf wanita adalah yang terakhir dan seburuk-buruknya adalah yang pertama.” (H.R.Muslim 440)

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda:

لَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِي الصَّفِّ الْمُقَدَّمِ لاَسْتَهَمُوْا

“Seandainya mereka mengetahui keutamaan (pahala) yang diperoleh dalam shaf yang pertama, niscaya mereka akan mengundi untuk mendapatkannya.” (HR. Bukhari 721 dan Muslim 437)

■ Merapikan Barisan Shalat

Perkara yang harus diperhatikan dengan serius dan tidak boleh diremehkan adalah permasalahan lurus dan rapatnya shaf (barisan dalam shalat). Masih banyak kita dapati di sebagian masjid, barisan shaf yang tidak rapat dan lurus

Dijelaskan di dalam hadits dari sahabat Abu Abdillah Nu’man bin Basyir, beliau berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَتُسَوُّنَّ سُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوْهِكُمْ

 “Hendaknya kalian bersungguh- sungguh meluruskan shaf-shaf kalian atau Allah sungguh-sungguh akan memperselisihkan di antara wajah-wajah kalian” (HR. Bukhari 717 dan Muslim 436)

■ Jangan Mendahului Gerakan Imam

Imam shalat dijadikan sebagai pemimpin dan wajib diikuti dalam shalat, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu :

إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلَا تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ

“Sesungguhnya imam hanya untuk diikuti, maka janganlah menyelisihnya. Apabila ia ruku’, maka ruku’lah. Dan bila ia mengatakan ‘sami’allahu liman hamidah’, maka katakanlah,’Rabbana walakal hamdu’. Apabila ia sujud, maka sujudlah. Dan bila ia shalat dengan duduk, maka shalatlah kalian dengan duduk semuanya“. (H.R. Bukhari 734)

Rasulullah memberikan ancaman keras bagi seseorang yang mendahului imam, seperti disebutkan dalam hadits berikut:

َ أَمَا يَخْشَى الَّذِي يَرْفَعُ رَأْسَهُ قَبْلَ الْإِمَامِ أَنْ يُحَوِّلَ اللَّهُ رَأْسَهُ رَأْسَ حِمَار

“Tidakkah orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam takut jika Allah akan mengubah kepalanya menjadi kepala  keledai? “(H.R Bukhari 691)

■ Berdoa Ketika Keluar Masjid

Dari Abu Humaid atau dari Abu Usaid dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلْيَقُلْ اللَّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ وَإِذَا خَرَجَ فَلْيَقُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ

“Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka hendaknya dia membaca, “Allahummaftahli abwaaba rahmatika” (Ya Allah, bukalah pintu-pintu rahmat-Mu). Dan apabila keluar, hendaknya dia mengucapkan, “Allahumma inni as-aluka min fadhlika (Ya Allah, aku meminta kurnia-Mu).” (HR. Muslim. 713)

■ Ketika keluar masjid dmulai dengan kaki kiri terlebih dahulu.

Jika Wanita Hendak Pergi ke Masjid
---------------- ---------------- ----------------
Tempat shalat yang paling baik bagi seorang wanita adalah di dalam rumhanya. Allah Ta’ala berfirman :

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (Al Ahzab :33)

Shalatnya seorang wanita di rumahnya lebih baik daripada di masjid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ

“Jangan kalian larang istri-istri kalian untuk pergi ke masjid, tetapi rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”. (HR. Abu Daud dan dihasankan di dalam kitab Irwa Al Ghalil 515)

Namun demikian, tidak terlarang bagi seorang wanitaa untuk pergi ke masjid. Jika seorang wanita hendak pergi ke masjid, ada beberapa adab khusus yang perlu diperhatikan :

Meminta izin kepada suami atau mahramnyaTidak menimbulkan fitnahMenutup aurat secara lengkapTidak berhias dan memakai parfum

Abu Musa radhiyallahu‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

« كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ وَالْمَرْأَةُ إِذَا اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ بِالْمَجْلِسِ فَهِىَ كَذَا وَكَذَا يَعْنِى زَانِيَةً ».

“Setiap mata berzina dan seorang wanita jika memakai minyak wangi lalu lewat di sebuah majelis (perkumpulan), maka dia adalah wanita yang begini, begini, yaitu seorang wanita pezina”. (HR. Tirmidzi dan dishahihkan di dalam kitab Shahih At Targhib wa At Tarhib 2019)

Inilah di antara beberapa adab yang perlu diperhatikan ketika hendak shalat berjamaah di masjid. Semoga penjelasan ini dapat menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat. Wallahu a’lam.[1]

-----------------------
[1]  Tulisan ini banyak mengambil faedah dari Kitab Shahih Fiqih Sunnah karya Syaikh Abu Malik dal Al Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz karya Syaikh Dr. ‘Abdul ‘Adzim Badawi  serta beberapa tambahan dari sumber lain.

Penulis: Adika Mianoki
Artikel www.muslim.or.id

Dikirim dari aplikasi android muslim.or.id http://bit.ly/MuslimOrid

Selengkapnya..

Sabtu, 27 Mei 2017

DASAR HUKUM "WAKTU IMSAK"


Salah satu hal yang terkadang masih dibicarakan dan diperdebatkan adalah mengenai adanya waktu imsak, yaitu jeda waktu sebelum adzan sholat subuh dikumandangkan (biasanya 10 menit sebelum adzan), pada waktu ini umumnya orang yang hendak berpuasa berhenti makan dan minum.

Banyak yang menganggap bahwa ketika seseorang makan atau minum pada waktu ini maka puasanya batal, sedangkan sebagian orang ada yang menganggap sebaliknya, bahwa waktu imsak itu tak memiliki dasar hukum, sebab larangan makan dan minum itu dimulai pada saat terbitnya fajar yang berarti telah masuknya waktu sholat shubuh. Untuk itulah pemahaman ini perlu diluruskan agar "waktu imsak" tak lagi disalah pahami dihukumi bid’ah, atau ditentang.

Para ulama' telah menetapkan bahwa awal waktu pelaksanaan puasa dimana seseorang tidak lagi diperbolehkan makan dan minum adalah ketika fajar shodiq telah terbit, terbitnya fajar shodiq juga merupakan tanda telah masuknya waktu sholat shubuh, fajar shodiq ialah terlihatnya cahaya putih yang melintang mengikut garis lintang ufuk di sebelah timur akibat pantulan cahaya matahari oleh atmosfer.

Dalil-dalil Waktu Sahur dan Hukum Imsak:

1. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

{أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ } [البقرة: 187]

”Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu, mereka itu adalah pakaian bagi kamu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam,(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa”. (QS. 2:187).

Maksud dari kata "Benang Putih" dan "Benang Hitam" dijelaskan dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh 'Addi bin Hatim radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

لَمَّا نَزَلَتْ: {حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ} مِنَ الْفَجْرِ قَالَ لَهُ عَدِيُّ بْنُ حَاتِمٍ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي أَجْعَلُ تَحْتَ وِسَادَتِي عِقَالَيْنِ: عِقَالًا أَبْيَضَ وَعِقَالًا أَسْوَدَ، أَعْرِفُ اللَّيْلَ مِنَ النَّهَارِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ وِسَادَتَكَ لَعَرِيضٌ، إِنَّمَا هُوَ سَوَادُ اللَّيْلِ، وَبَيَاضُ النَّهَارِ»

"Ketika turun ayat; "Hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar." Maka Adi bin Hatim berkata kepada beliau, "Wahai Rasulullah, aku meletakkan benang putih dan benang hitam di bawah bantalku untuk membedakan malam dan siang." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda: "Bantalmu itu terlalu lebar. Yang dimaksud dengan benang hitam ialah gelapnya malam, dan (benang putih) adalah cahaya siang." (Muttafaq ‘alaih)

Dalam hadits lain diriwayatkan:

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: " أُنْزِلَتْ: {وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الخَيْطُ الأَبْيَضُ، مِنَ الخَيْطِ الأَسْوَدِ}  وَلَمْ يَنْزِلْ {مِنَ الفَجْرِ} ، فَكَانَ رِجَالٌ إِذَا أَرَادُوا الصَّوْمَ رَبَطَ أَحَدُهُمْ فِي رِجْلِهِ الخَيْطَ الأَبْيَضَ وَالخَيْطَ الأَسْوَدَ، وَلَمْ يَزَلْ يَأْكُلُ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُ رُؤْيَتُهُمَا، فَأَنْزَلَ اللَّهُ بَعْدُ: {مِنَ الفَجْرِ} فَعَلِمُوا أَنَّهُ إِنَّمَا يَعْنِي اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ " (متفق عليه)

Dari Sahl bin Sa’d, ia mengatakan: “Diturunkan oleh Allah ayat ” .. dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam” dan belum diturunkan kalimat “yaitu fajar [minal fajr]“, maka masyarakat kalau ingin melaksanakan puasa, salah satu diantara mereka mengaitkan benang putih dan benang hitam, dan mereka meneruskan makan hingga terang bagi mereka keduanya. Lalu Allah menurunkan kalimat “minal fajr, yaitu fajar”, maka mereka tahu, bahwa yang dimaksud adalah malam dan siang”. (Muttafaq ‘alaih)

2. Hadits riwayat At-Turmudzi:

عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ يَمْنَعَنَّكُمْ مِنْ سُحُورِكُمْ أَذَانُ بِلاَلٍ، وَلاَ الفَجْرُ الْمُسْتَطِيلُ، وَلَكِنِ الفَجْرُ الْمُسْتَطِيرُ فِي الأُفُقِ.

Dari Samurah bin Jundub radhiyallahu 'anhu, ia mengatakan: RasululLah shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan: “Janganlah adzan Bilal melerai sahur kalian, dan juga fajar yang memanjang (fajar kadzib), akan tetapi [yang melerai adalah] fajar yang menyebar di ufuk (fajar shodiq).”

3. Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لاَ يَمْنَعَنَّ أَحَدَكُمْ - أَوْ أَحَدًا مِنْكُمْ - أَذَانُ بِلاَلٍ مِنْ سَحُورِهِ، فَإِنَّهُ يُؤَذِّنُ - أَوْ يُنَادِي بِلَيْلٍ - لِيَرْجِعَ قَائِمَكُمْ، وَلِيُنَبِّهَ نَائِمَكُمْ» (متفق عليه)  

Dari Abdullah bin Mas’ud, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, ia mengatakan: “Janganlah adzan Bilal mencegah salah satu di antara kalian dari makan sahurnya, karena ia mengumandangkan adzan di tengah malam, untuk mengingatkan di antara kalian yang bangun dan untuk membangunkan yang masih tidur.” (Muttafaq ‘alaih)
.
4. Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim:

عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: «إِنَّ بِلاَلًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ»

Dari ‘Aisyah radhiyallahu 'anha, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: “Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan di malam hari, Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ‘Makan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum adzan. Karena dia tidak akan adzan kecuali setelah terbitnya fajar shadiq”  (Muttafaq ‘alaih)..

Dari keterangan diatas dapat dipahami, bahwa anggapan yang menyatakan bahwa ketika waktu imsak tiba maka seseorang tak lagi boleh makan dan minum, sebab larangan makan dan minum baru berlaku saat fajar shodiq telah terbit yang ditandai dengan dikumandangkannya adzan sholat shubuh.

Lalu mengenai anggapan sebagian orang yang mengatakan bahwa "waktu imsak" tak memiliki dasar juga tidak bisa dibenarkan, padahal "penambahan" waktu imsak memiliki dalil yang kuat.

Penambahan waktu ini diantaranya didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, ia mengisahkan:

أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَزَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَسَحَّرَا، فَلَمَّا فَرَغَا مِنْ سَحُورِهِمَا، قَامَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الصَّلاَةِ، فَصَلَّى، فَقُلْنَا لِأَنَسٍ: كَمْ كَانَ بَيْنَ فَرَاغِهِمَا مِنْ سَحُورِهِمَا وَدُخُولِهِمَا فِي الصَّلاَةِ؟ قَالَ: كَقَدْرِ مَا يَقْرَأُ الرَّجُلُ خَمْسِينَ آيَةً

“Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan Zaid bin Tsabit radhiyallahu 'anhu pernah sahur bersama, ketika keduanya telah selesai, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beranjak untuk mengerjakan sholat, kemudian beliau sholat. Kami bertanya pada Anas: "Berapa waktu diantara selesainya mereka berdua sahur dan masuknya keduanya untuk mengerjakan sholat? Anas menjawab: "Kira-kira seseorang membaca 50 ayat al-qur'an." (Shahih Bukhari, no. 1134)

Dalam riwayat lain,

عَنْ أَنَسٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَ الأَذَانِ وَالسَّحُورِ قَالَ قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً .

Dari Anas meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu 'anhu berkata: “Kami telah makan sahur bersama-sama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian beliau bangun mengerjakan shalat. Aku (Anas) bertanya (kepada Zaid): “Berapa lamanya antara azan (Subuh) dengan waktu makan sahur itu ?” Dia menjawab: “sepadan dengan waktu yang dibutuhkan untuk  membaca 50 ayat.” (HR Al-Bukhari)

Ibnu Hajar Al-‘Asqolaniy dalam kitab Fathul Bari – Syarh Shahih Al-Bukhari, menjelaskan;

قوله (باب قدركم بين السحور وصلاة الفجر) أي انتهاء السحور وابتداء الصلاة لأن المراد تقدير الزمان الذي ترك فيه الأكل والمراد بفعل الصلاة أول الشروع فيها قاله الزين بن المنير (فتح الباري - ابن حجر 4 / 138)

Maksud perkataannya (Imam Al-Bukhari) [Bab perkiraan berapa lama waktu antara sahur dan shalat subuh] yakni waktu akhir sahur dan mulai shalat, karena sesungguhnya yang dimaksud adalah perkiraan waktu berhenti makan; dan yang dimaksud dengan “melakukan shalat” adalah awal masuk waktu shalat, sebagaimana dikatakan oleh Az-Zain bin Al-Munir

Selanjutnya Ibnu Hajar menjelaskan:

قوله (قال قدر خمسين آية) أي متوسطة لا طويلة ولا قصيرة لا سريعة ولا بطيئة

“Kalimat (beliau bersabda: “seukuran 50 ayat”) yakni bacaan yang sedang; tidak  panjang dan tidak pendek, tidak cepat dan tidak juga lambat”.

Imam an-Nawawi di dalam kitab “Syarah Muslim” tatkala mensyarahkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Bakar bin Abu Syaibah yang kandungannya hampir sama dengan hadits Imam al-Bukhari di atas, menyatakan:-

... وفيه الحث على تأخير السحور إلى قبيل الفجر ( شرح النووي على مسلم  7 / 207 )

“… padanya (yakni dalam hadits tersebut) terkandung anjuran untuk mengakhirkan sahur beberapa saat sebelum terbit fajar”, ( yakni kita dianjurkan untuk mengakhirkan makan sahur beberapa saat sebelum terbitnya fajar shadiq.

Perhatikanlah, dengan berdasarkan pemahaman terhadap hadits di atas yang berasal dari perbuatan Rasul shallallahu 'alaihi wasallam. ulama berpendapat bahwa waktu imsak yang menjadi sunnah untuk menyelesaikan makan sahur (yakni bagi yang telah bersahur) adalah sebelum fajar shadiq terbit.

Sedangkan perkiraan waktu "10 menit" sebelum adzan shubuh dikumandangkan adalah ijtihad para ulama', sebab dalam hadits tersebut hanya dijelaskan bahwa perkiraan waktu selesai sahur sampai sholat shubuh kira-kira membaca 50 ayat Al-Qur'an.

Perkiraan 10 menit didasarkan atas perhitungan sebagai berikut:

[1] Fajar kadzib dan fajar shadiq adalah gejala alam seperti halnya terbitnya mega merah di ufuk barat [pertanda waktu Maghrib], condongnya matahari ke barat [pertanda waktu Dzuhur], dan gejala-gejala alam lainnya. Gejala-gejala alam ini, sejak lama sekali telah dapat diketahui melalui ilmu falak [astronomi], sehingga untuk mengetahuinya tidak perlu melalui pengamatan alam secara langsung. Fajar misalnya, untuk mengetahuinya tidak perlu kita keluar ke alam bebas, kemudian mengamatinya dengan mata telanjang, akan tetapi cukup dengan memanfaatkan kemajuan di bidang astronomi.

Karena itu, penentuan waktu salat kita, dan juga waktu imsak puasa kita, selama ini secara keseluruhan memakai standar ilmu falak, bukan melalui pengamatan alam secara langsung. Dan pada kenyataannya, penentuan ini lebih akurat dan lebih bisa dipertanggungjawabkan ketimbang pengamatan secara langsung tsb.

[2] Ilmu Falak yang banyak berkembang di penanggalan kita masih bersifat “taqdiry”, atau bersifat perkiraan, belum mampu menetapkan waktu dengan keakuratan 100%. Masih terdapat keragu-raguan sekitar satu hingga dua menitan dari waku faktualnya. Karena itu, dalam penanggalan yang banyak berkembang di negara kita, terdapat waktu “ihtiyath”, waktu preventif atau jaga-jaga. Misalnya, waktu dzuhur: sesuai dengan ketentuan ilmu falak yang ada, adalah jam 12:00. Akan tetapi karena keakuratannya belum mampu mancapai 100%, maka dalam penanggalan ditambahi lima menit. Jadi yang tercatat dalam penanggalan adalah 12:05, dengan asumsi ada waktu preventif 5 menit. Begitu pula waktu-waktu salat lainnya, ada penambahan antara tiga hingga lima menit dalam catatan di penanggalan.

[3] Dengan asumsi waktu preventif 5 menit, maka waktu subuh [terbitnya fajar] yang mestinya jatuh pada jam 4:30 [misalnya], menjadi jatuh pada jam 4:35 dalam pencatatan di penanggalan. Waktu yang sama, yakni terbitnya fajar, jika digunakan untuk menentukan mulainya berpuasa, maka akan terjadi pengajuan jam, dari jam 4:30 menjadi 4:20, dengan asumsi waktu preventif imsak 10 menit. Kalau waktu preventifnya adalah lima menit, maka waktu imsak sebagaimana dalam penanggalan adalah 4:25.

Dengan menghitung dua waktu preventif sekaligus, yakni preventif subuh dan preventif imsak, maka bisa dimengerti kalau jarak antara waktu imsak dan adzan subuh adalah 10 hingga 15 menit. Secara teoritik, mestinya waktu subuh dan waktu imsak adalah sama, yakni terbitnya fajar shadiq, akan tetapi dalam kenyataan yang tertulis dalam penanggalan bisa terpaut antara 10 hingga 15 menit.

Perlu dipahami pula bahwa hikmah dari penambahan waktu imsak adalah sebagai sikap kehati-hatian (ikhthiyath) agar sebelum waktu sholat subuh tiba seseorang sudah tidak dalam keadaan makan dan minum sehingga menyebabkan puasanya menjadi batal. Sikap berhati-hati seperti ini dianjurkan oleh agama, dan atas dasar inilah para ulama' menetapkan bahwa ketika sedang berpuasa dimakruhkan berlebihan ketika berkumur, karena dikhawatirkan airnya masuk dan puasanya batal, begitu juga ditetapkan mengenai kemakruhan mencium istri ketika puasa dengan alasan yang sama.

Kesimpulan akhir:
Waktu imsak memiliki dasar hukum agama, dan pada waktu ini seseorang masih diperbolehkan makan dan minum sampai terbitnya fajar, namun sebaiknya menyudahi makan dan minum pada saat telah masuk waktu imsak sebagai sikap kehati-hatian, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi.

Wallahu a'lam bish-showab.

Selengkapnya..