Rabu, 18 Februari 2009

Pengertian Tauhid

Tauhid adalah pecahan dari kata wahhada – yuwahhidu (وحد - يوحد) yang berarti ‘mengesakan’. Sedangkan menurut istilah: “meyakini akan keesaan Allah dalam Rububiyah (penciptaan, pemeliharaan, pemilikan), Uluhiyah (ikhlas beribadah kepadaNya) dan dalam Al-Asmaa wash-shifaat (nama-nama dan sifat)-Nya".

Dengan demikian, tauhid ada tiga macam:
1. Tauhid Rububiyah
2. Tauhid Uluhiyah
3. Tauhid Asma' wa Sifat.

Setiap macam dari ketiga macam tauhid itu memiliki makna yang harus dijelaskan agar menjadi terang perbedaan antara ketiganya.

Pertama : Tauhid Rububiyah
Artinya mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hal perbuatanNya. Seperti mencipta, memberi rezeki, menghidupkan dan mematikan, mendatangkan bahaya, memberi manfaat, dan lain-lain yang merupakan perbuatan-perbuatan khusus Allah Subhanahu wa Ta’ala . Seorang muslim haruslah meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memiliki sekutu dalam RububiyahNya.

Mengenai Tauhid Rububiyah ini, setiap orang (termasuk jin) mengakuinya, sekalipun orang-orang musyrik yang Allah Subhanahu wa Ta’ala utus Rasulullah kepada mereka. Mereka mayakini Tauhid Rububiyah ini, sebagaiman tersebut dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala .

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ

Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan mereka? Niscaya mereka menjawab “Allah”. Maka bagaimana mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)”.‌ [Al-Zukhruf : 87]

قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ ؛ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ

Katakanlah, “Siapakah yang mempunyai tujuh langit dan mempunyai “Arsy yang besar ?” Mereka akan menjawab, “Kepunyaan Allah”. Katakanlah, “Mengapa kamu tidak bertaqwa?” [Al-Mu’minun : 86-87]

Masih banyak ayat-ayat yang menunjukkan bahwa orang-orang musyrik meyakini Tauhid Rububiyah.

Kedua : Tauhid Uluhiyah
Artinya mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam jenis-jenis peribadatan yang telah disyariatkan. Seperti ; shalat, puasa, zakat, haji, do’a, nadzar, sembelihan, berharap, cemas, takut, dan sebagainya yang tergolong jenis ibadah.

Mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hal-hal tersebut dinamakan Tauhid Uluhiyah; dan tauhid jenis inilah yang dituntut oleh Allah Subhanhu wa Ta’ala dari hamba-hambaNya, yaitu mengesakan Allah dalam hal ibadah.

Jika mereka mengikrarkan Tauhid Rububiyah, maka hendaknya juga mengakui Tauhid Uluhiyah (ibadah). Sungguh, Rasulullah (diutus untuk) menyeru mereka agar meyakini Tauhid Uluhiyah. Hal ini disebutkan dalam firmanNya Subhanahu wa Ta’ala:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul kepada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut”, lalu diantara umat-umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula orang-orang yang telah dipastikan sesat. Oleh karena itu, berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (para rasul)” [An-Nahl; 36]

Setiap rasul menyeru manusia agar meyakini Tauhid Uluhiyah. Adapun Tauhid Rububiyah, karena merupakan fitrah, maka belumlah cukup kalau seseorang hanya meyakini tauhid ini saja.

Ketiga : Tauhid Asma was Sifat
Yaitu menetapkan nama-nama dan sifat-sifat untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh Allah untuk diriNya maupun yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam; serta meniadakan kekurangan-kekurangan dan aib-aib yang ditiadakan oleh Allah terhadap diriNya, dan apa yang ditiadakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihiwa sallam.

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ اللهُ الصَّمَدُ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

“Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” (Al-Ikhlas : 1-4)

Dan firmanNya :

وَلِلَّهِ الأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, Maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam nama-namaNya nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan” (Al-A’raf : 180).

Dan firmanNya :

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Melihat.” (As-Syura’ : 11) Tiga jenis tauhid inilah yang wajib diketahui oleh seorang muslim, lalu secara sungguh-sungguh mengamalkannya.

Referensi:
Al-Muntaqa Min Fatawa Syaikh Shalih Al-Fauzan II/17-18.

Selengkapnya..

Jumat, 13 Februari 2009

6 Kerusakan di Valentine’s Day

Banyak kalangan pasti sudah mengenal hari valentine (bahasa Inggris: Valentine’s Day). Hari tersebut dirayakan sebagai suatu perwujudan cinta kasih seseorang. Perwujudan yang bukan hanya untuk sepasang muda-mudi yang sedang jatuh cinta. Namun, hari tersebut memiliki makna yang lebih luas lagi. Di antaranya kasih sayang antara sesama, pasangan suami-istri, orang tua-anak, kakak-adik dan lainnya. Sehingga valentine’s day biasa disebut pula dengan hari kasih sayang.

Cikal Bakal Hari Valentine
Sebenarnya ada banyak versi yang tersebar berkenaan dengan asal-usul Valentine’s Day. Namun, pada umumnya kebanyakan orang mengetahui tentang peristiwa sejarah yang dimulai ketika dahulu kala bangsa Romawi memperingati suatu hari besar setiap tanggal 15 Februari yang dinamakan Lupercalia. Perayaan Lupercalia adalah rangkaian upacara pensucian di masa Romawi Kuno (13-18 Februari). Dua hari pertama, dipersembahkan untuk dewi cinta (queen of feverish love) Juno Februata. Pada 15 Februari, mereka meminta perlindungan dewa Lupercalia dari gangguan srigala. Selama upacara ini, kaum muda melecut orang dengan kulit binatang dan wanita berebut untuk dilecut karena anggapan lecutan itu akan membuat mereka menjadi lebih subur.
Ketika agama Kristen Katolik menjadi agama negara di Roma, penguasa Romawi dan para tokoh agama katolik Roma mengadopsi upacara ini dan mewarnainya dengan nuansa Kristiani, antara lain mengganti nama-nama gadis dengan nama-nama Paus atau Pastor. Agar lebih mendekatkan lagi pada ajaran Kristen, pada 496 M Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi Hari Perayaan Gereja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati St.Valentine yang kebetulan mati pada 14 Februari. (Dari berbagai sumber di internet)

Kaitan Hari Kasih Sayang dengan Valentine
St. Valentine yang dimaksud, juga dengan kisahnya tidak pernah diketahui ujung-pangkalnya karena tiap sumber mengisahkan cerita yang berbeda. Di antara versi yang ada menceritakan bahwa Kaisar Claudius II menganggap tentara muda bujangan lebih tabah dan kuat dalam medan peperangan daripada orang yang menikah. Kaisar lalu melarang para pemuda untuk menikah, namun St.Valentine melanggarnya dan diam-diam menikahkan banyak pemuda sehingga iapun ditangkap dan dihukum gantung pada 14 Februari 269 M. (Dari berbagai sumber di internet)

Dari penjelasan di atas dapat kita tarik kesimpulan:
1. Valentine’s Day berasal dari upacara keagamaan Romawi Kuno yang penuh dengan paganisme dan kesyirikan.
2. Upacara Romawi Kuno di atas akhirnya dirubah menjadi hari perayaan gereja dengan nama Saint Valentine’s Day atas inisiatif Paus Gelasius I. Jadi acara valentine menjadi ritual agama Nashrani yang dirubah peringatannya menjadi tanggal 14 Februari, bertepatan dengan matinya St. Valentine.
3. Hari valentine juga adalah hari penghormatan kepada tokoh nashrani yang dianggap sebagai pejuang dan pembela cinta.
4. Pada perkembangannya di zaman modern saat ini, perayaan valentine disamarkan dengan dihiasi nama “hari kasih sayang”.

Sungguh ironis memang kondisi umat Islam saat ini. Sebagian orang mungkin sudah mengetahui kenyataan sejarah di atas. Seolah-olah mereka menutup mata dan menyatakan boleh-boleh saja merayakan hari valentine yang cikal bakal sebenarnya adalah ritual paganisme. Sudah sepatutnya kaum muslimin berpikir, tidak sepantasnya mereka merayakan hari tersebut setelah jelas-jelas nyata bahwa ritual valentine adalah ritual non muslim bahkan bermula dari ritual paganisme. Selanjutnya kita akan melihat berbagai kerusakan yang ada di hari Valentine.

Kerusakan Pertama: Merayakan Valentine Berarti Meniru-niru Orang Kafir
Agama Islam telah melarang kita meniru-niru orang kafir (baca: tasyabbuh). Larangan ini terdapat dalam berbagai ayat, juga dapat ditemukan dalam beberapa sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hal ini juga merupakan kesepakatan para ulama (baca: ijma’). Inilah yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab beliau Iqtidho’ Ash Shiroth Al Mustaqim (Ta’liq: Dr. Nashir bin ‘Abdil Karim Al ‘Aql, terbitan Wizarotusy Syu’un Al Islamiyah).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269). Telah jelas di muka bahwa hari Valentine adalah perayaan paganisme, lalu diadopsi menjadi ritual agama Nashrani. Merayakannya berarti telah meniru-niru mereka.

Kerusakan Kedua: Menghadiri Perayaan Orang Kafir Bukan Ciri Orang Beriman
Allah Ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan orang-orang yang tidak menyaksikan perbuatan zur, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al Furqon [25]: 72).

Di antara pendapat yang ada mengatakan bahwa “tidak menyaksikan perbuatan zur” adalah tidak menghadiri perayaan orang musyrik. Inilah yang dikatakan oleh Ar Robi’ bin Anas (Zaadul Maysir, Ibnul Jauziy).

Jadi, ayat di atas adalah pujian untuk orang yang tidak menghadiri perayaan orang musyrik. Jika tidak menghadiri perayaan tersebut adalah suatu hal yang terpuji, maka ini berarti melakukan perayaan tersebut adalah perbuatan yang sangat tercela dan termasuk ‘aib (Lihat Iqtidho’, 1/483). Jadi, merayakan Valentine’s Day bukanlah ciri orang beriman karena jelas-jelas hari tersebut bukanlah hari raya umat Islam.

Kerusakan Ketiga: Mengagungkan Sang Pejuang Cinta Akan Berkumpul Bersamanya Di Hari Kiamat Nanti
Dalam sebuah hadits diriwayatkan:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَتَى السَّاعَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَعْدَدْتَ لَهَا قَالَ مَا أَعْدَدْتُ لَهَا مِنْ كَثِيرِ صَلَاةٍ وَلَا صَوْمٍ وَلَا صَدَقَةٍ وَلَكِنِّي أُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ قَالَ أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ
Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan bahwa seseorang bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kapan terjadi hari kiamat, wahai Rasulullah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?” Orang tersebut menjawab, “Aku tidaklah mempersiapkan untuk menghadapi hari tersebut dengan banyak shalat, banyak puasa dan banyak sedekah. Tetapi yang aku persiapkan adalah cinta Allah dan Rasul-Nya.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “(Kalau begitu) engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lain di Shohih Bukhari, Anas mengatakan,

فَمَا فَرِحْنَا بِشَيْءٍ فَرَحَنَا بِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ
“Kami tidaklah pernah merasa gembira sebagaimana rasa gembira kami ketika mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Anta ma’a man ahbabta (Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai).”

Maka Anas pun mengatakan,
قَالَ أَنَسٌ فَأَنَا أُحِبُّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبَا بَكْرٍوَعُمَرَ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ مَعَهُمْ بِحُبِّي إِيَّاهُمْ وَإِنْ لَمْ أَعْمَلْ بِمِثْلِ أَعْمَالِهِمْ
“Kalau begitu aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan ‘Umar. Aku berharap bisa bersama dengan mereka karena kecintaanku pada mereka, walaupun aku tidak bisa beramal seperti amalan mereka.”

Bandingkan, bagaimana jika yang dicintai dan diagungkan adalah seorang tokoh Nashrani yang dianggap sebagai pembela dan pejuang cinta di saat raja melarang menikahkan para pemuda. Valentine-lah sebagai pahlawan dan pejuang ketika itu. Lihatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas: “Kalau begitu engkau bersama dengan orang yang engkau cintai”. Jika Anda seorang muslim, manakah yang Anda pilih, dikumpulkan bersama orang-orang sholeh ataukah bersama tokoh Nashrani yang jelas-jelas kafir? Semoga hal ini menjadi bahan renungan bagi Anda, wahai para pengagum Valentine!

Kerusakan Keempat: Ucapan Selamat Berakibat Terjerumus Dalam Kesyirikan dan Maksiat
“Valentine” sebenarnya berasal dari bahasa Latin yang berarti : “Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat dan Yang Maha Kuasa”. Kata ini ditujukan kepada Nimrod dan Lupercus, tuhan orang Romawi. (Dari berbagai sumber)

Oleh karena itu disadari atau tidak, jika kita meminta orang menjadi “To be my valentine (Jadilah valentineku)”, berarti sama dengan kita meminta orang menjadi “Sang Maha Kuasa”. Jelas perbuatan ini merupakan kesyirikan yang besar, menyamakan makhluk dengan Sang Khalik, menghidupkan budaya pemujaan kepada berhala.

Kami pun telah kemukakan di awal bahwa hari valentine jelas-jelas adalah perayaan nashrani, bahkan semula adalah ritual paganisme. Oleh karena itu, mengucapkan selamat hari kasih sayang atau ucapan selamat dalam hari raya orang kafir lainnya adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama (baca: ijma’ kaum muslimin), sebagaimana hal ini dikemukakan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitabnya Ahkamu Ahlidz Dzimmah (1/441, Asy Syamilah). Beliau rahimahullah mengatakan, “Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal atau selamat hari valentine, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya. Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.”

Kerusakan Kelima: Hari Kasih Sayang Menjadi Hari Semangat Berzina
Perayaan Valentine’s Day di masa sekarang ini mengalami pergeseran. Kalau di masa Romawi, sangat terkait erat dengan dunia para dewa dan mitologi sesat, kemudian di masa Kristen dijadikan bagian dari simbol perayaan hari agama, maka di masa sekarang ini identik dengan pergaulan bebas muda-mudi. Mulai dari yang paling sederhana seperti pesta, kencan, bertukar hadiah hingga penghalalan praktek zina secara legal. Semua dengan mengatasnamakan semangat cinta kasih. Padalah mendekati zina saja haram, apalagi melakukannya. Allah Ta’ala berfirman :

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isro’ [17]: 32)

Kerusakan Keenam: Meniru Perbuatan Setan
Menjelang hari Valentine-lah berbagai ragam coklat, bunga, hadiah, kado dan souvenir laku keras. Berapa banyak duit yang dihambur-hamburkan ketika itu. Perbuatan setan lebih senang untuk diikuti daripada dibelanjakan untuk hal yang lebih bermanfaat. Itulah pemborosan yang dilakukan ketika itu, mungkin bisa bermilyar-milyar rupiah dihabiskan ketika itu oleh seluruh penduduk Indonesia, hanya demi merayakan hari Valentine. Tidakkah mereka memperhatikan firman Allah :
وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا - إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isro’ [17]: 26-27).
Maksudnya adalah mereka menyerupai setan dalam hal ini. Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tabdzir (pemborosan) adalah menginfakkan sesuatu pada jalan yang keliru.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim)

Penutup
Itulah sebagian kerusakan yang ada di hari valentine, mulai dari paganisme, kesyirikan, ritual Nashrani, perzinaan dan pemborosan. Sebenarnya, cinta dan kasih sayang yang diagung-agungkan di hari tersebut adalah sesuatu yang semu yang akan merusak akhlak dan norma-norma agama. Perlu diketahui pula bahwa Valentine’s Day bukan hanya diingkari oleh pemuka Islam melainkan juga oleh agama lainnya. Sebagaimana berita yang kami peroleh dari internet bahwa hari Valentine juga diingkari di India yang mayoritas penduduknya beragama Hindu. Alasannya, karena hari valentine dapat merusak tatanan nilai dan norma kehidupan bermasyarakat. Kami katakan: “Hanya orang yang tertutup hatinya dan mempertuhankan hawa nafsu saja yang enggan menerima kebenaran.”
Oleh karena itu, kami ingatkan agar kaum muslimin tidak ikut-ikutan merayakan hari Valentine, tidak boleh mengucapkan selamat hari Valentine, juga tidak boleh membantu menyemarakkan acara ini dengan jual beli, mengirim kartu, mencetak, dan mensponsori acara tersebut karena ini termasuk tolong menolong dalam dosa dan kemaksiatan. Ingatlah, Setiap orang haruslah takut pada kemurkaan Allah Ta’ala.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shollallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
[Muhammad Abduh Tuasikal, ST]

Selengkapnya..

Sejarah Perkembangan Ilmu Fiqh

Pada awal perkembangan Islam, kata fiqh belum bermakna spesifik sebagai “ilmu hukum Islam yang mengatur pelaksanaan ibada-ibadah ritual, yang menguraikan tentang detail perilaku Muslim dan kaitannya dengan lima prinsip pokok (wajib, sunnah, haram, makruh, mubah), serta yang membahas tentang hukum-hukum kemasyarakat (muamalat).

Hal ini bisa dimaklumi mengingat pada waktu itu para Sahabat Nabi tidak atau belum membutuhkan suatu piranti ilmu tertentu untuk mengatur kehidupan mereka. Mereka tinggal melihat dan mencontoh perilaku sehari-hari kehidupan Nabi, sebab pada beliaulah terletak wujud paling ideal Islam. Para Sahabat Nabi dapat menikmati secara live implementasi paling pas dan utuh peri kehidupan Islami; dari cara berwudlu, shalat, puasa, haji, berinteraksi dengan tetangga, dengan sesama Muslim, sampai pada hal-hal yang bersifat bisnis dan politis.

Pada awal perkembangan Islam, khususnya pada era Nabi, Islam belum menyebar secara luas dan cepat seperti pada dekade-dekade berikutnya. Sehingga persoalan-persoalan hukum baru belum muncul dan dengan demikian perbedaan pendapatpun belum mencuat ke permukaan. Setelah Nabi wafat, para sahabat menyebar ke berbagai penjuru dunia Islam, banyak dari mereka yang kemudian menempati posisi sebagai intelektual dan pemimpin agama. Di daerah-daerah baru Islam ini, persoalan-persoalan baru mulai bermunculan. Namun demikian, para Sahabat berusaha sebaik-baiknya (ijtihad) untuk memberi keputusan legal agama berdasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah atau Hadits Nabi. Di sini, perbedaan pendapat antara opini Sahabat di satu daerah dengan opini Sahabat di daerah lain mulai mencuat. Seperti perbedan yang terjadi antara Sahabat Ibnu Abbas dengan Ibnu Mas’ud tentang masalah riba. Juga antara Sahabat Umar Ibnu Khattab dengan Zayd Ibnu Tsabit tentang arti quru’ untuk masa menunggu (iddah) bagi istri yang dicerai. Kendatipun begitu perbedaan-perbedaan tersebut tidak keluar dari spirit Al-Qur’an dan sunnah.

Pada masa generasi sesudah Sahabat atau lebih populer dengan istilah Tabi’in, timbullah tiga divisi besar secara geografis di dunia Islam, yaitu Irak, Hijaz dan Syria. Di mana masing-masing mempunyai aktivitas legal yang independen. Di Irak kemudian terdapat dua golongan fiqh yaitu di Basrah dan Kufah. Di Syria aktivitas hukumnya tidak begitu dikenal kecuali lewat karya-karya Abu Yusuf. Sedangkan di Hijaz terdapat dua pusat aktivitas hukum yang sangat menonjol yaitu di Makkah dan Madinah. Di antara keduanya, Madinah lebih terkenal dan menjadi pelopor dalam perkembangan hukum Islam di Hijaz. Malik bin Anas atau Imam Malik (w.179 h./795 m.) pendiri madzhab Maliki adalah eksponen terakhir dari ahli hukum golongan Madinah. Sedangkan dari kalangan ahli fiqh Kufah terdapat nama Abu Hanifah.
Beberapa tahun kemudian muncullah nama Muhammad bin Idris Ash-Shafi’i (w.204 h/ 820 m.) atau Imam Syafi’i pendiri madzhab Syafi’iah yang merupakan salah satu murid Imam Malik. Kemudian muncullah nama Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal (w.241 h./ 855 m.), atau Imam Hambali, pendiri madzhab Hanabalah. Beliau adalah murid Imam Syafi’i. Pada saat munculnya empat pendiri madzhab fiqh dan kumpulan hasil-hasil karya mereka inilah, diperkirakan istilah fiqh dipakai secara spesifik sebagai satu disiplin ilmu hukum Islam sistematis, yang dipelajari secara khusus sebagaimana dibutuhkannya spesialisasi untuk mendalami disiplin-disiplin ilmu yang lain.

Setelah tahun 241 hijriah atau 855 masehi, yaitu tahun wafatnya pendiri madzhab fiqh terakhir, Imam Hanbali, maka berakhir pulalah era para pakar hukum Islam yang independen (mujtahid mutlaq). Secara factual, para ahli fiqh setelah itu cukup berafiliasi pada salah satu metode pengambilan hukum (ushul fiqh) yang ditetapkan oleh Imam madzhab yang empat di atas.

Pada saat yang sama kompilasi serta studi kritis terhadap hadits-hadits Nabi mulai mendapatkan momentum. Dari sini muncullah nama-nama perawi (pengumpul) Hadits terkenal seperti Abu Abdullah Muhammad Abu Ismail al-Bukhari atau Imam Bukhari (w.256 h.), Muslim Ibn al-Hajjaj atau Imam Muslim (w.261 h.), Tirmidzi (w.279 h.), Abu Dawud (w.279 h.), Ibnu Majah (w.273), Nasai’I (w.303 h.). Kumpulan Hadits-hadits mereka terkenal dengan sebutan Kutub as-Sittah atau Enam Kitab Kumpulan Hadits-hadits Nabi. Enam kodifikasi Hadits ini oleh para pakar fiqh pasca Imam Madzhab yang empat diambil sebagai salatu sumber rujukan utama di dalam membuat aktivitas hukum Islam.

Pada prinsipnya keempat madzhab fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) secara substantif tidaklah berbeda, yang berbeda satu sama lain hanya menyangkut hal-hal detail (furu’). Kesamaan substan­tif ini terutama berkaitan dengan sumber-sumber hukum yang mereka pakai dalam melak­sanakan aktivitas hukum­nya: al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’ (konsensus ulama) dan Qiyas (analogi). Sumber hukum yang keempat ini akan diberlakukan apabila terjadi suatu kasus yang solusinya tidak ditemukan dalam sumber hukum yang tiga.

Berdasarkan keempat sumber hukum inilah para pakar hukum Islam atau pakar ahli fiqh menetapkan keputusan-keputusan hukum yang senantiasa berkembang selaras dengan perkembangan zaman. Dari sini, muncullah ratusan bahkan ribuan kitab-buku tentang hukum Islam atau fiqh sebagai antisipasi serta respon ahli fiqh terhadap persoalan-persoalan hukum pada masing-masing zamannya.

Dari kalangan madzhab Syafi’i (madzhab yang dianut oleh mayoritas umat Islam Indonesia), terbit ratusan bahkan ribuan buku fiqh, hasil karya ulama-ulama fiqh terdahulu. Kitab-kitab ini–yang di kalangan pesantren di sebut kitab kuning – menjadi pokok kajian para santri di pesantren salaf, sebagaimana telah disinggung pada awal tulisan ini.

Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan ilmu fiqh terbagi dalam empat periode. Periode pertama dimulai dari hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah (966 m.) dan berakhir ketika beliau wafat (632 m.). Periode ini merupakan masa legislative Islam, di mana prinsip-prinsip hukum Islam telah ditanam oleh Tuhan melalui al-Qur’an dan hadits Nabi.
Periode kedua sejak wafatnya Nabi (pada awal munculnya fiqh empat madzhab), meliputi masa Sahabat dan Tabi’in. Periode ketiga, pada abad kedua dan ketiga hijrah, ditandai dengan munculnya studi-studi ilmu hukum Islam secara teoritis dan sistematis yang mengarah pada tegaknya empat madzhab Sunni yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Pada periode inilah istilah ‘fiqh’ menjadi spesifik untuk ilmu hukum Islam, dan pada era ini pula istilah Syariah mulai diidentikkan dengan fiqh.

Periode keempat bermula dari abad keempat hijrah sampai sekarang. Para ahli fiqh mulai sibuk mengembangkan metode pengambilan hukum hasil karya para pendiri madzhab yang empat dan tidak lagi memakai metode-metode hukum yang independen dalam segala aktivitas hukumnya.

Fiqh dalam Wacana Kontemporer
Zaman terus berubah dan berkembang. Dan kini, eksistensi kitab kuning dalam sorotan. Di satu sisi, ia tetap menjadi “materi wajib” bagi umat Islam tradisional (baca: santri-pesantren) dalam menjawab berbagai macam problematika kehidupan umat Islam. Mereka (sepertinya) meyakini bahwa semua permasalahan umat masih bisa dijawab oleh khazanah-khazanah klasik itu. Di sisi lain, kelompok Islam modernis (liberalis) justeru “setengah hati” dengan kitab kuning. Bagi mereka, tidak semua permasalahan di zaman serba mesin ini mampu dijawab dan direspon oleh kitab yang dikarang pada ratusan tahun yang silam, ketika zaman masih “sederhana”. Oleh karenanya, kata kelompok terakhir, diperlukan kajian atau bahkan ijtihad baru, karena kitab kuning lahir dan tercipta untuk menjawab permasalahan di masanya, sedangkan “al-hukmu yaduru ma’a illatihi: wujudan wa adaman”.

Kalangan pesantren seakan enggan bersinggungan dengan kitab-kitab fiqh kontemporer. Sebaliknya, kelompok modernis juga merasa “gengsi” mengkaji kitab klasik. Dan kesenjangan pun lahir. Siapa yang benar dan siapa yang salah? Tak mudah mencari jawabnya. Dan mereka tak sepenuhnya salah. Yang salah di sini adalah sifat ekstrem dalam keduanya. Ironis. Yang salah adalah oknum pesantren yang menganggap kitab kuning adalah sabda agama yang sakralitasnya nyaris menyamai al-Qur’an, sehingga tidak perlu digugat dan diper­masalahkan keabsahannya. Maka, ketika kitab kuning sudah berbicara, ia seakan menjadi konsensus dari semua permasalahan. Kelompok ini cenderung berpikir hitam-putih serta halal-haram. Mereka seakan lupa (atau memang pura-pura lupa) bahwa kitab kuning yang menjadi simbol kebangggan mereka, dikarang sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi pada waktu itu.

Di lain pihak, kalangan islam liberal (mungkin) terlalu kebablasan dalam menolak karangan ulama salaf. Mereka beranggapan bahwa hukum adalah milik akal, sehingga setiap orang mampu membuat dan mencetak hukum asalkan masih berpijak pada maslahah-mafsadah (dalam persepsi otak mereka sendiri). Kelompok ini juga berpandangan bahwa ulama-ulama dulu juga manusia biasa yang karangannya masih perlu dikritisi dan dikaji ulang, sehingga diperlukan ijtihad baru yang lebih toleran dan elegan. Mereka menganggap bahwa semua orang berhak berijtihad sesuai dengan kehendaknya. Toh, kata mereka, jika ternyata ijtihadnya salah masih mendapat satu pahala.

Pertanyaan selanjutnya adalah, “Seberapa pantaskah mereka melakukan ijtihad?”Sudah cukupkah kapasitas keilmuan mereka untuk mengkaji hukum agama dari sumber aslinya? Ijtihad bukan barang murahan yang bisa dilakukan oleh siapapun. Ada banyak kriteria yang harus dipenuhi oleh calon mujtahid.

Dus, diperlukan kearifan untuk menjembatani kesenjangan yang terjadi, misalnya kalangan pesantren sudah mau membuka diri untuk mengenal dan mengkaji fiqih kontemporer serta melepas “baju” fanatisme yang berlebihan terhadap eksistensi kitab kuning, karena walau bagaimanapun kitab kuning tidak bisa dipaksa untuk menjawab semua permasalahan global. Dalam hal ini, langkah strategis telah ditempuh oleh pesantren dengan melakukan istinbat jama’i (sistem penggalian hukum secara kolektif) seperti yang diisyaratkan hasil Munas Alim Ulama NU di Lampung beberapa tahun yang lalu.

Kiranya, istinbat jama’i ini menjadi solusi alternatif untuk mensiasati dan menjembatani kesenjangan-dalam satu sisi-dan membuka kran pemikiran kaum pesantren dalam menjawab problematiaka sosial -di sisi yang lain- walaupun harus tetap berpijak pada landasan “almuhafadlah ala al-qadim as-sholeh, wal akhdz bi al-jadid al-ashlah” (melestarikan nilai lama yang baik, dan mengambil nilai baru yang lebih bermanfaat).

Wallahu a’lam.
A. Fatih Syuhud
* Penulis, Research Associate di Zakir Hussain Institute of Islamic Studies, New Delhi; mahasiswa Agra University.

Referensi:
- Al-Quran dan Hadith
- Azami, Nizamuddin, Aqsam al-Hadits fi ushul at-Tahdits, Deoband (India), (tanpa tahun).
- Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, LP3ES, Jakarta, 1982.
- Steenbrink, Karel A., Pesantren Madrasah Sekolah, LP3ES, Jakarta, 1986.
- Wahjoetomo, Dr. dr., Perguruan Tinggi Pesantren Pendidikan Alternatif Masa Depan, Gema Insani Pers, Jakarta, 1997.
- Zuhri, KH Saifuddin, Guruku Orang-orang dari Pesantren, Al-Maarif, Bandung, 1974.
- Khalaf, Abdul Wahhab, Ilm Ushul al-Fiqh, Dar al-Qalam, Kuwait, 1986/1406.
- Goldziher, I, “Fikh” dalam E.J. Brils First Encyclopaedia of Islam, Brill, Leiden, 1987, Vol.3.
- Schacht, J. “Fiqh” dalam The Encyclopaedia of Islam, Luzac & Co., London, 1960, Vol.2.
- Allaq, Wait B. “Faqiha” dalam Esposito, J.L. (Ed.) The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, Oxford University press, New York, Oxford, 1995, Vol.II.
- Yasui, Lewis Ma’luf El-, Al-Munjid, Dar el-Machreq, Beirut, 1986, hlm.591. - Cowan, J.M. (Ed.).
- The Hans Wehr Dictionary of Modern Written Arabic, Spoken Language Services, Inc., Ithaca, New York, 1976.
- Maqdisi, Muhammad Faidullah al-, Fathur-Rahman li Thalib Ayat al-Qur’an, Dar al-Fikr, Beirut, 1989/1409 - Ghazali, Abu Hamid al-, Ihya Ulum ad-Din, Cairo, 1939, Vol.1.
- Glasse, Cyril, The Concise Encyclopaedia of Islam, Stacey International, London, 1989.
- Hasan, Ahmad, The Early Development of Islamic Jurisprudence, Islamic Research Institute, Islamabad, 1982.
- Abdur Rahim, The Principle of Muhammadan Jurisprudence, All Pakistan Legal Decisions, Lahore, 1958.
- Mas’ud, Muhammad Khalid, Islamic Legal Philosophy, International Islamic Publishers, New Delhi, 1989.
- Husain, Syed Athar, Muslim Personal Law: an Exposition, Muslim Personal Law Board, Lucknow, 1989.
- Hitti, P.K., History of the Arabs, Macmillan Education Ltd., London, 1989.
- Mir, Mustansir, “The Qur’an in Muslim Thought and Practice” dalam Esposito, op.cit., Vol.III.
- Syed Muhammad al-, Zubdah al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Ar-Rasyid, Madinah, 1981.
- Maliki, Syed Muhammad al-, Ilm Musthalah al-Hadits, Madinah, 1991.

Sumber: http://alkhoirot.com

Selengkapnya..

Rabu, 11 Februari 2009

Definisi Fiqih

Fiqh menurut Etimologi
Fiqh menurut bahasa berarti; faham, sebagaimana firman Allah SWT:

وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي - يَفْقَهُوا قَوْلِي
“Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku. Supaya mereka memahami perkataanku”. Thaha:27-28

Pengertian fiqh seperti diatas, juga tertera dalam ayat lain, seperti; Surah Hud:91, Surah At Taubah:122, Surah An Nisa: 78

Fiqh dalam terminologi Islam:
Dalam terminologi Islam, fiqh mengalami proses penyempitan makna; apa yang dipahami oleh generasi awal umat ini berbeda dengan apa yang populer di generasi kemudian, karenanya kita perlu kemukakan pengertian fiqh menurut versi masing-masing generasi;

1. Dalam terminologi generasi Awal
Dalam pemahaman generasi-generasi awal umat Islam (zaman Sahabat, Tabi’in dst.), fiqh berarti pemahaman yang mendalam terhadap Islam secara utuh, sebagaimana tersebut dalam Atsar-atsar berikut, diantaranya sabda Rasulullah SAW:
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ
“Mudah-mudahan Allah memuliakan orang yang mendengar suatu hadist dariku, maka ia menghapalkannya kemudian menyampaikannya (kepada yang lain), karena banyak orang yang menyampaikan fiqh (pengetahuan tentang Islam) kepada orang yang lebih menguasainya dan banyak orang yang menyandang fiqh (tetapi) dia bukan seorang Faqih”. HR Abu Daud, At Tirmdzi, An Nasai dan Ibnu Majah

Ketika mendo’akan Ibnu Abbas, Rasulullah SAW berkata:
اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ
“Ya Allah berikan kepadanya pemahaman dalam agama dan ajarkanlah kepadanya tafsir”. HR Bukhari dan Muslim

Dalam penggalan cerita Anas bin Malik tentang beredarnya isu bahwa Rasulullah SAW telah bersikap tidak adil dalam membagikan rampasan perang Thaif, ia berkata:
فَقَالَ فُقَهَاءُ الْأَنْصَارِ أَمَّا رُؤَسَاؤُنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَلَمْ يَقُولُوا شَيْئًا
“Para ahli fiqih (cendekiawan) kaum anshar berkata kepadanya: Adapun para pemimpin kami, Wahai Rasulullah ! tidak pernah mengatakan apapun”. HR Bukhari

Makna fiqh yang universal seperti diatas itulah yang difahami generasi sahabat, tabi’in dan beberapa generasi sesudahnya, sehingga Imam Abu Hanifah memberi judul salah satu buku akidahnya dengan “al Fiqh al Akbar”.

Istilah fuqoha dari pengertian fiqih diatas berbeda dengan makna istilah Qurra sebagaimana disebutkan Ibnu Khaldun, karena dalam suatu hadist ternyata kedua istilah ini dibedakan, Rasulullah SAW bersabda:

وَسَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ قَلِيلٌ فُقَهَاؤُهُ كَثِيرٌ قُرَّاؤُهُ يُحْفَظُ فِيهِ حُرُوفُ الْقُرْآنِ وَتُضَيَّعُ حُدُودُهُ كَثِيرٌ مَنْ يَسْأَلُ قَلِيلٌ مَنْ يُعْطِي يُطِيلُونَ فِيهِ الْخُطْبَةَ وَيَقْصُرُونَ الصَّلَاةَ يُبَدُّونَ فِيهِ أَهْوَاءَهُمْ قَبْلَ أَعْمَالِهِمْ

“Dan akan datang pada manusia suatu zaman dimana para faqihnya sedikit sedangkan Qurranya banyak; mereka menghafal huruf-huruf al Qur’an dan menyia-nyiakan norma-normanya, (pada masa itu) banyak orang yang meminta tetapi sedikit yang memberi, mereka memanjangkan khutbah dan memendekkan sholat, serta memperturutkan hawa nafsunya sebelum beramal”. HR Malik

Lebih jauh tentang pengertian Fiqh seperti disebutkan diatas, Shadru al Syari’ah Ubaidillah bin Mas’ud menyebutkan:”Istilah fiqh menurut generasi pertama identik atas ilmu akhirat dan pengetahuan tentang seluk beluk kejiwaan, sikap cenderung kepada akhirat dan meremehkan dunia, dan aku tidak mengatakan (kalau) kalau fiqh itu sejak awal hanya mencakup fatwa dan (urusan) hukum-hukum yang dhahir saja”ii.

Demikian juga Ibnu Abidin, beliau berkata: ”Yang dimaksud Fuqaha adalah orang-orang yang mengetahuai hukum-hukum Allah dalam I’tikad dan praktek, karenanya penamaan ilmu Furu’ sebagai fiqh adalah sesuatu yang baru”.

Definisi ini diperkuat dengan perkataan al Imam al Hasan al Bashri: ”Orang faqih itu adalah yang berpaling dari dunia, menginginkan akhirat, memahami agamanya, konsisten beribadah kepada Tuhannya, bersikap wara’, menahan diri dari privasi kaum muslimin, ta’afuf terhadap harta orang dan senantiasa menasihati jama’ahnya”.

2. Fiqh dalam terminologi Mutaakhirin:
Dalam terminologi mutakhirin, Fiqh adalah Ilmu furu yaitu: ”mengetahui hukum Syara’ yang bersipat amaliah dari dalil-dalilnya yang rinci”.

Keterangan definisi ini adalah:

- Hukum Syara’: Hukum yang diambil yang diambil dari Syara’ (al Qur’an dan as Sunnah), seperti; Wajib, mandub, haram, makruh dan mubah.

- Yang bersifat amaliah: bukan yang berkaitan dengan aqidah dan kejiwaan

- Dalil-dali yang rinci: seperti; dalil wajibnya sholat adalah “wa Aqiimus sholaah”, bukan kaidah-kaidah umum seperti kaidah Ushul Fiqh.

Dengan definisi diatas, fiqh tidak hanya mencakup hukum syara’ yang bersifat dharuriah (aksiomatik), seperti; wajibnya sholat lima waktu, haramnya khamr, dsb. Tetapi juga mencakup hukum-hukum yang dhanny, seperti; apakah menyentuh wanita itu membatalkan wudhu atau tidak? Apakah yang harus dihapus dalam wudhu itu seluruh kepala atau cukup sebagiannya saja?

Lebih spesifik lagi, para ahli hukum dan undang-undang Islam memberikan definisi fiqh dengan; Ilmu khusus tentang hukum-hukum syara’ yang furu dengan berlandaskan hujjah dan argumen.


Hubungan Fiqh dan Syari’ah
Setelah dijelaskan pengertian fiqh dalam terminologi mutakhirin yang kemudian populer sekarang, dapat diambil kesimpulan bahwa hubungan antar Fiqh dan Syari’ah adalah:

- Bahwa ada kecocokan antara Fiqh dan Syari’ah dalam satu sisi, namun masing-masing memiliki cakupan yang lebih luas dari yang lainnya dalam sisi yang lain, hubungan seperti ini dalam ilmu mantiq disebut “‘umumun khususun min wajhin” yakni; Fiqh identik dengan Syari’ah dalam hasil-hasil ijtihad mujtahid yang benar. Sementara pada sisi yang lain Fiqh lebih luas, karena pembahasannya mencakup hasil-hasil ijtihad mujtahid yang salah, sementara Syari’ah lebih luas dari Fiqh karena bukan hanya mencakup hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah amaliah saja, tetapi juga aqidah, akhlak dan kisah-kisah umat terdahulu.

- Syariah sangat lengkap; tidak hanya berisikan dalil-dalil furu’, tetapi mencakup kaidah-kaidah umum dan prinsif-prinsif dasar dari hukum syara, seperti; Ushul al Fiqh dan al Qawa’id al Fiqhiyyah.

- Syari’ah lebih universal dari Fiqh.

- Syari’ah wajib dilaksanakan oleh seluruh umat manusia sehingga kita wajib mendakwahkannya, sementara fiqh seorang Imam tidak demikian halnya.

- Syari’ah seluruhnya pasti benar berbeda dengan fiqh.

- Syari’ah kekal abdi, sementara fiqh seorang Imam sangat mungkin berubah.


Patokan-patokan dalam Fiqh:
Dalam mempelajari fiqh, Islam telah meletakkan patokan-patokan umum guna menjadi pedoman bagi kaum muslimin, yaitu :

1. Melarang membahas peristiwa yang belum terjadi sampai ia terjadi.
Sebagaimana Firman Allah Ta’ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman ! janganlah kamu menanyakan semua perkara, karena bila diterangkan padamu, nanti kamu akan jadi kecewa ! tapi jika kamu menanyakan itu ketika turunnya al-qur’an tentulah kamu akan diberi penjelasan. Kesalahanmu itu telah diampuni oleh Allah dan Allah maha pengampun lagi penyayang”. QS. Al-Maidah: 101

Dan dalam sebuah hadits ada tersebut bahwa Nabi Saw. telah melarang mempertanyakan “Aghluthath” yakni masalah-masalah yang belum lagi terjadi.

2. Menjauhi banyak tanya dan masalah-masalah pelik.
Dalam sebuah hadits di katakan:

وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةِ الْمَالِ

“Sesungguhnya Allah membenci banyak debat, banyak tanya dan menyia-nyiakan harta”. (HR Bukhari dan Muslim)

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوهَا وَحَرَّمَ حُرُمَاتٍ فَلاَ تَنْتَهِكُوهَا وَحَدَّ حُدُودًا فَلاَ تَعْتَدُوهَا وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ مِنْ غَيْرِ نِسْيَانٍ فَلاَتَبْحَثُوا عَنْهَا

“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban maka janganlah disia-siakan, dan telah menggariskan undang-undang, maka jangan dilampui, mengharamkan beberapa larangan maka jangan dlannggar, serta mendamkan beberapa perkara bukan karena lupa untuk menjadi rahmat bagimu, maka janganlah dibangkit-bangkit ! “ HR Al-Baihaqi, Ath-Thabrani dan Ad-Daaruquthni.

إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ

“Orang yang paling besar dosanya ialah orang yang menanyakan suatu hal yang mulanya tidak haram, kemudian diharamkan dengan sebab pertanyaan itu”. HR Bukhari dan Muslim


3. Menghindarkan pertikaian dan perpecahan didalam agama.
Sebagaimana Firman Allah Ta’ala :

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

“Hendaklah kamu sekalian berpegang teguh pada tali Allah dan jangan berpecah belah !”.(QS Ali Imran 103).

Dan firmanNya :

وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ

“Janganlah kamu berbantah-bantahan dan jangan saling rebutan nanti kamu gagal dan hilang pengaruh !” (QS al-anfal 46).

Dan firmanNya lagi :

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

”Dan janganlah kamu seperti halnya orang-orang yang berpecah belah dan bersilang sengketa demi setelah mereka menerima keterangan-keterangan ! dan bagi mereka itu disediakan siksa yang dahsyat”. (QS. Ali Imran 105)

4. Mengembalikan masalah-masalah yang dipertikaikan kepada Kitab dan sunah.
Berdasarkan firman Allah SWT:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ

“Maka jika kamu berselisih tentang sesuatu perkara, kembalilah kepada Allah dan Rasul”. (QS. An Nisa 59).

Dan firman-Nya :

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ

”Dan apa-apa yang kamu perselisihkan tentang sesuatu maka hukumnya kepada Allah”. (QS. Asy Syuro 10).

Hal demikian itu, karena soal-soal keagamaan telah diterangkan oleh Al-qur’an, sebagaimana firman Allah SWT :

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ

“Dan kami turunkan Kitab Suci Al-qur’an untuk menerangkan segala sesuatu. (QS. An-Nahl 89).

Begitu juga dalam surah: Al-An’am 38, An-Nahl 44 dan An-Nisa 105, Allah telah menjelaskan keuniversalan al Qur’an terhadap berbagai masalah kehidupan.

Sehingga dengan demikian sempurnalah ajaran Islam dan tidak ada lagi alasan untuk berpaling kepada selainnya. Allah SWT berfirman :

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Ku sempurnakan bagimu agamamu, telah Ku cukupkan ni’mat karunia-Ku dan telah Ku Ridhoi Islam sebagai agamamu”. (QS. Al Maidah 3).

Dan firman Allah SWT:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Tidak ! Demi Tuhan ! mereka belum lagi beriman, sampai bertahkim padamu tentang soal-soal yang mereka perbantahkan kemudian tidak merasa keberatan didalam hati menerima putusanmu, hanya mereka serahkan bulat-bulat kepadamu”. (QS. An-Nisa 66)

Selengkapnya..

Senin, 09 Februari 2009

Definisi Aqidah

Pengertian Aqidah Secara Bahasa (Etimologi) :

Kata "‘aqidah" diambil dari kata dasar "al-‘aqdu" yaitu ar-rabth (ikatan), al-Ibraam (pengesahan), al-ihkam (penguatan), at-tawatstsuq (menjadi kokoh, kuat), asy-syaddu biquwwah (pengikatan dengan kuat), at-tamaasuk (pengokohan), al-muraashah (erat/rapat) dan al-itsbaatu (penetapan). Di antaranya juga mempunyai arti al-yaqiin (keyakinan) dan al-jazmu (penetapan).
"Al-‘Aqdu" (ikatan) lawan kata dari al-hallu (penguraian, pelepasan). Dan kata tersebut diambil dari kata kerja: "‘Aqadahu" "Ya'qiduhu" (mengikatnya), " ‘Aqdan" (ikatan sumpah), dan "‘Uqdatun Nikah" (ikatan pernikahan).

Seperti dalam firman Allah Ta'ala,
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ
"Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja ..." (Al-Maa-idah : 89).

Aqidah artinya ketetapan yang tidak ada keraguan pada orang yang mengambil keputusan. Sedang pengertian aqidah dalam agama maksudnya adalah berkaitan dengan keyakinan bukan perbuatan. Seperti aqidah dengan adanya Allah dan diutusnya pada Rasul. Bentuk jamak dari aqidah adalah aqa-id. (Lihat kamus bahasa: Lisaanul ‘Arab, al-Qaamuusul Muhiith dan al-Mu'jamul Wasiith: (bab: ‘Aqada).

Jadi kesimpulannya, apa yang telah menjadi ketetapan hati seorang secara pasti adalah aqidah; baik itu benar ataupun salah.

Pengertian Aqidah Secara Istilah (Terminologi):
Yaitu perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa menjadi tenteram karenanya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang teguh dan kokoh, yang tidak tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan.

Dengan kata lain, keimanan yang pasti tidak terkandung suatu keraguan apapun pada orang yang menyakininya. Dan harus sesuai dengan kenyataannya; yang tidak menerima keraguan atau prasangka. Jika hal tersebut tidak sampai pada tingkat keyakinan yang kokoh, maka tidak dinamakan aqidah. Dinamakan aqidah, karena orang itu mengikat hatinya diatas hal tersebut.
Aqidah Islamiyyah:
Maknanya adalah keimanan yang pasti teguh dengan Rububiyyah Allah Ta'ala, Uluhiyyah-Nya, para Rasul-Nya, hari Kiamat, takdir baik maupun buruk, semua yang terdapat dalam masalah yang ghaib, pokok-pokok agama dan apa yang sudah disepakati oleh Salafush Shalih dengan ketundukkan yang bulat kepada Allah Ta'ala baik dalam perintah-Nya, hukum-Nya maupun ketaatan kepada-Nya serta meneladani Rasulullah SAW.
Kata “Aqidah Islamiyyah” jika disebutkan secara mutlak, maka yang dimaksud adalah aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, karena itulah pemahaman Islam yang telah diridhai oleh Allah sebagai agama bagi hamba-Nya. Itulah aqidah tiga generasi pertama yang dimuliakan yaitu generasi sahabat, tabi'in dan orang yang mengikuti mereka dengan baik.

Istilah lain Aqidah Islamiyyah:
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, istilah aqidah Islamiyyah mempunyai padanan lain, di antaranya; at-Tauhid, as-Sunnah, Ushuluddiin, al-Fiqbul Akbar, Asy-Syari'iah dan al-Iman.

Istilah-istilah itulah yang terkenal dalam ilmu ‘aqidah menurut Ahlis Sunnah .

Sumber: Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih (Intisari Aqidah Salafus Shaalih) - Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari.

Selengkapnya..

Selasa, 03 Februari 2009

Kenapa Nabi kok gak ada dari wanita ..

Suatu hari ada seorang teman yang bertanya: "Kenapa Nabi kok gak ada dari wanita ya ...bukannya laki2 dan perempuan sama saja (kayak pemerintah aja dlm program KB) ?. Atau itu sudah takdir Allah, Ustad?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, berikut sebuah artikel tentang Nabi dan Rasul yang saya kutip dari http://www.syariah.com/:


Tidak Ada Nabi dari Kalangan Wanita dan Jin

Iman kepada para rasul merupakan salah satu rukun iman yang wajib diimani seorang mukmin. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi.” (Al-Baqarah: 177)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ketika ditanya tentang masalah iman oleh Jibril ‘alaihissalam:
أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلاَئِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
”Engkau beriman kepada Allah, kepada malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan engkau beriman kepada hari akhir serta mengimani qadar yang baik dan jeleknya.” (HR. Muslim no. 1)

Pengertian Rasul
Rasul adalah seorang laki-laki yang diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan membawa risalah kepada orang-orang yang menyelisihi perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Catatan:
Seluruh rasul adalah nabi. Namun para ulama menjelaskan perbedaan nabi dengan rasul:
- Sebagian ulama menjelaskan bahwa nabi adalah laki-laki yang diberi wahyu dan tidak diperintah untuk berdakwah. Adapun rasul, diperintah untuk berdakwah.
- Sebagian ulama lain menjelaskan bahwa rasul diutus dengan risalah yang baru, sedangkan nabi melanjutkan syariat rasul sebelumnya. Pendapat ini disebutkan oleh Al-Alusi dan dikuatkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu.
- Syaikhul Islam rahimahullahu menyebutkan bahwa rasul adalah seorang yang diberi wahyu oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan diutus kepada orang yang menyelisihi perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun jika mengamalkan syariat rasul sebelumnya dan tidak diutus kepada kaum tertentu, maka dia adalah nabi bukan rasul.

Kesimpulannya adalah apa yang diucapkan Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullahu: “Rasul lebih khusus dari nabi. Semua rasul adalah nabi, namun tidak semua nabi adalah rasul.” (Lihat Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah, hal 180, Tanbihat Saniyah, hal. 9)

Makna Iman kepada Rasul

Iman kepada rasul mencakup beberapa perkara:

1. Beriman bahwa risalah mereka adalah haq, benar datangnya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Barangsiapa yang mengingkari risalah salah seorang dari mereka berarti dia telah kufur kepada seluruh rasul. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

كَذَّبَتْ قَوْمُ نُوْحٍ الْمُرْسَلِيْنَ

“Kaum Nuh telah mendustakan para rasul.” (Asy-Syu’ara`: 105)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan mereka mendustakan semua rasul, padahal tidak ada nabi ketika itu selain Nuh ‘alaihissalam. Demikian pula kaum Nasrani yang telah mendustakan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pada hakikatnya mereka telah mendustakan Nabi ‘Isa ‘alaihissalam. Apalagi Nabi ‘Isa ‘alaihissalam telah mengabarkan berita gembira akan kedatangan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Adapun rasul yang kita tidak tahu namanya, maka kita mengimaninya secara global. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ

“Dan sesungguhnya telah kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak kami ceritakan kepadamu.” (Ghafir: 78)

2. Mengimani nama-nama para rasul yang telah kita ketahui namanya, seperti Nabi Muhammad, Ibrahim, Musa, ‘Isa, dan Nuh ‘alaihimussalam.

3. Membenarkan berita-berita yang benar dari mereka

4. Mengamalkan syariat rasul yang diutus kepada kita, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan. Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa`: 65)
[Lihat Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t, hal. 97-98]


Hikmah Diutusnya Para Rasul
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menjelaskan, hikmah diutusnya para rasul adalah:
1. Menegakkan hujjah.
2. Sebagai rahmat bagi alam ini.
3. Menjelaskan jalan yang akan menyampaikan manusia kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Lihat Al-Qaulul Mufid Syarh Kitab At-Tauhid)

Beberapa Masalah Penting

* Seluruh rasul adalah manusia, tidak ada rasul dari kalangan jin.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا وَإِبْرَاهِيمَ وَجَعَلْنَا فِي ذُرِّيَّتِهِمَا النُّبُوَّةَ وَالْكِتَابَ فَمِنْهُمْ مُهْتَدٍ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim, dan Kami jadikan kepada keturunan keduanya kenabian dan Al-Kitab. Maka di antara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak di antara mereka yang fasik.” (Al-Hadid: 26)

Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullahu berkata: “Para rasul adalah dari kalangan manusia saja. Demikian yang dikatakan oleh Mujahid rahimahullahu dan lainnya dari kalangan salaf dan khalaf.” (Lihat Syarh Ath-Thahawiyah hal. 191)


* Semua Rasul adalah Laki-laki
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلاَّ رِجَالاً نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka. Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (An-Nahl: 43)

Asy-Syaikh Abdurahman As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Maknanya, engkau bukanlah rasul yang baru (pertama). Kami tidak pernah mengutus sebelummu malaikat, namun yang Kami utus adalah laki-laki sempurna, bukan dari kalangan wanita.”

Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaah –dan ini dinukilkan oleh Abul Hasan Al-Asy’ari dari mereka– bahwa tidak ada nabi dari kalangan perempuan. Yang ada di kalangan mereka adalah shiddiqah, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang wanita yang paling mulia, Maryam bintu ‘Imran:

مَا الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ إِلاَّ رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ وَأُمُّهُ صِدِّيقَةٌ كَانَا يَأْكُلاَنِ الطَّعَامَ

“Al-Masih putra Maryam itu hanyalah seorang rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan.” (Al-Ma`idah: 75)

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutnya sebagai shiddiqah (seorang yang sangat benar) dalam kedudukan yang paling mulia. Kalau seandainya dia adalah nabi, niscaya akan disebutkan dalam rangka memuliakan dan mengagungkannya. Dia adalah shiddiqah berdasarkan nash Al-Qur`an.” (Tafsir Ibnu Katsir)

Asy-Syaikh Abdurahman As-Sa’di rahimahullahu ketika menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

مَا الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ إِلاَّ رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ وَأُمُّهُ صِدِّيقَةٌ كَانَا يَأْكُلاَنِ الطَّعَامَ

“Al-Masih putra Maryam itu hanyalah seorang rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan.” (Al-Ma`idah: 75)

Beliau rahimahullahu berkata: “Ini adalah dalil bahwa Maryam bukanlah nabi. Bahkan derajat tertinggi baginya adalah shiddiqah. Cukuplah hal ini sebagai kemuliaan dan keutamaan. Demikian pula seluruh wanita, tidak ada seorangpun dari mereka yang menjadi seorang nabi.

Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan bahwa kenabian adalah dari jenis yang paling sempurna yaitu kaum pria. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلاَّ رِجَالاً نُوحِي إِلَيْهِمْ

“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka.” (Tafsir As-Sa’di hal. 240)

Ijma’ tentang masalah ini telah dinukil oleh Al-Qadhi Abu Bakr, Al-Qadhi Abu Ya’la, Abul Ma’ali, dan Al-Kirmani serta selain mereka. (Lihat tahqiq Yasin terhadap Syarh Al-Wasithiyyah)


* Tidak Ada Nabi dan Rasul setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Al-Ahzab: 40)

Asy-Syaikh Muhammad Nashirudin Al-Albani rahimahullahu berkata: “Aqidah ini (yakni Muhammad adalah nabi terakhir) telah ditetapkan dalam hadits yang masyhur diterima oleh umat.” (Ta’liq Ath-Thahawiyyah)

Di antara hadits yang beliau isyaratkan adalah:
1. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فُضِّلْتُ عَلَى الْأَنْبِيَاءِ بِسِتٍّ: أُعْطِيتُ جَوَامِعَ الْكَلِمِ، وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ، وَأُحِلَّتْ لِيَ الْغَنَائِمُ، وَجُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ طَهُورًا وَمَسْجِدًا، وَأُرْسِلْتُ إِلَى الْخَلْقِ كَافَّةً، وَخُتِمَ بِيَ النَّبِيُّونَ

“Aku diberi keutamaan atas nabi selainku dengan enam hal: aku diberi jawami’ul kalim, ditolong dengan rasa takut, dihalalkan bagiku ghanimah, dijadikan bagiku bumi sebagai masjid dan alat bersuci, aku diutus kepada semua makhluk, dan kenabian ditutup olehku.” (HR. Muslim no. 523)


2. Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

إِنَّهُ سَيَكُونُ فِي أُمَّتِي كَذَّابُونَ ثَلَاثُونَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ لَا نَبِيَّ بَعْدِي

“Akan ada setelahku 30 orang pendusta, semuanya mengaku sebagai nabi. Padahal aku adalah penutup para nabi, tidak ada nabi setelahku.” (HR. Abu Dawud no. 4252, dan Ahmad dengan sanad yang shahih)

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: “Di antara para dajjal tersebut adalah Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadiyani, yang mengaku sebagai nabi.” (lihat Ta’liqat Ath-Thahawiyyah)
Al-Imam Ath-Thahawi rahimahullahu berkata: “Semua pengakuan kenabian setelah Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kesesatan dan hawa nafsu semata.”

Sebab-sebab Penyimpangan Aqidah
Masalah aqidah merupakan perkara terpenting yang harus dipelajari, dipahami dan dijaga oleh setiap muslim. Kemungkaran terbesar yang harus diingkari adalah penyimpangan aqidah. Namun sangat disayangkan, munculnya penyimpangan-penyimpangan aqidah di kalangan muslimin bukannya diingkari, namun malah diikuti dan ‘dipelihara’.

Di antara sekian panyimpangan aqidah adalah ucapan yang menyatakan adanya nabi setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti diserukan oleh Ahmadiyah Qadiyaniyyah, juga Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Ucapan mereka jelas sesat dan menyesatkan, bertentangan dengan dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah yang sebagiannya telah kita sebutkan.

Yang perlu kita cermati adalah, apakah sebab penyimpangan-penyimpangan aqidah? Mengapa sebagian orang tertipu dan terjerumus dalam penyimpangan tersebut?

Penyimpangan dalam aqidah banyak sebabnya, diantaranya:

1. Kebodohan seseorang akan aqidah yang benar karena tidak mau belajar dan mengajarkannya, serta kurang mementingkan perkara aqidah.

2. Ta’ashub (fanatik) kepada nenek moyang dan orang yang dianggap sesepuh walaupun ajaran mereka adalah batil. Ini adalah penyakit kaum musyrikin. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلاَ يَهْتَدُونَ

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab: ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.’ (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui sesuatupun, dan tidak mendapat petunjuk?” (Al-Baqarah: 170)

3. Taqlid buta, membebek dan mengambil perkataan orang dalam masalah aqidah tanpa mengetahui dalilnya dan tanpa meneliti kebenarannya.

4. Kosongnya rumah-rumah kaum muslimin dari pendidikan Islami dan pengajaran aqidah yang benar. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah kedua orangtuanyalah yang akan menjadikan dia Yahudi atau Nasrani atau Majusi.”

5. Kurangnya pendidikan aqidah yang benar di sarana-sarana pendidikan dan informasi. Sarana informasi sekarang ini lebih cenderung kepada masalah duniawi, bahkan kebanyakan menjadi alat perusak. (Lihat Kitab At-Tauhid li shafil awwal ali, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal. 14,)

Jalan untuk Menjaga Diri dari Penyimpangan

Seorang muslim wajib berusaha menyelamatkan dirinya dari penyimpangan. Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menyatakan:
“Cara-cara untuk menjaga diri dari penyimpangan adalah sebagai berikut:
1 Kembali kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah dalam menerima masalah aqidah sebagaimana dilakukan para salaf kita yang shalih, karena mereka telah mengambil aqidah dari keduanya. Tidak akan bagus keadaan akhir umat ini kecuali dengan apa yang telah membaguskan generasi awalnya. Hal ini disertai dengan pengetahuan terhadap berbagai keyakinan kelompok-kelompok sesat serta syubhat mereka untuk dibantah, dan agar umat diperingatkan dari mereka. Karena seorang yang tidak tahu kejelekan dikhawatirkan dia akan terjatuh padanya
2 Mementingkan pengajaran aqidah shahihah –aqidah shalafus shalih– dalam berbagai jenjang pendidikan serta memberikan alokasi waktu yang cukup untuknya.
3 Memasukkan pelajaran kitab-kitab salafiyah yang murni dan menjauhkan kitab-kitab kelompok yang menyimpang.
4 Dakwah para dai yang memperbaiki dan memperbarui aqidah, yang mengajari aqidah salaf kepada manusia serta membantah kesesatan orang menyimpang.” (Kitab At-Tauhid lishaffil awal ali, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal.14-15, dengan sedikit perubahan)

Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberikan taufiq kepada kita menuju shirathal mustaqim dan istiqamah di atasnya.

Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Sumber: www.syariah.com

Selengkapnya..