Minggu, 06 September 2009

KEHARUSAN MEMILIKI ILMU DALAM BERDA'WAH

Seorang da’i haruslah memiliki ilmu tentang apa yang ia dakwahkan di atas ilmu yang shahih yang berangkat dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Karena setiap ilmu yang diambil dari selain Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, wajib diteliti terlebih dahulu. Setelah menelitinya, maka dapat menjadi jelas apakah ilmu tersebut selaras ataukah menyelisihi Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Apabila selaras maka diterima dan apabila menyelisihi maka wajib menolaknya tidak peduli siapapun yang mengucapkannya.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya beliau berkata :
يوشك أن تنزل عليكم حجارة من السماء أقول: قال رسول الله وتقولون: قال أبو بكر وعمر
“Sungguh nyaris kalian ditimpa hujan batu dari langit. Saya mengatakan sabda Rasulullah, kalian malah menjawab dengan ucapan Abu Bakr dan ’Umar.”

Apabila pada ucapan Abu Bakr dan ’Umar yang menyelisihi ucapan Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam saja (diancam) seperti ini, lantas bagaimana menurut anda dengan ucapan orang yang keilmuan, ketakwaan, persahabatan dan kekhilafahannya di bawah keduanya (Abu Bakr dan ’Umar)?!

Sesungguhnya, menolak ucapan orang yang menyelisihi Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam adalah suatu hal yang lebih utama. Allah Azza wa Jalla telah berfirman :
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَـالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
”Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih.” (QS an-Nuur : 63)

Imam Ahmad rahimahullahu berkata :
أتدري ما الفتنة؟ الفتنة الشرك، لعله إذا ردّ بعض قوله أن يقع في قلبه شيء من الزيغ فيهلك

”Apakah anda tahu apa yang dimaksud dengan fitnah (dalam ayat di atas, pent.)? fitnah adalah syirik. Bisa jadi ketika ia menolak sebagian ucapan Rasulullah akan masuk ke dalam hatinya sesuatu kesesatan yang pada akhirnya akan membinasakannya.”

Sesungguhnya, bekal pertama yang seharusnya seorang da’i di jalan Allah mempersiapkannya adalah, ia harus berada di atas ilmu yang diambil dari Kitabullah Ta’ala dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ’alaihi wa Salam yang shahih lagi maqbul (diterima). Adapun dakwah tanpa ilmu maka sesungguhnya ini termasuk dakwah di atas kejahilan, dan berdakwah di atas kejahilan itu madharatnya lebih besar dibandingkan manfaatnya. Karena da’i yang berdakwah di atas kejahilan ini, menempatkan dirinya sebagai seorang yang mengarahkan dan membimbing.

Apabila ia orang yang jahil, maka dengan melakukan dakwah seperti ini (di atas kejahilan), dapat menyebabkannya sesat dan menyesatkan, wal’iyadzubillah. Kejahilannya ini akan menjadi jahlul murokkab (kebodohan yang bertingkat) sedangkan jahlul murokkab itu lebih buruk dibandingkan jahlul basith. Karena jahlul basith itu dapat menahan pelakunya dan tidak akan berbicara, dan bisa jadi ia dapat menghilangkan kejahilannya dengan belajar. Tetapi, yang menjadi sumber segala permasalahan adalah keadaan orang yang jahil murokkab, karena orang yang jahil murokkab ini tidak mau diam, ia akan terus berbicara walaupun dari kejahilannya. Pada saat itulah ia menjadi orang yang lebih banyak membinasakan daripada menerangi.

Saudaraku sekalian, sesungguhnya berdakwah ke jalan Allah tanpa diiringi dengan ilmu itu menyelisihi tuntunan Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam dan orang yang mengikuti beliau. Dengarkanlah firman Allah Ta’ala yang memerintahkan Nabi-Nya Muhammad Shallallahu ’alaihi wa Salam dalam firman-Nya berikut :
قُلْ هَـذِهِ سَبِيلِى أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِى وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَآ أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

”Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah di atas bashiroh (hujjah yang nyata). Maha Suci Allah, dan Aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik".” (QS Yusuf : 108)

Firman-Nya ”Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah di atas bashiroh (hujjah yang nyata)”, artinya adalah : orang yang mengikuti beliau Shallallahu ’alaihi wa Salam, wajib atasnya berdakwah mengajak kepada Allah di atas bashiroh, tidak di atas kejahilan.

Renungkanlah wahai para da’i firman Allah ”di atas bashiroh”, yaitu di atas bashiroh pada tiga hal :

Pertama : di atas bashiroh terhadap apa yang di dakwahkan, yaitu ia haruslah memiliki ilmu (baca : mengetahui) tentang hukum syar’i yang ia dakwahkan. Karena bisa jadi ia mengajak kepada sesuatu yang ia duga sebagai suatu hal yang wajib sedangkan di dalam syariat tidaklah wajib, sehingga ia mengharuskan hamba-hamba Allah sesuatu yang Allah tidak mengharuskannya. Bisa jadi pula ia mengajak untuk meninggalkan sesuatu yang ia anggap haram sedangkan hal itu di dalam agama Allah tidaklah haram, sehingga ia telah mengharamkan bagi hamba-hamba Allah sesuatu yang Allah halalkan bagi mereka.

Kedua : di atas bashiroh terhadap kondisi dakwah (baca : kondisi obyek dakwah, pent.), oleh karena itulah Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam tatkala mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau berpesan padanya :
إنك ستأتي قوماً من أهل كتاب
”Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum dari ahli kitab”1
Supaya dia (Mu’adz) mengetahui kondisi mereka dan bersiap-siap di dalam menghadapi mereka.

Oleh karena itulah kondisi mad’u (obyek dakwah) ini haruslah diketahui, sejauh mana tingkat pengetahuan mereka? Sejauh mana kemampuan mereka untuk debat? Sehingga ia dapat mempersiapkan dirinya untuk berdiskusi dan berdebat dengan mereka. Karena sesungguhnya, apabila anda memasuki perdebatan dengan orang seperti ini (baca : yang lebih berilmu dan pandai debat sedangkan anda tidak mengetahuinya, pent.), sedangkan dia lebih tangguh di dalam berdebat, maka hal ini akan menjadi bencana yang besar terhadap kebenaran, dan andalah penyebab ini semua.

Anda jangan pernah sekali-kali beranggapan bahwa para pelaku kebatilan pasti gagal di dalam segala hal, padahal Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam bersabda :

إنكم تختصمون إليّ ولعل بعضكم أن يكون ألحن بحجته من بعض فأقضي له بنحو ما أسمع
”Sesungguhnya kalian bertikai dan datang melapor kepadaku, dan bisa jadi ada sebagian dari kalian yang lebih lihai di dalam mengemukakan hujjahnya daripada yang lainnya sehingga aku memutuskannya berdasarkan apa yang aku dengar.”2

Hadits ini menunjukkan bahwa seorang yang bertikai, walaupun ia seorang yang batil, terkadang ia lebih cakap di dalam mengemukakan hujjahnya daripada orang lain, sehingga diputuskan berdasarkan apa yang didengar dari orang yang bertikai ini, oleh karena itulah anda harus mengetahui kondisi mad’u.

Ketiga : di atas bashiroh di dalam cara berdakwah. Allah Ta’ala berfirman :
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَـدِلْهُم بِالَّتِى هِىَ أَحْسَنُ
”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS an-Nahl : 125).

Sebagian manusia, acap kali ketika menjumpai suatu kemungkaran, ia langsung terburu-buru main sikat. Ia tidak berfikir akan dampak dan akibat perbuatannya ini, tidak hanya bagi dirinya, namun juga bagi dirinya dan rekan seperjuangannya sesama da’i yang menyeru kepada kebenaran. Oleh karena itulah, wajib bagi seorang da’i sebelum ia bergerak (untuk berdakwah), hendaknya ia mencermati dan menimbang dampak-dampaknya. Kadang kala, dapat juga terjadi pada waktu itu, sesuatu yang tidak hanya akan memadamkan kobaran semangat atas aktivitasnya (baca : dakwahnya), namun perbuatannya ini juga akan memadamkan api semangatnya dan semangat orang selainnya di masa yang akan datang, mungkin dalam waktu dekat tidak lama lagi. Oleh karena itulah, aku menganjurkan saudara-saudaraku agar berdakwah dengan menggunakan hikmah dan ta`anni (baca : tenang, tidak tergesa-gesa), suatu perkara yang mungkin akan menunda waktu barang sedikit, namun hasilnya akan terpuji dengan kehendak Allah Ta’ala.

Apabila hal ini, maksudku da’i yang berbekal dengan ilmu shahih yang dibangun di atas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam, merupakan sesuatu yang ditunjukkan oleh nash-nash syar’iyyah, maka sesungguhnya (hal ini) juga ditunjukkan oleh akal yang sharih (terang) yang tidak memiliki syubhat maupun syahwat. Karena bagaimana mungkin anda dapat berdakwah menyeru kepada Allah Jalla wa ’Ala sedangkan anda tidak mengetahui jalan yang dapat mengantarkan kepada-Nya. Anda tidak mengetahu syariat-Nya lantas bagaimana bisa dibenarkan anda menjadi seorang da’i? Apabila seorang manusia tidak memiliki ilmu, maka yang utama baginya adalah belajar terlebih dahulu, baru kemudian ia boleh berdakwah.

Mungkin akan ada yang berkata : ”Bukankah ucapan anda ini menyelisihi ucapan Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam :
بلغوا عني ولو آية
”Sampaikan dariku walaupun hanya satu ayat.”3

Maka saya jawab : tidak. Karena Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam bersabda : ”Sampaikan dariku”, oleh karena itulah sesuatu yang kita sampaikan haruslah benar-benar dari Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam. Dan inilah yang kami maksudkan. Pada saat kami mengatakan bahwa da’i itu memerlukan ilmu, kami bukanlah memaksudkan bahwa ia haruslah mencapai tingkatan orang yang ahli di dalam ilmu, namun kami mengatakan bahwa ia tidak boleh berdakwah melainkan dengan apa yang ia ketahui saja dan tidak boleh berkata melainkan dengan yang ia ketahui.

--------------
1. Dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Kitabuz Zakah, Bab Akhdzush Shodaqoh minal Aghniya’ wa taruddu ilal Fuqoro` haitsu kaanuu (1469) dan Muslim dalam Kitabul Iman, Bab as-Du`a’ ila asy-Syahadatain wa Syaro’i` al- Islam (13), (19).
2. Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam Kitabusy Syahadaat, Bab man Aqoomal Bayyinah ba’dal Yamiin (2680) dan Kitabul Ahkaam, Bab Mau’izhatul Imam lil Hadhorim (7169) serta Muslim di dalam Kitab Bab Bayaan anna Hukmal Haakim la yughoyyirul Bathin (1713).
3. Dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Kitab Ahaadits al-Anbiya`, Bab Ma dzakaro ’an Bani Isra`il (3461).

Sumber: Kitab < زاد الداعية إلى الله > oleh Syekh Muhammad Shalih bin ‘al-‘Utsaimin

Selengkapnya..