Rabu, 11 Februari 2009

Definisi Fiqih

Fiqh menurut Etimologi
Fiqh menurut bahasa berarti; faham, sebagaimana firman Allah SWT:

وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي - يَفْقَهُوا قَوْلِي
“Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku. Supaya mereka memahami perkataanku”. Thaha:27-28

Pengertian fiqh seperti diatas, juga tertera dalam ayat lain, seperti; Surah Hud:91, Surah At Taubah:122, Surah An Nisa: 78

Fiqh dalam terminologi Islam:
Dalam terminologi Islam, fiqh mengalami proses penyempitan makna; apa yang dipahami oleh generasi awal umat ini berbeda dengan apa yang populer di generasi kemudian, karenanya kita perlu kemukakan pengertian fiqh menurut versi masing-masing generasi;

1. Dalam terminologi generasi Awal
Dalam pemahaman generasi-generasi awal umat Islam (zaman Sahabat, Tabi’in dst.), fiqh berarti pemahaman yang mendalam terhadap Islam secara utuh, sebagaimana tersebut dalam Atsar-atsar berikut, diantaranya sabda Rasulullah SAW:
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ
“Mudah-mudahan Allah memuliakan orang yang mendengar suatu hadist dariku, maka ia menghapalkannya kemudian menyampaikannya (kepada yang lain), karena banyak orang yang menyampaikan fiqh (pengetahuan tentang Islam) kepada orang yang lebih menguasainya dan banyak orang yang menyandang fiqh (tetapi) dia bukan seorang Faqih”. HR Abu Daud, At Tirmdzi, An Nasai dan Ibnu Majah

Ketika mendo’akan Ibnu Abbas, Rasulullah SAW berkata:
اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ
“Ya Allah berikan kepadanya pemahaman dalam agama dan ajarkanlah kepadanya tafsir”. HR Bukhari dan Muslim

Dalam penggalan cerita Anas bin Malik tentang beredarnya isu bahwa Rasulullah SAW telah bersikap tidak adil dalam membagikan rampasan perang Thaif, ia berkata:
فَقَالَ فُقَهَاءُ الْأَنْصَارِ أَمَّا رُؤَسَاؤُنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَلَمْ يَقُولُوا شَيْئًا
“Para ahli fiqih (cendekiawan) kaum anshar berkata kepadanya: Adapun para pemimpin kami, Wahai Rasulullah ! tidak pernah mengatakan apapun”. HR Bukhari

Makna fiqh yang universal seperti diatas itulah yang difahami generasi sahabat, tabi’in dan beberapa generasi sesudahnya, sehingga Imam Abu Hanifah memberi judul salah satu buku akidahnya dengan “al Fiqh al Akbar”.

Istilah fuqoha dari pengertian fiqih diatas berbeda dengan makna istilah Qurra sebagaimana disebutkan Ibnu Khaldun, karena dalam suatu hadist ternyata kedua istilah ini dibedakan, Rasulullah SAW bersabda:

وَسَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ قَلِيلٌ فُقَهَاؤُهُ كَثِيرٌ قُرَّاؤُهُ يُحْفَظُ فِيهِ حُرُوفُ الْقُرْآنِ وَتُضَيَّعُ حُدُودُهُ كَثِيرٌ مَنْ يَسْأَلُ قَلِيلٌ مَنْ يُعْطِي يُطِيلُونَ فِيهِ الْخُطْبَةَ وَيَقْصُرُونَ الصَّلَاةَ يُبَدُّونَ فِيهِ أَهْوَاءَهُمْ قَبْلَ أَعْمَالِهِمْ

“Dan akan datang pada manusia suatu zaman dimana para faqihnya sedikit sedangkan Qurranya banyak; mereka menghafal huruf-huruf al Qur’an dan menyia-nyiakan norma-normanya, (pada masa itu) banyak orang yang meminta tetapi sedikit yang memberi, mereka memanjangkan khutbah dan memendekkan sholat, serta memperturutkan hawa nafsunya sebelum beramal”. HR Malik

Lebih jauh tentang pengertian Fiqh seperti disebutkan diatas, Shadru al Syari’ah Ubaidillah bin Mas’ud menyebutkan:”Istilah fiqh menurut generasi pertama identik atas ilmu akhirat dan pengetahuan tentang seluk beluk kejiwaan, sikap cenderung kepada akhirat dan meremehkan dunia, dan aku tidak mengatakan (kalau) kalau fiqh itu sejak awal hanya mencakup fatwa dan (urusan) hukum-hukum yang dhahir saja”ii.

Demikian juga Ibnu Abidin, beliau berkata: ”Yang dimaksud Fuqaha adalah orang-orang yang mengetahuai hukum-hukum Allah dalam I’tikad dan praktek, karenanya penamaan ilmu Furu’ sebagai fiqh adalah sesuatu yang baru”.

Definisi ini diperkuat dengan perkataan al Imam al Hasan al Bashri: ”Orang faqih itu adalah yang berpaling dari dunia, menginginkan akhirat, memahami agamanya, konsisten beribadah kepada Tuhannya, bersikap wara’, menahan diri dari privasi kaum muslimin, ta’afuf terhadap harta orang dan senantiasa menasihati jama’ahnya”.

2. Fiqh dalam terminologi Mutaakhirin:
Dalam terminologi mutakhirin, Fiqh adalah Ilmu furu yaitu: ”mengetahui hukum Syara’ yang bersipat amaliah dari dalil-dalilnya yang rinci”.

Keterangan definisi ini adalah:

- Hukum Syara’: Hukum yang diambil yang diambil dari Syara’ (al Qur’an dan as Sunnah), seperti; Wajib, mandub, haram, makruh dan mubah.

- Yang bersifat amaliah: bukan yang berkaitan dengan aqidah dan kejiwaan

- Dalil-dali yang rinci: seperti; dalil wajibnya sholat adalah “wa Aqiimus sholaah”, bukan kaidah-kaidah umum seperti kaidah Ushul Fiqh.

Dengan definisi diatas, fiqh tidak hanya mencakup hukum syara’ yang bersifat dharuriah (aksiomatik), seperti; wajibnya sholat lima waktu, haramnya khamr, dsb. Tetapi juga mencakup hukum-hukum yang dhanny, seperti; apakah menyentuh wanita itu membatalkan wudhu atau tidak? Apakah yang harus dihapus dalam wudhu itu seluruh kepala atau cukup sebagiannya saja?

Lebih spesifik lagi, para ahli hukum dan undang-undang Islam memberikan definisi fiqh dengan; Ilmu khusus tentang hukum-hukum syara’ yang furu dengan berlandaskan hujjah dan argumen.


Hubungan Fiqh dan Syari’ah
Setelah dijelaskan pengertian fiqh dalam terminologi mutakhirin yang kemudian populer sekarang, dapat diambil kesimpulan bahwa hubungan antar Fiqh dan Syari’ah adalah:

- Bahwa ada kecocokan antara Fiqh dan Syari’ah dalam satu sisi, namun masing-masing memiliki cakupan yang lebih luas dari yang lainnya dalam sisi yang lain, hubungan seperti ini dalam ilmu mantiq disebut “‘umumun khususun min wajhin” yakni; Fiqh identik dengan Syari’ah dalam hasil-hasil ijtihad mujtahid yang benar. Sementara pada sisi yang lain Fiqh lebih luas, karena pembahasannya mencakup hasil-hasil ijtihad mujtahid yang salah, sementara Syari’ah lebih luas dari Fiqh karena bukan hanya mencakup hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah amaliah saja, tetapi juga aqidah, akhlak dan kisah-kisah umat terdahulu.

- Syariah sangat lengkap; tidak hanya berisikan dalil-dalil furu’, tetapi mencakup kaidah-kaidah umum dan prinsif-prinsif dasar dari hukum syara, seperti; Ushul al Fiqh dan al Qawa’id al Fiqhiyyah.

- Syari’ah lebih universal dari Fiqh.

- Syari’ah wajib dilaksanakan oleh seluruh umat manusia sehingga kita wajib mendakwahkannya, sementara fiqh seorang Imam tidak demikian halnya.

- Syari’ah seluruhnya pasti benar berbeda dengan fiqh.

- Syari’ah kekal abdi, sementara fiqh seorang Imam sangat mungkin berubah.


Patokan-patokan dalam Fiqh:
Dalam mempelajari fiqh, Islam telah meletakkan patokan-patokan umum guna menjadi pedoman bagi kaum muslimin, yaitu :

1. Melarang membahas peristiwa yang belum terjadi sampai ia terjadi.
Sebagaimana Firman Allah Ta’ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman ! janganlah kamu menanyakan semua perkara, karena bila diterangkan padamu, nanti kamu akan jadi kecewa ! tapi jika kamu menanyakan itu ketika turunnya al-qur’an tentulah kamu akan diberi penjelasan. Kesalahanmu itu telah diampuni oleh Allah dan Allah maha pengampun lagi penyayang”. QS. Al-Maidah: 101

Dan dalam sebuah hadits ada tersebut bahwa Nabi Saw. telah melarang mempertanyakan “Aghluthath” yakni masalah-masalah yang belum lagi terjadi.

2. Menjauhi banyak tanya dan masalah-masalah pelik.
Dalam sebuah hadits di katakan:

وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةِ الْمَالِ

“Sesungguhnya Allah membenci banyak debat, banyak tanya dan menyia-nyiakan harta”. (HR Bukhari dan Muslim)

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوهَا وَحَرَّمَ حُرُمَاتٍ فَلاَ تَنْتَهِكُوهَا وَحَدَّ حُدُودًا فَلاَ تَعْتَدُوهَا وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ مِنْ غَيْرِ نِسْيَانٍ فَلاَتَبْحَثُوا عَنْهَا

“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban maka janganlah disia-siakan, dan telah menggariskan undang-undang, maka jangan dilampui, mengharamkan beberapa larangan maka jangan dlannggar, serta mendamkan beberapa perkara bukan karena lupa untuk menjadi rahmat bagimu, maka janganlah dibangkit-bangkit ! “ HR Al-Baihaqi, Ath-Thabrani dan Ad-Daaruquthni.

إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ

“Orang yang paling besar dosanya ialah orang yang menanyakan suatu hal yang mulanya tidak haram, kemudian diharamkan dengan sebab pertanyaan itu”. HR Bukhari dan Muslim


3. Menghindarkan pertikaian dan perpecahan didalam agama.
Sebagaimana Firman Allah Ta’ala :

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

“Hendaklah kamu sekalian berpegang teguh pada tali Allah dan jangan berpecah belah !”.(QS Ali Imran 103).

Dan firmanNya :

وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ

“Janganlah kamu berbantah-bantahan dan jangan saling rebutan nanti kamu gagal dan hilang pengaruh !” (QS al-anfal 46).

Dan firmanNya lagi :

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

”Dan janganlah kamu seperti halnya orang-orang yang berpecah belah dan bersilang sengketa demi setelah mereka menerima keterangan-keterangan ! dan bagi mereka itu disediakan siksa yang dahsyat”. (QS. Ali Imran 105)

4. Mengembalikan masalah-masalah yang dipertikaikan kepada Kitab dan sunah.
Berdasarkan firman Allah SWT:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ

“Maka jika kamu berselisih tentang sesuatu perkara, kembalilah kepada Allah dan Rasul”. (QS. An Nisa 59).

Dan firman-Nya :

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ

”Dan apa-apa yang kamu perselisihkan tentang sesuatu maka hukumnya kepada Allah”. (QS. Asy Syuro 10).

Hal demikian itu, karena soal-soal keagamaan telah diterangkan oleh Al-qur’an, sebagaimana firman Allah SWT :

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ

“Dan kami turunkan Kitab Suci Al-qur’an untuk menerangkan segala sesuatu. (QS. An-Nahl 89).

Begitu juga dalam surah: Al-An’am 38, An-Nahl 44 dan An-Nisa 105, Allah telah menjelaskan keuniversalan al Qur’an terhadap berbagai masalah kehidupan.

Sehingga dengan demikian sempurnalah ajaran Islam dan tidak ada lagi alasan untuk berpaling kepada selainnya. Allah SWT berfirman :

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Ku sempurnakan bagimu agamamu, telah Ku cukupkan ni’mat karunia-Ku dan telah Ku Ridhoi Islam sebagai agamamu”. (QS. Al Maidah 3).

Dan firman Allah SWT:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Tidak ! Demi Tuhan ! mereka belum lagi beriman, sampai bertahkim padamu tentang soal-soal yang mereka perbantahkan kemudian tidak merasa keberatan didalam hati menerima putusanmu, hanya mereka serahkan bulat-bulat kepadamu”. (QS. An-Nisa 66)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar