Senin, 24 Agustus 2015

PAHAM INKAR SUNNAH (2)

 KELEMAHAN PAHAM INKAR SUNNAH
Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah berkata, “Kebatilan yang terorganisir bisa mengalahkan kebenaran yang tidak terorganisir.” Barangkali ungkapan ini tepat untuk gerakan inkar Sunnah yang sedang kita bahas. Sekalipun gerakan ini adalah sesat dan menyesatkan, namun jika ia terorganisir rapi apalagi jika didukung oleh dana yang kuat, maka bukan tidak mungkin ia akan menjadi ancaman yang sangat serius bagi agama Islam.

Akan tetapi, sekuat apa pun argumentasi, konspirasi, dan dana yang disandang inkar Sunnah, apabila dihadapi dengan sungguh-sungguh, niscaya –dengan seizin Allah– kebenaran tetaplah yang tampil sebagai pemenang. Dan, kebatilan pasti akan runtuh. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا 
“Dan katakanlah; Telah datang kebenaran dan telah lenyap kebatilan. Sesungguhnya kebatilan itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (Al-Israa`: 81)

Layaknya gerakan atau paham atau aliran lain yang juga sesat atau di luar koridor Islam yang sebenarnya; inkar Sunnah pun memiliki sejumlah kelemahan, kontradiksi, dan fondasi yang rapuh. Memang, bisa jadi mereka tidak mau mengakui, tetapi mereka akan bersilat lidah dan ngeles jika sudah buntu tidak menemukan alasan atau jawaban apa pun. Di sini akan kami paparkan secara ringkas sejumlah titik lemah dan kejanggalan paham sesat inkar Sunnah yang kami perhatikan selama ini. Akan tetapi, kami mencoba untuk membantah dan mengungkap kesesatan mereka dengan memakai paradigma pemikiran dan pemahaman mereka, yaitu dengan Al-Qur`an dan logika, termasuk logika sejarah.

1. Hanya Menghalalkan Apa yang Dihalalkan Allah dalam Al-Qur`an dan Mengharamkan Apa yang Diharamkan Allah dalam Al-Qur`an
Mereka selalu mengatakan bahwa mereka hanya menghalalkan apa yang dihalalkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Al-Qur`an dan mengharamkan apa yang diharamkan-Nya dalam Al-Qur`an. Mereka sama sekali menafikan apa yang dihalalkan dan diharamkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam Sunnahnya. Padahal, Sunnah Nabi adalah penjelas Kitab Allah dan apa yang dihalalkan ataupun diharamkan oleh Nabi merupakan penjelas terhadap apa yang terdapat dalam Al-Qur`an.
Contoh dalam hal ini, yaitu:
- Mereka membolehkan perempuan haid untuk membaca Al-Qur`an, shalat, masuk masjid, dan berpuasa.
- Mereka membolehkan laki-laki menggauli istrinya dari duburnya.
- Mereka menghalalkan daging binatang dua alam, bertaring, bercakar, dan menjijikkan.
- Mereka tidak mewajibkan jilbab.
- Dan lain-lain.

Pendapat sesat mereka ini bertentangan dengan firman Allah,
قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dan tidak mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya, dan tidak beragama dengan agama yang benar...” (At-Taubah: 29)
Meskipun ayat ini turun untuk Ahli Kitab dan non-muslim, namun sejatinya orang-orang inkar Sunnah ini sama saja dengan mereka. Karena mereka (inkar Sunnah) pun tidak mengharamkan apa yang diharamkan Rasul, dan mereka juga tidak beragama dengan agama yang Islam yang sebenarnya. Bahkan, dalam ayat ini, kita diperintahkan Allah untuk memerangi mereka!

Dalam ayat lain disebutkan,
يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ .
“... Menyuruh mereka kepada kebaikan dan melarang mereka dari kemungkaran, serta menghalalkan yang baik-baik kepada mereka dan mengharamkan hal-hal yang buruk atas mereka.” (Al-A’raf: 157)

Jadi, sesungguhnya mereka tidak konsisten dalam hal ini. Mereka pun menyalahi pakem mereka sendiri untuk hanya menghalalkan dan mengharamkan sebatas yang terdapat dalam Al-Qur`an. Sementara dalam Al-Qur`an sendiri ditegaskan bahwa Nabi pun juga mempunyai otoritas –atas wahyu dari Allah– untuk menghalalkan dan mengharamkan sesuatu bagi umatnya.

2. Selalu Membandingkan Ajaran Sunnah dengan Bibel
Demi untuk menyesatkan kaum muslimin dan menjauhkannya dari Sunnah Nabi, orang-orang inkar Sunnah sering sekali membanding-bandingkan ajaran Sunnah dengan ajaran Bibel, untuk kemudian mereka menarik kesimpulan sepihak bahwa ajaran tersebut diadopsi dari Bibel. Di antara ajaran Sunnah yang sering mereka kait-kaitkan dengan Bibel, di antaranya yaitu; masalah rajam, khitan, ucapan “amin,” jilbab, memelihara jenggot, keyakinan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, penyembelihan hewan untuk aqiqah, dan lain-lain.

Sebetulnya, jika orang-orang inkar Sunnah ini benar-benar mau membaca Al-Qur`an sebagaimana yang mereka klaim, niscaya mereka tidak perlu mengherankan hal ini. Sebab, dalam Al-Qur`an pun Allah sudah memberi tahu bahwa kabar tentang Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam terdapat dalam Taurat dan Injil.
Allah Azza wa Jalla berfirman,
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ .
“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.” (Al-A’raf: 157)

Dengan demikian, apa yang mereka katakan tentang adanya adopsi Sunnah dari Bibel adalah kontra produktif dan inkonsisten. Sebab, perkataan mereka ini bertentangan dengan Al-Qur`an yang mereka akui sebagai satu-satunya Kitab pegangan. Meskipun ternyata mereka tidak membacanya.

Lagi pula, separah-parahnya kerusakan isi Bibel dikarenakan campur tangan, distorsi, dan penyelewengan yang dilakukan oleh manusia, di dalamnya masih banyak terdapat ajaran Allah yang diwahyukan kepada Nabi Musa dan Isa Alaihimassalam. Bagaimanapun juga yang dilakukan para rahib dan pendeta Yahudi dan Kristen adalah mengubah, memindahkan, mengurangi, menambahkan, dan menyelewengkan Taurat dan Injil. Tidak ada kabar bahwa mereka membuat suatu kitab baru bernama Bibel yang dinisbatkan kepada Taurat dan Injil. Bahkan, banyak tokoh ilmuwan mereka sendiri yang mengakui bahwa Bibel sudah tidak orisinil lagi dikarenakan banyaknya penyelewengan di dalamnya. Akan tetapi, mereka tidak mengatakan bahwa Bibel adalah murni buatan manusia. Mereka masih tetap mengakui Bibel sebagai kitab sucinya.

Satu hal lagi yang perlu dicermati, yaitu bahwa orang-orang inkar Sunnah ini hanya mau menyamakan ajaran yang terdapat dalam Sunnah Nabi dengan Bibel. Mereka menutup mata, bahwa sebetulnya banyak ajaran dan kisah dalam Al-Qur`an yang juga terdapat dalam Bibel. Di antaranya, yaitu;

- Memenuhi Nadzar
Dalam Al-Qur`an disebutkan,
وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ .
“Dan hendaklah mereka menyempurnakan nadzar-nadzar mereka.” (Al-Hajj: 29)
Sedangkan dalam Bibel disebutkan, “Apabila engkau bernazar kepada Tuhan, Allahmu, janganlah engkau menunda-nunda memenuhinya.” [Ulangan 23: 21]

- Binatang yang Diharamkan Atas Orang Yahudi
Dalam Al-Qur`an disebutkan,
وَعَلَى الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا كُلَّ ذِي ظُفُرٍ وَمِنَ الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ شُحُومَهُمَا إِلَّا مَا حَمَلَتْ ظُهُورُهُمَا أَوِ الْحَوَايَا أَوْ مَا اخْتَلَطَ بِعَظْمٍ .
“Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang berkuku; dan dari sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang.” (Al-An’am: 146)
Sedangkan dalam Bibel disebutkan, “Katakanlah kepada orang Israel, begini: Inilah binatang-binatang yang boleh kamu makan dari segala binatang berkaki empat yang ada di atas bumi: setiap binatang yang berkuku belah, yaitu yang kukunya bersela panjang, dan yang memamah biak boleh kamu makan.” [Imamat 11: 2-3]

- Haramnya Babi
Dalam Al-Qur`an disebutkan,
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ .
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah. Tetapi, barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nahl: 115)
Sedangkan dalam Bibel disebutkan, “Demikian juga babi hutan, karena memang berkuku belah, yaitu kukunya bersela panjang, tetapi tidak memamah biak; haram itu bagimu.” [Imamat 11: 7]

- Kisah Kehamilan Maryam
Dalam Al-Qur`an disebutkan,
قَالَتْ رَبِّ أَنَّى يَكُونُ لِي وَلَدٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَرٌ قَالَ كَذَلِكِ اللَّهُ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ إِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ .
“Maryam berkata; Ya Tuhanku, bagaimana mungkin aku mempunyai anak, sementara aku belum pernah disentuh seorang laki-laki pun?” (Ali Imran: 47)
Sedangkan dalam Bibel disebutkan, “Kata Maria kepada malaikat itu; Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?” [Lukas 1: 34]

- Kisah Musa dan Mata Air
Dalam Al-Qur`an disebutkan,
وَإِذِ اسْتَسْقَى مُوسَى لِقَوْمِهِ فَقُلْنَا اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْحَجَرَ فَانْفَجَرَتْ مِنْهُ اثْنَتَا عَشْرَةَ عَيْنًا قَدْ عَلِمَ كُلُّ أُنَاسٍ مَشْرَبَهُمْ كُلُوا وَاشْرَبُوا مِنْ رِزْقِ اللَّهِ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَوَإِذِ اسْتَسْقَى مُوسَى لِقَوْمِهِ فَقُلْنَا اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْحَجَرَ فَانْفَجَرَتْ مِنْهُ اثْنَتَا عَشْرَةَ عَيْنًا قَدْ عَلِمَ كُلُّ أُنَاسٍ مَشْرَبَهُمْ كُلُوا وَاشْرَبُوا مِنْ رِزْقِ اللَّهِ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ .
“Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman; ‘Pukullah batu itu dengan tongkatmu.’ Lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air. Sungguh tiap-tiap suku mengetahui tempat minumnya (masing-masing). Makan dan minumlah kalian dari rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kalian berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.” (Al-Baqarah: 60)
Sedangkan dalam Bibel disebutkan, “...Katakanlah di depan mata mereka kepada bukit batu itu supaya diberi airnya... Sesudah itu Musa mengangkat tangannya, lalu memukul bukit batu itu dengan tongkatnya dua kali, maka keluarlah banyak air, sehingga umat itu dan ternak mereka dapat minum.” [Bilangan 20: 8 dan 11]

- Seseorang Tidak Menanggung Dosa Orang Lain
Dalam Al-Qur`an disebutkan,

وَلَا تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلَّا عَلَيْهَا وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى .
“Dan tidaklah seseorang berbuat dosa melainkan kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (Al-An’am: 164)[2]

Sedangkan dalam Bibel disebutkan, “Anak tidak akan turut menanggung kesalahan ayahnya dan ayah tidak akan turut menanggung kesalahan anaknya. Orang benar akan menerima berkat kebenarannya, dan kefasikan orang fasik akan tertanggung atasnya.” [Yehezkiel 18: 20]

Apa yang disebutkan di atas hanyalah contoh. Masih banyak lagi yang lain. Sebab, pada dasarnya sumber utama Bibel dan Al-Qur`an adalah sama, yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala. Meskipun nasib Bibel jelas jauh lebih buruk dengan segala distorsinya daripada Al-Qur`an yang dijamin kesucian dan keasliannya oleh Allah Yang Mahasuci. Kemudian, selain adanya kesamaan antara sebagian ajaran dan kisah dalam Al-Qur`an dengan apa yang terdapat dalam Bibel, sesungguhnya Allah pun sudah menyebutkan dalam Kitab-Nya bahwa Nabi Isa pernah mengabarkan berita gembira kepada Bani Israil tentang Nabi bernama Ahmad (Muhammad) yang akan datang sesudah dia. Meskipun kemudian Nabi tersebut mereka dustakan.

وَإِذْ قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَمُبَشِّرًا بِرَسُولٍ يَأْتِي مِنْ بَعْدِي اسْمُهُ أَحْمَدُ فَلَمَّا جَاءَهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ قَالُوا هَذَا سِحْرٌ مُبِينٌ .
“Dan (ingatlah) ketika Isa anak Maryam berkata; Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi habar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, namanya Ahmad (Muhammad). Maka, tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata; Ini adalah sihir yang nyata.” (Ash-Shaff: 6)

3. Tidak Mau Percaya Kepada Siapa pun Kecuali Al-Qur`an
Orang-orang inkar Sunnah sering mengatakan demikian. Akan tetapi, mereka juga sering mengatakan bahwa hadits-hadits baru dibukukan 200-an tahun setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam wafat. Mereka pun sering menjadikan (masa) Imam Al-Bukhari sebagai referensi utama dalam masalah tahun atau waktu pembukuan hadits. Bahkan, setiap kali mereka melontarkan pendapat sesatnya, mereka enggan mengatakan dari mana sumbernya. Mereka tidak mau dikatakan mengutip atau mengambil pendapat seseorang. Mereka selalu keukeuh mengatakan bahwa mereka hanya mau percaya dan mengikuti Al-Qur`an saja. Mereka hanya mengakui bahwa pendapatnya itu hanya berdasarkan Al-Qur`an.

Pemikiran mereka ini jelas kontradiktif dari beberapa segi:

Pertama; Dari mana mereka tahu kalau Imam Al-Bukhari hidup pada tahun 200-an Hijriyah dan kitab Shahihnya disusun pada masa itu? Bukankah itu berarti mereka membaca dan mempercayai sejarah? Bukankah itu artinya mereka sama saja dengan percaya kepada selain Al-Qur`an? Jika mau fair, semestinya mereka tidak usah mencari tahu kapan Imam Al-Bukhari lahir dan kapan kitab Shahihnya disusun. Karena itu adalah sumber lain selain Al-Qur`an. Dan, jika mereka mau percaya kepada sejarah, mereka pun seharusnya juga percaya kepada sejarah Nabi dan kisah para sahabat serta perjuangan mereka dalam membela Islam, termasuk kesungguhan para sahabat dan ulama salafush-shalih dalam menjaga dan menyampaikan Sunnah.

Kedua; Jika mereka tidak mau percaya kepada siapa pun (selain Al-Qur`an), maka perkataan mereka ini bertentangan dengan firman Allah,
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ .
“Maka bertanyalah kalian kepada ahlu dzikir (orang yang mengetahui) jika kalian tidak mengetahui.” (An-Nahl: 43)[2]

Ayat ini dengan tegas menyuruh orang yang tidak tahu untuk bertanya kepada orang lain yang lebih tahu; orang yang lebih tahu tentang Al-Qur`an ataupun dalam suatu permasalahan tertentu. Dan, ayat ini tidak menyuruh orang agar bertanya kepada Al-Qur`an, karena kata “ahlu dzikir” di sini adalah kata ganti orang, bukan benda atau barang.

Ketiga; Perkataan mereka juga tidak sinkron dengan firman Allah berikut,
وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ .
“Dan yang memberitahukan kepadamu tidak sama seperti orang yang ahli.” (Fathir: 14)

Maksudnya, informasi atau ilmu yang disampaikan oleh orang biasa jelas berbeda dengan yang disampaikan oleh orang yang memang pakar di bidangnya. Penafsiran mereka yang menuruti hawa nafsu terhadap ayat-ayat Al-Qur`an jelas berbeda dengan penafsiran para ulama tafsir yang memang betul-betul menguasai Al-Qur`an dan ilmu tafsir. Begitu pula pemahaman dangkal dan sesat mereka tentang Sunnah pun pasti berbeda dengan pemahaman para imam hadits yang memang ahli di bidang hadits dan diakui kredibilitasnya.

4. Mengaku Ahlul Qur`an Namun Tidak Paham Al-Qur`an
Ini juga tidak kalah aneh. Mereka mengklaim sebagai ahlul qur`an atau qur`aniyyun namun tidak paham dan tidak menguasai ilmu-ilmu Al-Qur`an. Bagaimana mungkin seorang yang mengaku mencintai Al-Qur`an tetapi tidak mau tahu tentang Al-Qur`an? Lihatlah, betapa mereka tidak mau tahu sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-Qur`an, kepada siapa suatu ayat diturunkan, dalam masalah apa suatu ayat turun, apakah ayat tersebut Makkiyah atau Madaniyah, tatacara turunnya wahyu, dan sebagainya. Bahkan, sangat bisa jadi mereka juga tidak bisa membaca Al-Qur`an dengan baik sesuai ilmu tajwid yang benar.

Bagaimana mungkin seseorang bisa memahami Al-Qur`an dengan baik sementara dirinya menganggap tidak perlu Bahasa Arab untuk memahami Al-Qur`an? Padahal, para sahabat saja masih bertanya kepada Nabi dan kepada sesama sahabat tentang makna suatu ayat. Dan, bagaimana mungkin seseorang bisa memahami Al-Qur`an dengan baik sementara dirinya tidak tahu adab membaca Al-Qur`an? Pun, bagaimana mereka mau serius membaca Al-Qur`an jika mereka tidak tahu keutamaan membaca dan menghafal Al-Qur`an? Lagi pula, untuk apa mereka membaca Al-Qur`an jika mereka mengatakan tidak ada bacaan dan gerakan tertentu dalam shalat? Artinya, dalam shalat pun mereka belum tentu membaca Al-Qur`an. Lalu, kapan mereka meluangkan waktu untuk membaca dan memahami Al-Qur`an?

Ketidakpahaman mereka terhadap Al-Qur`an ini bisa dilihat dari penafsiran mereka terhadap ayat-ayat Al-Qur`an, yang tidak lain merupakan penafsiran yang memperturutkan hawa nafsu setan semata. Tidak ada yang mereka jadikan rujukan dalam menafsirkan Al-Qur`an selain hanya permainan bahasa dan bersilat lidah. Allah berfirman tentang orang-orang semacam inkar Sunnah ini,
وَلَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ الْقَوْلِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ أَعْمَالَكُمْ .
“Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan
perkataannya, dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kalian.” (Muhammad: 30)

Dalam ayat lain disebutkan,
أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا .
“Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar
atau memahami? Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak,
bahkan mereka lebih sesat jalannya daripada binatang ternak.” (Al-
Furqan: 44)

Mereka persis seperti yang dikatakan seorang penyair, “Betapa banyak pemuda yang mengaku sebagai kekasih Laila, padahal Laila tidak mengakui mereka sebagai kekasihnya.” Ya, orang inkar Sunnah mengaku mencintai Al-Qur`an, padahal Al-Qur`an tidak mencintai mereka.

5. Mengaku Mencintai Nabi Tetapi Tidak (Mau) tahu Siapa Saja Istri Nabi dan Para Sahabat
Lebih aneh lagi, ketika mereka dengan berbagai alasan mengatakan tidak mengetahui siapa sahabat yang dimaksud menemani Nabi di dalam gua, hanya karena mereka tidak bisa mengonfirmasi kepada yang bersangkutan! Mereka tidak (mau) tahu siapa orang yang bernama Zaid yang disebutkan Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 37. Mereka tidak (mau) tahu siapa tokoh yang terlibat dalam haditsul ifki yang disebutkan Allah dalam surat An-Nur. Mereka tidak (mau) tahu siapa yang dimaksud dengan istri Nabi dalam surat Al-Ahzab dan At-Tahrim. Dan, Mereka juga tidak (mau) tahu siapa orang-orang yang turut berperang bersama Nabi sebagaimana dikisahkan Allah dalam surat Ali Imran, Al-Anfal, At-Taubah, Al-Ahzab, Muhammad, dan Al-Fath.

Bahkan, mereka pun tidak (mau) tahu siapa yang dimaksud dengan as-sabiqun al-awwalun dari kaum Muhajirin dan Anshar dalam surat At-Taubah ayat 100! Bagaimana mungkin seorang yang mengaku cinta kepada Al-Qur`an tetapi tidak mengenal orang-orang yang dicintai oleh Allah dan Rasulnya? Ya, orang-orang inkar Sunnah hanya mencintai Al-Qur`an di mulutnya saja, tetapi Allah Mahatahu bahwa yang tersimpan dalam hati mereka adalah permusuhan yang sangat sengit kepada Islam. Mahabenar Allah dengan firman-Nya,
يَقُولُونَ بِأَفْواهِهِمْ مَا لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يَكْتُمُونَ .
“Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak ada dalam hatinya. Dan Allah Mahatahu apa yang mereka sembunyikan.” (Ali Imran: 167)

Dalam ayat lain disebutkan,
قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَر 
“Sungguh telah nyata permusuhan dari mulut mereka, dan apa yang tersembunyi dalam dada mereka jauh lebih keji lagi.” (Ali Imran: 118)

6. Mengaku Mengamalkan Al-Qur`an Namun Caranya Kacau Sekali
Al-Qur`an diturunkan adalah untuk dibaca, dipahami, direnungkan, dan diamalkan. Akan tetapi, jika tidak ada petunjuk pelaksanaannya (baca; Sunnah), tentu akan sulit mengamalkannya, terutama untuk hal-hal yang memang membutuhkan penjelasan lebih lanjut dan rinci. Barangkali demikianlah yang terjadi pada orang-orang inkar Sunnah. Mereka mengaku membaca dan mengamalkan Al-Qur`an, tetapi sesungguhnya mereka hanya mengikuti hawa nafsunya dan tidak mendapatkan petunjuk dari Allah sedikit pun dalam mengamalkan Al-Qur`an.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ .
“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun? Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (Al-Qashash: 50)

Lihatlah bagaimana cara mereka mempraktikkan shalat; tanpa ada aturan bacaan, gerakan, dan jumlah rakaat tertentu. Jika demikian halnya, apa yang terjadi kalau mereka shalat jama’ah? Masing-masing shalat menurut seleranya sendiri; Bacaannya berbeda, gerakannya berbeda, dan jumlah rakaatnya juga berbeda. Lagi pula mereka juga akan kesulitan mencari dalil tentang aturan shalat berjama’ah dalam Al-Qur`an; Siapa yang paling berhak menjadi imam, imam berdiri di mana dan makmum berdiri di mana, apa yang harus dilakukan imam dan apa yang mesti dilakukan makmum?

ada orang yang berbicara, atau buang angin, atau sambil makan dan minum, atau sambil baca koran ketika shalat; siapa yang melarang jika tidak ada aturannya? Bahkan, apabila mereka mengenal istilah masjid pun juga percuma. Ngapain mereka ke masjid? Siapa yang menyuruh melaksanakan shalat (jama’ah) di masjid? Apa keutamaan shalat di masjid, dan apa bedanya shalat di masjid dan di rumah? Memangnya, siapa yang tahu bahwa sudah masuk waktu shalat jika tidak ada adzan? Apa semua orang disuruh melihat alam bebas untuk mengetahui tanda masuk waktu shalat? Apakah ketika orang-orang datang ke masjid, mereka harus shalat tahiyatul masjid[5] atau qabliyah dulu atau langsung duduk sambil menunggu shalat jama’ah? Atau, apakah mereka datang ke masjid lalu langsung shalat sendiri-sendiri tanpa imam? Wah, kacau sekali!

Ini baru soal shalat. Soal yang lain pun kurang lebih sama saja. Membayar zakat, misalnya. Dalam Al-Qur`an tidak disebutkan ada berapa macam zakat, harta jenis apa saja yang wajib dizakati, dan berapa kadar zakat yang harus dikeluarkan. Puasa pun begitu; apa saja adab puasa, hal-hal yang membatalkan puasa, keutamaan puasa, siapa yang wajib puasa dan siapa yang boleh tidak berpuasa, dan seterusnya.

Di tangan inkar Sunnah, agama ini menjadi semacam permainan dan kacau balau. Itu pun masih ditambah lagi, bahwa banyak di antara praktik ritual mereka yang mencontek Sunnah Nabi, baik secara langsung maupun tidak, diakui ataupun tidak. Hal ini tak lain dikarenakan mereka mengambil referensi tatacara beribadahnya hanya berdasarkan pemahaman manusia semata tanpa mau merujuk kepada sumber yang lebih bisa diterima oleh akal sehat. Dengan kata lain, sebenarnya fondasi pemahaman mereka ini sangat rapuh.

Ibarat rumah, rumah mereka ini laksana sarang laba-laba. Allah berfirman,
مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ .

“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling rapuh ialah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.” (Al-Ankabut: 41)

 7. Mereka Mengatakan Tidak Ada “Hadits Nabi” dalam Al-Qur`an
Ini adalah permainan bahasa dari inkar Sunnah. Dan, memang itulah salah satu karakteristik mereka. Mereka tidak mau mengambil Sunnah Nabi ataupun pendapat para ulama ataupun mengutip dari kitab-kitab tafsir dalam menafsirkan dan memahami Al-Qur`an. Sebab, mereka sudah mempunyai dua sumber utama dalam menafsirkan dan memahami Al-Qur`an, yang pertama yaitu hawa nafsu, dan kedua adalah permainan bahasa. Entah itu akar bahasa, sinonim, anonim, padanan kata, atau yang lain. Mereka selalu mengatakan bahwa hadits yang sesungguhnya adalah Al-Qur`an. Bukan hadits Nabi, karena tidak ada kata “hadits Nabi” dalam Al-Qur`an. Akan tetapi, apakah benar demikian seperti kata mereka? Apakah dalam Al-Qur`an benar-benar tidak ada hadits Nabi?

Pak Abdul Malik mengatakan, “Istilah hadits disebut dalam banyak ayat di dalam Al-Qur`an. Kebanyakan penggunaan kata ‘hadits’ diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai ‘perkataan/ucapan.’ Beberapa di antara kata ‘hadits’ dimaksudkan untuk menyebut ‘Al-Qur`an’ karena Al-Qur`an pun pada dasarnya adalah perkataan, yaitu perkataan Allah. Uniknya, tidak ada ditemukan satupun rangkaian kata ‘hadits Nabi Muhammad’ di dalam Al-Qur`an.”

Kali ini tampaknya kita mesti memakai jurus permainan bahasa mereka dalam menafsirkan Al-Qur`an. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا فَلَمَّا نَبَّأَتْ بِهِ وَأَظْهَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ عَرَّفَ بَعْضَهُ وَأَعْرَضَ عَنْ بَعْضٍ فَلَمَّا نَبَّأَهَا بِهِ قَالَتْ مَنْ أَنْبَأَكَ هَذَا قَالَ نَبَّأَنِيَ الْعَلِيمُ الْخَبِيرُ .
“Dan ketika Nabi membisikkan suatu hadits secara rahasia kepada salah seorang istrinya. Maka, tatkala dia (istri Nabi) menceritakan hadits itu (kepada istri yang lain), Allah pun memberitahukan hal itu kepada Nabi, lalu Nabi memberitahukan sebagian dan menyembunyikan sebagian yang lain. Maka, tatkala Nabi memberitahukan hal itu kepadanya, dia (istri Nabi) bertanya; Siapa yang memberitahukan hal ini kepadamu? Nabi berkata; Yang memberitahukan kepadaku adalah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (At-Tahrim: 3)

Dalam ayat ini, secara tekstual letterledge (harfiyah) Allah menyebutkan kata “hadits” dan “Nabi” dalam satu rangkaian kalimat. Apa yang dikatakan Nabi kepada istrinya kalau bukan hadits? Sekiranya mereka mengelak dengan mengatakan bahwa kata “hadits” dan “Nabi” dalam ayat di atas tidak bersambung secara sempurna menjadi “hadits Nabi” alias masih terpenggal dengan beberapa kata, maka itu adalah alasan yang dibuat-buat dan mengada-ada. Sebab, mereka pun mengatakan bahwa waktu shalat yang cuma tiga kali sehari itu juga tidak disebutkan secara sempurna dan terpenggal dengan beberapa kata.

Dengan mendasarkan ayat yang berbunyi,
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآَنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآَنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا .
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) fajar. Sesungguhnya shalat fajar itu disaksikan (oleh malaikat).” (Al-Israa`: 78)
Mereka mengatakan bahwa macam shalat yang tiga kali sehari yaitu; shalat duluk (asy-syams), shalat (ghasaq) lail, dan shalat (qur`an) fajar. Dari mana mereka mengatakan ada nama-nama shalat semacam ini? Bukankah kata “shalat” dan tiga macam shalatnya juga tidak bersambung langsung? Kalau mau fair, semestinya mereka juga mengakui bahwa kata “hadits Nabi” juga terdapat dalam Al-Qur`an. Bagaimanapun juga, Al-Qur`an adalah perkataan (kalam) Allah dan Sunnah adalah perkataan Nabi. Apabila sumber Al-Qur`an adalah Allah, maka sumber Sunnah adalah Nabi; berdasarkan wahyu dan petunjuk dari Allah Ta’ala.

8. Mereka Tidak Menghargai Ilmu dan Ulama
Bagaimana orang-orang inkar Sunnah mau dikatakan menghargai ilmu dan ulama, sementara mereka membatasi ruang lingkup ilmu (agama) hanya Al-Qur`an dan terjemahannya saja? Tidak ada tafsir Al-Qur`an, tidak ada ilmu tajwid, tidak ada ulumul Qur`an, tidak ada hadits Nabi, tidak ada ilmu-ilmu hadits, tidak ada Sirah Nabi, tidak ada kisah para sahabat, tidak ada sejarah Islam, tidak ada fikih, tidak ada perbandingan madzhab, tidak ada ushul fikih, tidak ada metode dakwah, tidak ada tarbiyah, dan tidak ada ilmu-ilmu (agama) yang lain. Katakanlah, misalnya ada orang inkar Sunnah mau mendirikan sekolah Islam. Lalu, apa yang mau diajarkan? Apakah yang diajarkan hanya mata pelajaran terjemahan Al-Qur`an saja? Apakah mereka hanya akan mengajarkan dua materi pendukung terjemahan Al-Qur`an ini yang tak lain adalah hawa nafsu setan dan permainan bahasa, plus jurus bersilat lidah? Dalam hal ini, sesungguhnya inkar Sunnah yang mengaku sebagai qur`aniyyun telah melanggar ajaran Al-Qur`an dalam masalah ilmu. Sebab, Al-Qur`an sendiri sangat menghargai ilmu, mewajibkan umat Islam untuk menuntut ilmu, dan memuliakan orang yang berilmu. Demikian adalah ajaran Al-Qur`an tentang ilmu yang semakin menunjukkan kelemahan, kerapuhan fondasi, dan kedok inkar Sunnah, yang sebetulnya adalah bukan Islam melainkan musuh Islam dalam selimut:

a. Al-Qur`an Menyuruh Umatnya Untuk Menuntut Ilmu
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ .
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak setiap golongan di antara mereka ada beberapa orang yang pergi untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka kembali kepada kaumnya, supaya mereka dapat menjaga dirinya.” (At-Taubah: 122)

Sangat jelas dalam ayat ini adanya perintah dari Allah kepada kaum mukminin agar ada sebagian di antara mereka yang pergi menuntut ilmu agama. Jangan sampai semua orang pergi ke medan perang untuk berjihad langsung melawan musuh. Sebab, bagaimanapun juga harus ada orang-orang yang memiliki pengetahuan agama untuk berdakwah dan memperingatkan umat Islam tentang ajaran-ajaran agamanya. Termasuk memperingatkan para mujahidin ketika mereka telah kembali lagi dari medan perang.

Menukil pendapat Qatadah dan Hasan Al-Bashri, Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari (w. 310 H) mengatakan bahwa hendaknya jangan semua kaum muslimin pergi berjihad dan meninggalkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam seorang diri. Akan tetapi, seyogyanya ada sekelompok orang dari setiap golongan yang tetap tinggal bersama Rasul di Madinah untuk mendalami ilmu agama, supaya mereka dapat mengingatkan orang-orang yang pergi berperang ketika kembali lagi dari perangnya.

Kaitannya dengan inkar Sunnah yang juga anti tafsir, bahwa ilmu agama yang didalami oleh para sahabat tentu bukan hanya Al-Qur`an. Sebab, bisa dikatakan bahwa hampir semua sahabat hafal Al-Qur`an. Akan tetapi, tentu yang dipelajari adalah bagaimana cara penerapan Al-Qur`an itu sendiri; penjelasannya, perinciannya, dan hal-hal lain yang diwahyukan Allah kepada Nabi yang tidak terdapat dalam Al-Qur`an. Dan, apa yang disampaikan Nabi namun tidak terdapat dalam Al-Qur`an, maka itu adalah Sunnah.

b. Allah Menyuruh Orang yang Tidak Tahu Untuk Bertanya Kepada yang Tahu
Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ .
“Maka, bertanyalah kalian kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui.” (An-Nahl: 43)

Sebagian tafsir tentang ayat ini sudah pernah kita bicarakan dalam pembahasan sebelumnya. Intinya, sekiranya agama ini hanya Al-Qur`an saja, maka logikanya setiap orang Islam adalah ulama dengan cuma bermodal Al-Qur`an atau Al-Qur`an terjemahan saja. Sebab, tidak ada lagi yang perlu ditanyakan ataupun diberikan penjelasan. Apalagi menurut inkar Sunnah, Al-Qur`an itu mudah dipahami dan tidak memerlukan perangkat apa pun untuk memahami Al-Qur`an. Lalu, untuk apa seseorang bertanya jika sudah ada Al-Qur`an di hadapannya dan lagi pula apa lagi yang mau ditanyakan jika semua dianggap sudah jelas?
Akhirnya, tidak ada lagi orang (ulama) yang dianggap lebih mengetahui masalah agama dan pula tak ada lagi yang namanya orang awam yang perlu bertanya. Semuanya bisa langsung membuka Al-Qur`an atau terjemahannya jika ada yang mau ditanyakan. Kalaupun ada yang belum paham, ya dipahami sendiri saja menurut anggapan yang bersangkutan, karena tidak ada yang tidak jelas dalam Al-Qur`an. Lantas, buat apa Allah menyuruh umatnya untuk bertanya kepada yang lebih tahu? Siapa itu yang dianggap lebih tahu dan siapa pula yang dianggap tidak tahu?

c. Tidak Sama Antara Orang yang Mengetahui dan Tidak Mengetahui
Allah Azza wa Jalla berfirman,
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ .
“Katakanlah; Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Az-Zumar: 9)

Sesungguhnya, jawaban dari pertanyaan Alah ini sudah jelas, yakni jelas tidak sama antara orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui. Bagaimanapun juga, ini adalah dua hal yang kontradiktif. Sebagaimana halnya orang yang bisa melihat tentu tidak sama dengan orang yang buta, orang yang bisa mendengar pasti berbeda dengan orang yang tuli, orang yang bisa berbicara pun tidak sama dengan orang bisu, laki-laki berbeda dengan perempuan, dan seterusnya. Tentu, dua hal yang bertentangan tidak akan bisa disamakan. Akan tetapi, bagi orang inkar Sunnah, dua hal ini bisa menjadi sama tanpa ada perbedaan.
Kenapa demikian? Karena dalam ayat tersebut Allah sudah memberikan penjelasan yang sudah jelas, bahwa “Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” Artinya, apabila Islam ini hanya butuh Al-Qur`an saja dan setiap orang Islam cukup memegang Al-Qur`an, apalagi Al-Qur`an sudah jelas dan terperinci (menurut versi sesat mereka); maka tidak ada lagi perbedaan antara orang Islam yang satu dengan yang lainnya. Tidak ada lagi yang namanya orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui. Semuanya dianggap sudah mengetahui!

d. Allah Meninggikan Derajat Orang yang Berilmu
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ .
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Mujadilah: 11)

Sekiranya menurut inkar Sunnah tidak ada perbedaan antara orang yang berilmu dan orang yang tidak berilmu, tidak ada bedanya antara orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui, serta tidak ada lagi yang perlu dipelajari selain Al-Qur`an alias tidak ada kewajiban menuntut ilmu agama; maka tidak ada lagi orang yang ditinggikan derajatnya oleh Allah dikarenakan ilmunya.

e. Yang Paling Takut Kepada Allah Adalah Para Ulama
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ .
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Fathir: 28)

Bisa dimaklumi jika orang inkar Sunnah tidak ada yang takut kepada Allah. Sebab, tidak ada ulama di kalangan mereka. Ulama dalam arti kata sesungguhnya, yakni orang yang menguasai pengetahuan agama berdasarkan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan mengamalkan apa yang diketahuinya.

Apabila inkar Sunnah mengklaim bahwa ada ulama di antara mereka, maka pertanyaannya; ulama yang seperti apa yang mereka maksud? Bukankah menurut pemahaman inkar Sunnah Al-Qur`an itu sudah jelas dan terperinci sehingga tidak memerlukan perangkat apa pun lagi (selain hawa nafsu dan permainan bahasa) dalam mempelajari dan mamahaminya? Artinya, tentu tidak ada lagi ulama di kalangan inkar Sunnah. Bahkan, barangkali yang lebih tepat untuk dikatakan untuk mereka adalah; mereka memang tidak mempelajari dan tidak memahami Al-Qur`an kecuali untuk menyelewengkan Al-Qur`an!

9. Tidak Ada Perintah Membaca dan Menghafal Al-Qur`an dalam Al-Qur`an
Sangat bisa dimaklumi jika orang inkar Sunnah tidak paham dan tidak menguasai Al-Qur`an dengan baik. Sebab, kalaupun mereka mengaku mencintai Al-Qur`an dan selalu membacanya, bahkan mungkin membual bahwa mereka hafal Al-Qur`an; maka harus ditanyakan kepada mereka; apakah ada perintah untuk membaca dan menghafalkan Al-Qur`an di dalam Al-Qur`an?

Kalau mereka mau konsisten dengan sikapnya, bahwa segala sesuatu yang tidak terdapat dalam Al-Qur`an tidak perlu diamalkan dan bahwa yang harus diamalkan adalah apa yang hanya terdapat dalam Al-Qur`an; maka mereka pun harus bisa menjawab; untuk apa mereka membaca dan menghafalkan Al-Qur`an? Bukankah dalam Al-Qur`an tidak ada satu pun ayat yang secara tekstual memerintahkan hal tersebut?
Semakin terbongkarlah kedok inkar Sunnah, bahwa mereka mengotak-atik Al-Qur`an tidak lain dan tidak bukan memang hanya untuk menghancurkan Islam dari dalam. Sebab, segala pemahaman sesat mereka selalu didasarkan hanya pada Al-Qur`an. Akan tetapi, Al-Qur`an sendiri tidak pernah menyuruh umatnya untuk membaca dan menghafalkannya. Kalaupun toh mereka menyodorkan ayat, “Wa rattilil Qur`aana tartiilaa,” maka hal ini pun menunjukkan ketidakkonsistenan mereka. Sebab, mereka menerjemahkan kata “rattil” dengan menyusun (susunlah), bukan membaca (bacalah).

Bahkan, mereka pun menerjemahkan kata “iqra`” sebagai pahamilah, bukan bacalah. Kalaupun ayat iqra` pada awal surat Al-Alaq dijadikan dalil pun masih kurang tepat, setidaknya menurut kerangka berpikir mereka. Paling-paling mereka bisa mengambil dalil dari ayat, “Faqra`uu maa tayassara minal Qur`aan.” Akan tetapi, mereka tidak akan mungkin berani mengambil (potongan) ayat ini sebagai dalil dikarenakan tiga sebab.

Pertama; Mereka menerjemahkan kata “qara`a” bukan sebagai membaca, melainkan memahami.
Kedua; Jika mereka menerjemahkan ayat ini sebagaimana terjemahan Ahlu Sunnah, maka hal ini akan menggugurkan pemahaman sesat mereka bahwa shalat dalam sehari cuma tiga kali dan hanya ada tiga macam. Karena ayat ini berbicara tentang shalat tahajjud!
Dan ketiga; Mereka pun akan menabrak fondasi pemikirannya sendiri dalam memahami Al-Qur`an yang hanya memakai permainan bahasa (dan hawa nafsu). Sebab, dalam ayat tersebut dipakai kata “min” yang mengandung makna sebagian. Artinya, yang diperintahkan untuk dibaca itu cuma sebagian saja, tidak semua Al-Qur`an, itu pun hanya yang mudah-mudah.

10. Benarkah Perintah Shalat dalam Al-Qur`an Hanya Tiga Kali Sehari?
Biar asal beda dengan Ahlu Sunnah, orang-orang inkar Sunnah selalu mengatakan bahwa shalat dalam sehari hanya tiga kali, bukan lima kali sebagaimana yang ditelah dipraktikkan secara mutawatir turun temurun oleh kaum muslimin. Menurut mereka, kewajiban shalat yang diperintahkan Allah dalam Al-Qur`an hanya ada tiga macam dan tiga kali. Mereka mendasarkan pemahaman sesatnya ini pada firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Israa` ayat 78. Dalam ayat tersebut, Allah hanya memerintahkan kaum muslimin untuk melaksanakan tiga macam shalat, yaitu; shalat duluk syam, shalat ghasaq lail, dan shalat qur`an fajar.

Akan tetapi, benarkah perintah Allah untuk shalat dalam Al-Qur`an ini hanya tiga kali sehari dan cuma ada tiga macam? Baiklah, sekali lagi dalam hal ini kita akan menjawab mereka dengan memakai logika mereka. Sebab, sesungguhnya masih ada lagi jenis macam shalat lain yang juga diperintahkan oleh Allah dalam Al-Qur`an. Allah Azza wa Jalla berfirman,
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا .
“Dan dari sebagian malam, maka (shalat) tahajjudlah kamu sebagai nafilah (tambahan) bagimu, semoga Allah mengangkat derajatmu ke tempat yang terpuji.” (Al-Israa`: 79)

Sekiranya orang inkar Sunnah mau konsisten dengan cara mereka menafsirkan Al-Qur`an, maka seharusnya shalat tahajjud ini juga dimasukkan dalam kategori shalat yang diwajibkan setiap hari di samping shalat yang tiga kali versi mereka. Apa pun tafsiran mereka tentang “tahajjud” dalam ayat ini, harus diakui bahwa ayat ini jatuh persis setelah ayat yang menyebutkan perintah shalat yang tiga kali. Jadi, makna tahajjud di sini sama saja dengan duluk syam, ghasaq lail, dan qur`an fajar. Apalagi, dalam inkar Sunnah tidak ada perbedaan antara hukum wajib dan sunnah, sehingga perintah shalat tahajjud ini pun semestinya dianggap wajib oleh mereka. Itu pun masih ditegaskan lagi oleh Allah dalam firman-Nya,
قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا نِّصْفَهُ أَوِ انقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا أو زد عليه 
“Dirikanlah shalat malam meskipun sedikit. Seperduanya atau kurangilah sedikit dari seperdua, atau tambahi dari seperduanya.” (Al-Muzzammil: 2-4)

Dengan demikian, pemahaman sesat mereka bahwa shalat yang diwajibkan dalam sehari semalam hanya tiga kali adalah salah menurut logika mereka sendiri. Seharusnya mereka merevisi pendapatnya menjadi; shalat yang diwajibkan dalam sehari semalam itu ada empat kali, yaitu shalat duluk syam, shalat ghasaq lail, shalat qur`an fajar, dan shalat tahajjud!

Sekadar catatan tambahan tentang inkonsistensi inkar Sunnah dalam menerjemahkan dan bukti bahwa mereka memang memahami Al-Qur`an menuruti hawa nafsunya, yaitu bahwa shalat yang mereka klaim hanya tiga kali sehari ternyata tidak mutlak demikian. Perhatikan kata yang kami beri garis bawah pada ayat berikut,
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآَنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآَنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا .
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) fajar. Sesungguhnya shalat fajar itu disaksikan (oleh malaikat).” (Al-Israa`: 78)

Apabila mereka mau konsisten, kata “sampai” pada ayat ini tidak bisa disamakan dengan kata “dan,” karena memang berbeda maknanya dari segi bahasa. Contoh mudah saja, jika ada kalimat berbunyi. “Abdul Malik tidur dari jam tujuh malam sampai jam tujuh pagi.” Apakah ini berarti si Abdul Malik tidur dua kali, yakni tidur pertama pada jam tujuh malam, dan tidur kedua jam tujuh pagi? Orang yang berakal sehat tentu akan mengatakan, bahwa tidur malam si Abdul Malik hanya sekali, yaitu mulai jam tujuh malam sampai jam tujuh pagi.

11. Benarkah Tidak Ada Hukum Sunnah dan Makruh dalam Al-Qur`an?
Dalam salah satu ‘fatwa’ sesatnya atas pertanyaan anggota milis yang diposting di milis Pengajian_Kantor tentang hukum dalam Al-Qur`an, Pak Abdul Malik berkata, “Sepanjang yang saya baca di Al-Qur`an, tidak terdapat ketentuan tentang sunnah ataupun makruh sebagaimana pemahaman kalangan sunni. Yang saya pahami, ketentuan2 Allah di dalam Al-Qur`an ada yang bersifat ‘suruhan’ sebagaimana ayat tentang puasa yang anda kutip; ada yang bersifat ‘larangan’ sebagaimana ayat tentang larangan mendekati zina; ada pula yang bersifat ‘keutamaan’ seperti ayat yang mengatakan beruntungnya orang yang memberikan hak sanak saudara, fakir miskin, dan musafir (30:38). Pedoman kita selaku muslim sederhana saja: Apa yang disuruh Allah, wajib kita jalankan. Apa yang dilarang-Nya, haram kita lakukan.”

Dalam jawabannya ini, Pak Abdul Malik mengatakan bahwa di dalam Al-Qur`an tidak terdapat hukum sunnah dan makruh. Yang ada hanyalah; wajib, haram, dan keutamaan. Seharusnya, jika menurut logika inkar Sunnah dalam memahami Al-Qur`an, maka dalam Al-Qur`an pun sebetulnya terdapat hukum sunnah dan makruh. Untuk hukum makruh, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا ، كُلُّ ذَلِكَ كَانَ سَيِّئُهُ عِنْدَ رَبِّكَ مَكْرُوهًا .
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan sombong. Sesungguhnya kamu tidak akan dapat menembus bumi dan juga tidak akan sampai setinggi gunung. Itu semua keburukannya dibenci (makruh) di sisi Tuhanmu.” (Al-Israa`: 37-38)

Apa pun kata inkar Sunnah tentang ayat ini, yang jelas secara secara letterledge (tekstual) ayat ini menyebutkan kata “makruh” untuk perbuatan sombong dan perbuatan dosa-dosa lain yang disebutkan dalam surat yang sama mulai ayat 22. Dengan kata lain, perkataan Pak Abdul Malik tentang tidak adanya hukum makruh dalam Al-Qur`an adalah tidak benar.

Sedangkan untuk hukum sunnah, jika mau diambil secara harfiyah saja –menurut logika inkar Sunnah–, terdapat sekitar dua belas kata “sunnah” dalam Al-Qur`an. Tetapi, karena mereka menerjemahkan kata “sunnah” sebagai syariat, hukum, dan ketetapan; maka bisa dibilang tidak ada makna hukum sunnah dalam Al-Qur`an sebagaimana yang dipahami oleh Ahlu Sunnah. Bahkan, mereka menggeneralisir bahwa semua hukum dalam Al-Qur`an adalah sunnatullah. Suatu perkataan yang benar namun bermaksud batil.
Pak Abdul Malik berkata, “Perkataan ‘sunnah’ secara harfiah bisa diartikan ‘syariat/ hukum/ ketetapan.’ Istilah sunnah ini disinggung di dalam Al-Qur`an dalam tiga konteks yang berbeda. Dalam konteks yang ketiga ini, seluruh hukum-hukum yang ada di dalam Al-Qur'an adalah sunatullah.”

Adapun hukum sunnah dalam Al-Qur`an yang berarti “tambahan” atau hukum kedua setelah wajib, maka hal ini terdapat dalam firman Allah Ta’ala berikut,
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَّكَ عَسَىٰ أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا 
“Dan dari sebagian malam, maka (shalat) tahajjudlah kamu sebagai nafilah (tambahan) bagimu, semoga Allah mengangkat derajatmu ke tempat yang terpuji.” (Al-Israa`: 79)

Jadi, sesungguhnya dalam Al-Qur`an pun terdapat hukum sunnah sebagaimana hukum makruh, di samping hukum wajib dan haram, selain ‘hukum keutamaan’ yang sebetulnya termasuk sunnah juga.

12. Mereka Mempunyai Kesamaan dengan Kelompok di Luar Ahlu Sunnah
Pada dasarnya orang inkar Sunnah sendiri mengakui bahwa mereka bukan termasuk Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Mereka mengaku Islam, tetapi menurut versi sesat mereka. Mereka adalah inkar Al-Qur`an was-Sunnah wal jama’ah. Bahkan, pada hakekatnya mereka bukanlah pemeluk agama Islam dan bukan bagian dari umat Islam. Sekali lagi, mereka hendak menghancurkan Islam dari dalam dengan cara mempengaruhi kaum muslimin agar menjauhi Sunnah Rasul-Nya.

Dalam peta sejarah Islam, dikenal adanya kelompok-kelompok yang ada hubungannya dengan Islam. Baik itu adalah benar-benar kelompok Islam ataupun kelompok yang dinisbatkan kepada Islam karena masih mempunyai ciri keislaman, dan ada pula kelompok yang benar-benar berada di luar Islam. Biasanya, agar lebih simpel, para ulama hanya menyebutkan dua istilah saja; Ahlu Sunnah wal Jama’ah dan bukan Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Yang disebut belakangan, biasanya ada embel-embel aliran atau kelompok sesat. Dan, memang demikianlah faktanya.

Para ulama mengkritisi, bahwa kelompok inkar Sunnah ini mempunyai kesamaan dalam sebagian pemahamannya terhadap Islam dengan tiga kelompok atau golongan yang pernah tampil dalam pentas sejarah Islam yang dianggap sesat oleh kalangan Ahlu Sunnah. Mereka yaitu; Khawarij, Syiah, dan Muktazilah. Dan, belakangan inkar Sunnah pun juga mengadopsi sebagian pemikiran sesatnya dari kelompok orientalis.

A. Kesamaan Inkar Sunnah dengan Khawarij:
1. Khawarij tidak menerima semua hadits dari para sahabat yang terlibat langsung dalam kasus tahkim yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu Anhuma. Sementara inkar Sunnah tidak menerima hadits dari semua sahabat secara mutlak, meskipun tanpa alasan yang jelas.
2. Khawarij menolak semua hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat yang menerima (ridha) kasus tahkim, sekalipun sahabat tersebut tidak turut serta di dalamnya. Adapun inkar Sunnah, mereka menolak semua hadits yang diriwayatkan oleh semua sahabat.
3. Khawarij menganggap bahwa satu-satunya sumber syariat adalah Al-Qur`an. Sedangkan inkar Sunnah pun juga demikian.
4. Khawarij menolak ijma’ ulama sebagai salah satu sumber hukum syariat. Demikian pula dengan inkar Sunnah. Mereka bahkan tidak mau mengakui ilmu dan ulama.
4. Khawarij tidak mengakui adanya hukuman rajam. Sama persis inkar Sunnah, karena hukuman rajam tidak ada dalam Al-Qur`an.

B. Kesamaan Inkar Sunnah dengan Syiah:
1. Sama-sama sangat membenci Abu Hurairah. Sebagaimana umum diketahui, bahwa Abu Hurairah adalah sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.
2. Sama-sama sangat membenci Imam Al-Bukhari (dan Muslim), karena dianggap sebagai orang pertama kali yang membukukan hadits-hadits Nabi.
3. Sama-sama menolak hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat. Namun, kaum Syiah lebih spesifik, yakni menolak hadits yang tidak diriwayatkan melalui jalur Ali bin Abi Thalib dan para imam makshum.
4. Sama-sama membenci para sahabat secara umum. Namun, kaum Syiah masih menghormati beberapa sahabat (selain ahlul bait), seperti; Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari, dan Salman Al-Farisi.

C. Kesamaan Inkar Sunnah dengan Muktazilah:
1. Sama-sama mendewakan dan tergila-gila dengan logika.
2. Sama-sama lihai dalam retorika dan menyusun kata-kata.
3. Sama-sama senang menafsirkan Al-Qur`an menurut hawa nafsunya.
4. Sama-sama mengingkari hadits ahad. Bahkan, banyak dalam literatur Muktazilah yang juga menolak hadits mutawatir, dengan alasan; apabila satu dua orang bisa berbohong, bukan tidak mungkin banyak orang juga bisa berbohong! Artinya, dua kelompok ini sama-sama menolak Sunnah Nabi.
5. Sama-sama melecehkan kredibilitas sahabat.

D. Kesamaan Inkar Sunnah dengan Orientalis
1. Sama-sama lahir dari rahim orang-orang Barat dan Eropa yang notabene adalah musuh Islam.
2. Sama-sama menerjemahkan Al-Qur`an dengan hanya menggunakan kaidah bahasa atau permainan bahasa, meskipun salah kaprah dalam penerapannya.
3. Sama-sama menyerang Sunnah Nabi, baik shahih maupun dhaif, dan mempertentangkan satu hadits dengan hadits yang lain.
4. Sama-sama senang membandingkan Sunnah dengan Bibel, untuk kemudian menyimpulkan bahwa Sunnah mengadopsi dari Bibel.
5. Sama-sama di luar Islam dan musuh Islam.

Dengan demikian, jelas sudah bahwa sesungguhnya gerakan inkar Sunnah ini sangat membahayakan Islam dari dalam. Sebab, dari segi kemunculan, metode pemikiran, dan pemahamannya mempunyai kesamaan dan sangat erat kaitannya dengan kelompok-kelompok yang dikenal sesat dan berada di luar jalur Ahlu Sunnah wal Jama’ah, bahkan di luar Islam. Bahkan, tidak salah jika dikatakan bahwa inkar Sunnah ini pun memiliki sejumlah kesamaan dengan Yahudi dan Kristen. Setidaknya mereka sama-sama di luar Islam, sama-sama memusuhi Islam, sama-sama tidak melaksanakan ajaran Islam, dan sama-sama tidak percaya kepada Sunnah Nabi.

13. Mereka Dibayar Untuk Menghancurkan Islam dari Dalam!
Bukan tidak mungkin gerakan inkar Sunnah ini sengaja diciptakan oleh musuh Islam untuk menghancurkan Islam dari dalam dengan dukungan dana yang cukup besar. Meskipun agak sulit untuk membuktikannya, akan tetapi berdasarkan fakta dan kesaksian di bawah ini dapat disimpulkan bahwa dugaan ini bukanlah isapan jempol semata.

Kesaksian Pak Amin Djamaluddin
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) Pak Amin Jamaluddin mengatakan, bahwa dulu pada tahun 1980-an, setiap orang yang mengikuti pengajian inkar Sunnah ini mendapatkan uang sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) setiap satu kali pengajian. Itu pun bagi yang berasal dari luar Jakarta, ada uang tambahan. Adapun untuk ustadznya, selain uang yang tentu lebih banyak dari jamaahnya, apabila mereka mengikuti tujuh kali pengajian secara berturut-turut; maka mereka tinggal mengukur badannya untuk mendapatkan stelan jas, celana, dan sepatu. Kemudian, bagi setiap orang yang berhasil membawa satu orang baru untuk mengikuti pengajian, dia mendapatkan lagi lima ribu rupiah!

Uang lima ribu untuk saat itu tentu cukup banyak. Dan, bukan tidak mungkin tradisi semacam ini masih terus berlangsung hingga sekarang, yang tentu saja dengan jumlah nominal yang lebih besar.

14. Menolak Hadits Tetapi Mencari-cari Hadits yang Bisa Dipakai Untuk Menyerang Sunnah
Ini adalah salah satu ketidak-konsistenan inkar Sunnah. Di satu sisi mereka menolak hadits Nabi, namun di sisi lain mereka justru mencari-cari hadits yang bisa dipakai untuk menyerang Sunnah. Dalam hal ini, hadits-hadits yang sering mereka pergunakan adalah hadits tentang larangan Nabi untuk menulis hadits beliau. Mereka selalu mengatakan bahwa Nabi sendiri saja melarang penulisan hadits, bagaimana mungkin ada hadits-hadits yang disandarkan kepada Nabi?

Selain itu, orang-orang inkar Sunnah juga banyak mengambil hadits-hadits yang dianggap bertentangan satu sama lain, untuk kemudian mereka simpulkan bahwa jika memang hadits-hadits tersebut benar bersumber dari satu orang (Nabi), niscaya tidak akan terjadi pertentangan antar-hadits.
Kemudian, mereka juga sering menukil hadits-hadits palsu yang dapat digunakan untuk menyerang Sunnah Nabi. Atau, hadits-hadits yang matannya dianggap bertentangan dengan Al-Qur`an lalu mereka benturkan dengan Al-Qur`an, seakan-akan semua hadits bertentangan dengan Al-Qur`an. Akan tetapi, ini semua hanyalah alasan yang dicari-cari. Dan, masalah ini telah kita singgung dalam pembahasan yang lain dalam buku ini.

15. Mengatakan Al-Qur`an Sempurna Tetapi Mengurangi Kesempurnaan Al-Qur`an
Kita semua mengakui dan percaya seratus persen bahwa Al-Qur`an adalah sempurna menurut pemahaman yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, sahabat-sahabatnya, dan para ulama salaf. Orang-orang inkar Sunnah juga percaya dan mengakui di mulut mereka bahwa Al-Qur`an adalah sempurna. Akan tetapi, kebencian mereka terhadap Al-Qur`an dan kesesatannya membuat mereka menabrak logika pemahaman mereka sendiri. Sebab, ternyata mereka justru telah mengurangi kesempurnaan Al-Qur`an, entah sadar atau tidak.

Pak Abdul Malik moderator milis sesat inkar Sunnah Pengajian_Kantor berkata, “Sebagai catatan, adalah sepatutnya kita menghilangkan kata ‘qul’ atau ‘katakanlah’ pada ayat-ayat yang diawali dengan kata ‘qul’ atau ‘katakanlah’ seperti yang terdapat di dalam surat Al-Ikhlas, Al-Falaq maupun An-Nas. Ini dilakukan karena pada saat shalat seorang hamba sedang berkomunikasi dengan Tuhannya sehingga tidak pantas memerintah-Nya dengan ucapan ‘Katakanlah!’."

Sebetulnya, perkataan Pak Abdul Malik ini sama saja dengan apa yang dikatakan tokoh-tokoh inkar Sunnah lain (meskipun mungkin beliau tidak mau mengakui), semacam; Ahmad Subhi Manshur, Musthafa Kamal Al-Mahdawi, Muhammad Syahrur, dan lain-lain. Simpel saja komentar kami; Bukankah ini sama saja dengan mengurangi Al-Qur`an? Bukankah kata “qul” itu adalah merupakan firman Allah juga? Apa pun alasannya, kenapa mereka tidak kurangi saja semua kata perintah yang ada di dalam Al-Qur`an?

Alasan mereka membuang kata perintah “qul” (katakanlah) ketika shalat dan membaca Al-Qur`an dikarenakan hal tersebut sama saja dengan menyuruh Allah dengan ucapan “Katakanlah!” sangat tidak logis. Sebab, jika kata perintah “qul” ini dihilangkan dengan alasan tidak pantas seperti kata mereka, maka akan banyak kata-kata perintah lain dalam Al-Qur`an yang akan mereka lenyapkan. Apakah juga pantas –menurut logika inkar Sunnah– kita menyuruh Allah untuk melakukan sesuatu yang lain selain perintah untuk berkata?

Dalam Al-Qur`an disebutkan,
فَأَسْرِ بِأَهْلِكَ بِقِطْعٍ مِنَ اللَّيْلِ وَاتَّبِعْ أَدْبَارَهُمْ وَلَا يَلْتَفِتْ مِنْكُمْ أَحَدٌ وَامْضُوا حَيْثُ تُؤْمَرُونَ 
“Maka pergilah kamu di akhir malam dengan membawa keluargamu, dan ikutilah mereka dari belakang dan janganlah seorang pun di antara kamu menoleh ke belakang dan teruskanlah perjalanan ke tempat yang diperintahkan kepadamu.” (Al-Hijr: 65)

Apakah pantas kita menyuruh Allah Ta’ala untuk pergi pada malam hari beserta keluarga dan mengikuti mereka? Na’udzu billah...
Dalam Al-Qur`an disebutkan,
اصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ وَاذْكُرْ عَبْدَنَا دَاوُودَ ذَا الْأَيْدِ إِنَّهُ أَوَّابٌ .
“Bersabarlah atas segala apa yang mereka katakan; dan ingatlah hamba Kami Dawud yang mempunyai kekuatan; sesungguhnya dia orang yang sangat taat.” (Shaad: 17)

Pantaskah kita menyuruh Allah Azza wa Jalla untuk bersabar dan mengingat-ingat Nabi Dawud? Sungguh, rancu sekali logika pemahaman mereka.
Dalam Al-Qur`an disebutkan,
فَخُذْ أَرْبَعَةً مِنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلَى كُلِّ جَبَلٍ مِنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا .
“Maka, ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah burung-burung itu, kemudian letakkan di atas setiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu. Sesudah itu panggillah mereka, niscaya mereka akan mendatangimu dengan segera.” (Al-Baqarah: 260)

Apakah pantas kita menyuruh Allah untuk mengambil dan mencincang burung? Apakah pantas kita memerintahkan Allah untuk melakukan hal-lain selain yang telah disebutkan? Allahu Akbar! Demikianlah kira-kira jadinya kalau kita mengikuti logika pemikiran sesat inkar Sunnah. Mereka bukan hanya lancang mengurangi kesempurnaan Al-Qur`an, tetapi mereka juga membuat-buat aturan sendiri yang tidak ada petunjuk dari siapa pun selain dari diri mereka sendiri dan hawa nafsu setan.
Adalah dusta apabila mereka mengaku beriman kepada Al-Qur`an. Bagaimana mungkin seseorang dikatakan beriman kepada Al-Qur`an sementara dia dengan seenaknya menghilangkan sebagian dari Al-Qur`an?

16. Benarkah Semua Ayat-ayat Al-Qur`an Sudah Jelas dan Mudah Dipahami?
Orang inkar Sunnah selalu mendengung-dengungkan bahwa Al-Qur`an itu sudah jelas dan mudah dipahami. Apa yang mereka katakan adalah benar, namun maksud di balik perkataan mereka ini benar-benar batil. Mereka ingin mengatakan bahwa Al-Qur`an tidak perlu lagi dijelaskan lagi oleh Sunnah Nabi karena sudah jelas dan mudah dipahami. Padahal, sebagaimana sudah kami singgung pada pembahasan yang lalu, bahwasanya kejelasan dan kemudahan Al-Qur`an itu bersifat umum. Maksudnya, secara umum Al-Qur`an memang mudah dipahami karena Al-Qur`an turun dengan Bahasa Arab yang jelas. Sebab, sekiranya semua ayat-ayat Al-Qur`an ini sudah jelas, mudah dipahami, dan tidak perlu penjelas lagi, niscaya Allah tidak akan menyuruh kita untuk bertanya kepada mereka yang lebih tahu dalam masalah agama dan Al-Qur`an.

Namun demikian, benarkah semua ayat-ayat Al-Qur`an sudah jelas dengan sendirinya dan mudah dipahami? Ternyata tidak. Tidak semua ayat-ayat dalam Al-Qur`an sudah jelas dengan sendirinya dan mudah dipahami begitu saja, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آَيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آَمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ .
“Dialah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur`an) kepadamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur`an, dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata; ‘Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.’ Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (Ali Imran: 7)

Dari zhahir ayat ini dapat dipahami, sesungguhnya Allah pun mengatakan bahwa dalam Al-Qur`an juga terdapat ayat-ayat yang mutasyabihat selain ayat-ayat muhkamat. Ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang masih samar maknanya, dan hanya Allah saja yang mengetahuinya secara pasti. Sedangkan ayat-ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang sudah jelas dan mudah dipahami.

Tentang tafsir ayat ini, Imam Asy-Syaukani (w. 1250 H/1834 M) berkata, “Demikianlah, suatu ayat yang tidak bisa dipahami secara tekstual dari ayat itu sendiri dan pula tidak bisa dipahami dari ayat lain, seperti ayat yang mengandung dua makna yang tidak bisa langsung disimpulkan salah satunya yang lebih benar, maka itu adalah ayat mutasyabihat. Termasuk di antaranya, yaitu kata-kata sinonim namun tidak disertai penjelasan makna dimaksud dalam ayat tersebut, dan adanya dua dalil yang tampak bertentangan dimana tidak bisa ditarjih (diputuskan yang lebih benar) salah satunya secara langsung meskipun sudah dibandingkan dengan ayat yang lain.

Adapun suatu ayat yang sudah jelas maknanya secara tekstual dimana kata-kata dalam ayat tersebut sudah dikenal dalam Bahasa Arab, atau dikenal dalam literatur syariat, atau bisa dipahami dari ayat lain, maka itu adalah ayat muhkamat. Contohnya, yaitu masalah-masalah yang masih bersifat global dimana terdapat penjelasannya di tempat lain dalam Al-Qur`an, atau dalam Sunnah Nabi. Atau, masalah-masalah yang dalil-dalilnya tampak bertentangan namun terdapat penjelasan di tempat lain dalam Al-Qur`an atau Sunnah Nabi atau petunjuk lain yang menegaskan mana yang lebih benar.”

Jadi, sekiranya orang-orang inkar Sunnah mengatakan bahwa semua ayat-ayat dalam Al-Qur`an secara mutlak adalah sudah jelas dan mudah dipahami sehingga tidak memerlukan perangkat apa pun atau bertanya kepada siapa pun dalam memahaminya; maka itu adalah suatu dusta yang nyata. Nyata-nyata menyalahi Al-Qur`an sendiri.

* * *
Sumber:
Abduh Zulfidar Akaha

Tidak ada komentar:

Posting Komentar