Sabtu, 27 Mei 2017

DASAR HUKUM "WAKTU IMSAK"


Salah satu hal yang terkadang masih dibicarakan dan diperdebatkan adalah mengenai adanya waktu imsak, yaitu jeda waktu sebelum adzan sholat subuh dikumandangkan (biasanya 10 menit sebelum adzan), pada waktu ini umumnya orang yang hendak berpuasa berhenti makan dan minum.

Banyak yang menganggap bahwa ketika seseorang makan atau minum pada waktu ini maka puasanya batal, sedangkan sebagian orang ada yang menganggap sebaliknya, bahwa waktu imsak itu tak memiliki dasar hukum, sebab larangan makan dan minum itu dimulai pada saat terbitnya fajar yang berarti telah masuknya waktu sholat shubuh. Untuk itulah pemahaman ini perlu diluruskan agar "waktu imsak" tak lagi disalah pahami dihukumi bid’ah, atau ditentang.

Para ulama' telah menetapkan bahwa awal waktu pelaksanaan puasa dimana seseorang tidak lagi diperbolehkan makan dan minum adalah ketika fajar shodiq telah terbit, terbitnya fajar shodiq juga merupakan tanda telah masuknya waktu sholat shubuh, fajar shodiq ialah terlihatnya cahaya putih yang melintang mengikut garis lintang ufuk di sebelah timur akibat pantulan cahaya matahari oleh atmosfer.

Dalil-dalil Waktu Sahur dan Hukum Imsak:

1. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

{أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ } [البقرة: 187]

”Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu, mereka itu adalah pakaian bagi kamu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam,(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa”. (QS. 2:187).

Maksud dari kata "Benang Putih" dan "Benang Hitam" dijelaskan dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh 'Addi bin Hatim radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

لَمَّا نَزَلَتْ: {حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ} مِنَ الْفَجْرِ قَالَ لَهُ عَدِيُّ بْنُ حَاتِمٍ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي أَجْعَلُ تَحْتَ وِسَادَتِي عِقَالَيْنِ: عِقَالًا أَبْيَضَ وَعِقَالًا أَسْوَدَ، أَعْرِفُ اللَّيْلَ مِنَ النَّهَارِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ وِسَادَتَكَ لَعَرِيضٌ، إِنَّمَا هُوَ سَوَادُ اللَّيْلِ، وَبَيَاضُ النَّهَارِ»

"Ketika turun ayat; "Hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar." Maka Adi bin Hatim berkata kepada beliau, "Wahai Rasulullah, aku meletakkan benang putih dan benang hitam di bawah bantalku untuk membedakan malam dan siang." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda: "Bantalmu itu terlalu lebar. Yang dimaksud dengan benang hitam ialah gelapnya malam, dan (benang putih) adalah cahaya siang." (Muttafaq ‘alaih)

Dalam hadits lain diriwayatkan:

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: " أُنْزِلَتْ: {وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الخَيْطُ الأَبْيَضُ، مِنَ الخَيْطِ الأَسْوَدِ}  وَلَمْ يَنْزِلْ {مِنَ الفَجْرِ} ، فَكَانَ رِجَالٌ إِذَا أَرَادُوا الصَّوْمَ رَبَطَ أَحَدُهُمْ فِي رِجْلِهِ الخَيْطَ الأَبْيَضَ وَالخَيْطَ الأَسْوَدَ، وَلَمْ يَزَلْ يَأْكُلُ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُ رُؤْيَتُهُمَا، فَأَنْزَلَ اللَّهُ بَعْدُ: {مِنَ الفَجْرِ} فَعَلِمُوا أَنَّهُ إِنَّمَا يَعْنِي اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ " (متفق عليه)

Dari Sahl bin Sa’d, ia mengatakan: “Diturunkan oleh Allah ayat ” .. dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam” dan belum diturunkan kalimat “yaitu fajar [minal fajr]“, maka masyarakat kalau ingin melaksanakan puasa, salah satu diantara mereka mengaitkan benang putih dan benang hitam, dan mereka meneruskan makan hingga terang bagi mereka keduanya. Lalu Allah menurunkan kalimat “minal fajr, yaitu fajar”, maka mereka tahu, bahwa yang dimaksud adalah malam dan siang”. (Muttafaq ‘alaih)

2. Hadits riwayat At-Turmudzi:

عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ يَمْنَعَنَّكُمْ مِنْ سُحُورِكُمْ أَذَانُ بِلاَلٍ، وَلاَ الفَجْرُ الْمُسْتَطِيلُ، وَلَكِنِ الفَجْرُ الْمُسْتَطِيرُ فِي الأُفُقِ.

Dari Samurah bin Jundub radhiyallahu 'anhu, ia mengatakan: RasululLah shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan: “Janganlah adzan Bilal melerai sahur kalian, dan juga fajar yang memanjang (fajar kadzib), akan tetapi [yang melerai adalah] fajar yang menyebar di ufuk (fajar shodiq).”

3. Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لاَ يَمْنَعَنَّ أَحَدَكُمْ - أَوْ أَحَدًا مِنْكُمْ - أَذَانُ بِلاَلٍ مِنْ سَحُورِهِ، فَإِنَّهُ يُؤَذِّنُ - أَوْ يُنَادِي بِلَيْلٍ - لِيَرْجِعَ قَائِمَكُمْ، وَلِيُنَبِّهَ نَائِمَكُمْ» (متفق عليه)  

Dari Abdullah bin Mas’ud, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, ia mengatakan: “Janganlah adzan Bilal mencegah salah satu di antara kalian dari makan sahurnya, karena ia mengumandangkan adzan di tengah malam, untuk mengingatkan di antara kalian yang bangun dan untuk membangunkan yang masih tidur.” (Muttafaq ‘alaih)
.
4. Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim:

عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: «إِنَّ بِلاَلًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ»

Dari ‘Aisyah radhiyallahu 'anha, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: “Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan di malam hari, Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ‘Makan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum adzan. Karena dia tidak akan adzan kecuali setelah terbitnya fajar shadiq”  (Muttafaq ‘alaih)..

Dari keterangan diatas dapat dipahami, bahwa anggapan yang menyatakan bahwa ketika waktu imsak tiba maka seseorang tak lagi boleh makan dan minum, sebab larangan makan dan minum baru berlaku saat fajar shodiq telah terbit yang ditandai dengan dikumandangkannya adzan sholat shubuh.

Lalu mengenai anggapan sebagian orang yang mengatakan bahwa "waktu imsak" tak memiliki dasar juga tidak bisa dibenarkan, padahal "penambahan" waktu imsak memiliki dalil yang kuat.

Penambahan waktu ini diantaranya didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, ia mengisahkan:

أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَزَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَسَحَّرَا، فَلَمَّا فَرَغَا مِنْ سَحُورِهِمَا، قَامَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الصَّلاَةِ، فَصَلَّى، فَقُلْنَا لِأَنَسٍ: كَمْ كَانَ بَيْنَ فَرَاغِهِمَا مِنْ سَحُورِهِمَا وَدُخُولِهِمَا فِي الصَّلاَةِ؟ قَالَ: كَقَدْرِ مَا يَقْرَأُ الرَّجُلُ خَمْسِينَ آيَةً

“Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan Zaid bin Tsabit radhiyallahu 'anhu pernah sahur bersama, ketika keduanya telah selesai, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beranjak untuk mengerjakan sholat, kemudian beliau sholat. Kami bertanya pada Anas: "Berapa waktu diantara selesainya mereka berdua sahur dan masuknya keduanya untuk mengerjakan sholat? Anas menjawab: "Kira-kira seseorang membaca 50 ayat al-qur'an." (Shahih Bukhari, no. 1134)

Dalam riwayat lain,

عَنْ أَنَسٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَ الأَذَانِ وَالسَّحُورِ قَالَ قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً .

Dari Anas meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu 'anhu berkata: “Kami telah makan sahur bersama-sama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian beliau bangun mengerjakan shalat. Aku (Anas) bertanya (kepada Zaid): “Berapa lamanya antara azan (Subuh) dengan waktu makan sahur itu ?” Dia menjawab: “sepadan dengan waktu yang dibutuhkan untuk  membaca 50 ayat.” (HR Al-Bukhari)

Ibnu Hajar Al-‘Asqolaniy dalam kitab Fathul Bari – Syarh Shahih Al-Bukhari, menjelaskan;

قوله (باب قدركم بين السحور وصلاة الفجر) أي انتهاء السحور وابتداء الصلاة لأن المراد تقدير الزمان الذي ترك فيه الأكل والمراد بفعل الصلاة أول الشروع فيها قاله الزين بن المنير (فتح الباري - ابن حجر 4 / 138)

Maksud perkataannya (Imam Al-Bukhari) [Bab perkiraan berapa lama waktu antara sahur dan shalat subuh] yakni waktu akhir sahur dan mulai shalat, karena sesungguhnya yang dimaksud adalah perkiraan waktu berhenti makan; dan yang dimaksud dengan “melakukan shalat” adalah awal masuk waktu shalat, sebagaimana dikatakan oleh Az-Zain bin Al-Munir

Selanjutnya Ibnu Hajar menjelaskan:

قوله (قال قدر خمسين آية) أي متوسطة لا طويلة ولا قصيرة لا سريعة ولا بطيئة

“Kalimat (beliau bersabda: “seukuran 50 ayat”) yakni bacaan yang sedang; tidak  panjang dan tidak pendek, tidak cepat dan tidak juga lambat”.

Imam an-Nawawi di dalam kitab “Syarah Muslim” tatkala mensyarahkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Bakar bin Abu Syaibah yang kandungannya hampir sama dengan hadits Imam al-Bukhari di atas, menyatakan:-

... وفيه الحث على تأخير السحور إلى قبيل الفجر ( شرح النووي على مسلم  7 / 207 )

“… padanya (yakni dalam hadits tersebut) terkandung anjuran untuk mengakhirkan sahur beberapa saat sebelum terbit fajar”, ( yakni kita dianjurkan untuk mengakhirkan makan sahur beberapa saat sebelum terbitnya fajar shadiq.

Perhatikanlah, dengan berdasarkan pemahaman terhadap hadits di atas yang berasal dari perbuatan Rasul shallallahu 'alaihi wasallam. ulama berpendapat bahwa waktu imsak yang menjadi sunnah untuk menyelesaikan makan sahur (yakni bagi yang telah bersahur) adalah sebelum fajar shadiq terbit.

Sedangkan perkiraan waktu "10 menit" sebelum adzan shubuh dikumandangkan adalah ijtihad para ulama', sebab dalam hadits tersebut hanya dijelaskan bahwa perkiraan waktu selesai sahur sampai sholat shubuh kira-kira membaca 50 ayat Al-Qur'an.

Perkiraan 10 menit didasarkan atas perhitungan sebagai berikut:

[1] Fajar kadzib dan fajar shadiq adalah gejala alam seperti halnya terbitnya mega merah di ufuk barat [pertanda waktu Maghrib], condongnya matahari ke barat [pertanda waktu Dzuhur], dan gejala-gejala alam lainnya. Gejala-gejala alam ini, sejak lama sekali telah dapat diketahui melalui ilmu falak [astronomi], sehingga untuk mengetahuinya tidak perlu melalui pengamatan alam secara langsung. Fajar misalnya, untuk mengetahuinya tidak perlu kita keluar ke alam bebas, kemudian mengamatinya dengan mata telanjang, akan tetapi cukup dengan memanfaatkan kemajuan di bidang astronomi.

Karena itu, penentuan waktu salat kita, dan juga waktu imsak puasa kita, selama ini secara keseluruhan memakai standar ilmu falak, bukan melalui pengamatan alam secara langsung. Dan pada kenyataannya, penentuan ini lebih akurat dan lebih bisa dipertanggungjawabkan ketimbang pengamatan secara langsung tsb.

[2] Ilmu Falak yang banyak berkembang di penanggalan kita masih bersifat “taqdiry”, atau bersifat perkiraan, belum mampu menetapkan waktu dengan keakuratan 100%. Masih terdapat keragu-raguan sekitar satu hingga dua menitan dari waku faktualnya. Karena itu, dalam penanggalan yang banyak berkembang di negara kita, terdapat waktu “ihtiyath”, waktu preventif atau jaga-jaga. Misalnya, waktu dzuhur: sesuai dengan ketentuan ilmu falak yang ada, adalah jam 12:00. Akan tetapi karena keakuratannya belum mampu mancapai 100%, maka dalam penanggalan ditambahi lima menit. Jadi yang tercatat dalam penanggalan adalah 12:05, dengan asumsi ada waktu preventif 5 menit. Begitu pula waktu-waktu salat lainnya, ada penambahan antara tiga hingga lima menit dalam catatan di penanggalan.

[3] Dengan asumsi waktu preventif 5 menit, maka waktu subuh [terbitnya fajar] yang mestinya jatuh pada jam 4:30 [misalnya], menjadi jatuh pada jam 4:35 dalam pencatatan di penanggalan. Waktu yang sama, yakni terbitnya fajar, jika digunakan untuk menentukan mulainya berpuasa, maka akan terjadi pengajuan jam, dari jam 4:30 menjadi 4:20, dengan asumsi waktu preventif imsak 10 menit. Kalau waktu preventifnya adalah lima menit, maka waktu imsak sebagaimana dalam penanggalan adalah 4:25.

Dengan menghitung dua waktu preventif sekaligus, yakni preventif subuh dan preventif imsak, maka bisa dimengerti kalau jarak antara waktu imsak dan adzan subuh adalah 10 hingga 15 menit. Secara teoritik, mestinya waktu subuh dan waktu imsak adalah sama, yakni terbitnya fajar shadiq, akan tetapi dalam kenyataan yang tertulis dalam penanggalan bisa terpaut antara 10 hingga 15 menit.

Perlu dipahami pula bahwa hikmah dari penambahan waktu imsak adalah sebagai sikap kehati-hatian (ikhthiyath) agar sebelum waktu sholat subuh tiba seseorang sudah tidak dalam keadaan makan dan minum sehingga menyebabkan puasanya menjadi batal. Sikap berhati-hati seperti ini dianjurkan oleh agama, dan atas dasar inilah para ulama' menetapkan bahwa ketika sedang berpuasa dimakruhkan berlebihan ketika berkumur, karena dikhawatirkan airnya masuk dan puasanya batal, begitu juga ditetapkan mengenai kemakruhan mencium istri ketika puasa dengan alasan yang sama.

Kesimpulan akhir:
Waktu imsak memiliki dasar hukum agama, dan pada waktu ini seseorang masih diperbolehkan makan dan minum sampai terbitnya fajar, namun sebaiknya menyudahi makan dan minum pada saat telah masuk waktu imsak sebagai sikap kehati-hatian, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi.

Wallahu a'lam bish-showab.

Selengkapnya..

Jumat, 12 Mei 2017

Apakah Makmum Boleh Mengucapkan Salam Ketika Imam Selesai Mengucapkan Salam Yang Pertama?

● Dalam kitab  Al-Majmu', Iman An-Nawawi mengatakan:
فينبغي للمأموم أن يسلم بعد سلام الإمام، قال البغوي يستحب أن لا يبتدئ السلام حتى يفرغ الإمام من التسليمتين، وقال المتولي يستحب أن يسلم بعد فراغ الإمام من التسليمة الأولى وهو ظاهر نص الشافعي، واتفقوا على أنه يجوز أن يسلم بعد فراغ الإمام من الأولى وإنما الخلاف في الأفضل ولو قارنه في السلام فوجهان: (أحدهما) تبطل صلاته إن لم ينو مفارقته كما لو قارنه في تكبيرة الإحرام وأصحهما لا تبطل كما لو قارنه في باقي الأركان بخلاف تكبيرة الإحرام، ولو سلم قبل شروع الإمام في السلام بطلت صلاته إن لم ينو مفارقته، فإن نواها ففيه الخلاف فيمن نوى المفارقة، ولا يكون مسلماً بعده إلا أن يبتدئ بعد فراغ الإمام من الميم من قوله: السلام عليكم. انتهى.

"... Maka seyogyanya bagi makmum untuk memberi salam setelah salamnya imam. Al-Baghawi berkata bahwa "disunnahkan agar (makmum) tidak memulai salam hingga imam selesai dari kedua salamnya". Al-Mutawally berkata bahwa "disunnahkan agar (makmum) memberi salam setelah imam selesai dari salam pertama, yaitu berdasarkan pendapat Imam Syafi'i".

Mereka sepakat bahwa (makmum) boleh memberi salam setelah imam selesai salam pertama, dan yang diperselisihkan adalah faktor keutamaannya.

Dan apabila makmum berbarengan dengan imam dalam memberi salam, maka ada dua kemungkinan; Pertama, sholatnya batal bila tidak berniat mufaraqah (memisahkan diri) dari imam, sebagaimana bila dia melakukan takbiratul ihram berbarengan dengan imam. Dan yang lebih benar adalah (yang kedua), yaitu tidak batal, sebagaimana bila makmum membarengi imam dalam rukun-rukun shalat lainnya, selain takbiratul ihram.

Dan apabila makmum memberi salam sebelum imam memulainya (mendahului imam), maka batallah shalatnya (makmum), jika tidak berniat mufaraqah (memisahkan diri) dari imam; dan bila berniat (mufaraqah), maka ada perbedaan pendapat tentang hal ini (apakah batal atau tidak). Dan makmum tidak memberi salam setelahnya, kecuali bila dia memulai salam setelah imam selesai dari mengucapkan "m" dari ucapan assalamu'alaiku"m".

● Syekh Ibn 'Utsaimin rahimahullah berkata dalam kitab "Syarh Al-Mumti'":
"Para ulama mengatakan bahwa engkau dimakruhkan memberi salam bersamaan dengan salam pertama dan kedua imam. Adapun bila engkau memberi salam pertama setelah salam pertama imam, dan salam kedua setelah salam kedua imam, maka itu tidak apa-apa. Tapi yang lebih utama adalah engkau tidak memberi salam kecuali setelah kedua salam dari imam.

● Ulama' yang duduk di Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Arab Saudi pernah ditanya:

Sebagian orang yang shalat mengucapkan salam setelah imam mengucapkan salam pertama, setelah imam mengucapkan salam yang kedua maka mereka mengucapkan salam kedua, mereka mengatakan beginilah cara salam yang lebih tepat. Perlu diketahui bahwa mayoritas orang yang shalat menunggu imam mengucapkan salam kedua kemudian mereka mengucapkan salam, bagaimana penjelasan Anda sekalian terkait masalah ini?

Mereka menjawab:
Dalam kitab sunan ada riwayat dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda:

مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطَّهُوْرُ، وَتَحْرِيْمُهَا التَّكْبِيْرُ، وَتَحْلِيْلُهَا التَّسْلِيْمُ

"Kunci shalat adalah bersuci, Pengharamnya adalah takbir dan penghalalnya adalah salam".

Yang diketahui dari perbuatan beliau adalah beliau melakukan dua kali salam (ke kanan dan ke kiri), ini menunjukkan bahwa dua salam ini adalah salah satu rukun shalat, dan imam tidak dikatakan menyempurnakan shalatnya hingga ia melakukan salam yang kedua.

Oleh karena itu salamnya makmum setelah imam mengucapkan salam yang pertama adalah salam sebelum sempurnanya shalat, jadi makmum tidak boleh melakukan salam sebelum imam mengucapkan dua salam, ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam

إِنِّي إِمَامُكُمْ فَلاَ تَسْبِقُوْنِي بِالرُّكُوْعِ وَلاَ بِالسُّجُوْدِ وَلاَ بِالْقِيَامِ وَلاَ بِاْلاِنْصِرَافِ

Sesungguhnya aku imam kalian maka janganlah mendahuluiku dalam rukuk, sujud, berdiri atau berpaling (bubar).

Dengan demikian makmum tidak boleh melakukan itu.

Fatwa ini ditanda tangani oleh
Abdul Aziz Ibnu Abdullah Ibnu Baz selaku ketua
Abdul Aziz Aalu Syaikh selaku wakil ketua
Abdullah bin Ghudayyan selaku selaku anggota
Shaleh al-Fauzan selaku anggota
Bakr Abu Zaid selaku anggota
Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 5/407 Fatwa no. 18735

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم

Kesimpulan:
1. Bila makmum memberi salam pertama sebelum imam, dan tidak berniat mufaraqah, maka shalatnya menjadi batal.
2. Bila makmum memberi salam pertama setelah imam selesai dari salam pertama (minimal setelah huruf mim terakhir dari "assalamu'alaikum"), dan memberi salam kedua setelah imam selesai salam kedua, maka shalatnya sah.
3. Yang paling utama (afdhal), makmum memberi salam setelah imam selesai dari salam kedua.
4. Agar makmum mengetahui salam kedua dari imam, maka diharapkan agar imam tetap mengeraskan suaranya saat mengucapkannya sebagaimana saat mengucapkan salam pertama.

Wallahu A'lam.

Selengkapnya..

HISAB DAN PENENTUAN AWAL RAMADHAN

Kaum muslimin diperintahkan Allah untuk mengikuti dan mencontoh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam seluruh syari’atnya. Demikian pula yang berkaitan dengan penentuan ibadah besar seperti puasa Ramadhan, Idul Fithri dan Haji. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam secara tegas mengajarkan cara penentuannya dengan rukyat hilal (melihat hilal) dengan mata dan bila terhalang mendung atau yang sejenisnya maka dengan cara menyempurnakan bulan sya’ban 30 hari untuk Ramadhan atau Ramadhan 30 hari untuk Syawal [1].

Demikianlah contoh dan ajaran Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam permasalahan ini, sehingga hukum berpuasa Ramadhan dan berbuka dari bulan Ramadhan bergantung kepada rukyah hilal. Tidak berpuasa kecuali dengan melihatnya dan tidak berbuka dari Ramadhan kecuali dengan melihatnya langsung dan seandainya melihat dengan alat teropong dan alat-alat yang dapat memperjelas penglihatan maka itu dianggap sebagai penglihatan dengan mata [2]

Rukyah (melihat hilal) lah yang menjadi dasar syar’i dalam hukum puasa dan Idul Fithri. Adapun hisab tidak dapat dijadikan sandaran dalam penentuan puasa menurut syari’at.[3]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Tidak diragukan lagi hal ini telah ditetapkan dengan dasar sunnah yang shahih dan atsar para sahabat, sungguh tidak boleh bersandar kepada hisab. Orang yang bersandara kepada hisab telah menyimpang dari syari’at dan berbuat kebid’ahan dalam agama. Dia telah salah secara akal dan ilmu hisab sendiri, karena ulama hisab telah mengetahui bahwa rukyat tidak dapat ditentukan dengan perkara hisab, karena hilal tersebut berbeda-beda sesuai dengan perbedaan ketinggian dan kerendahan suatu tempat dan lainnya.[4]

Imam Ibnu Daqiqil Ied berkata: Menurut pendapat saya, hisab tidak boleh dijadikan sandaraan dalam puasa.[5]

Ketika mengomentari hadits “إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ ”: Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata : ‘Pada mereka (bangsa Arab) ada orang yang dapat menulis dan mengetahui hisab, (dinamakan umiyun) karena yang menulis sangat sedikit sekali. Yang dimaksud hisab dalam hadits ini adalah hisab nujum dan perjalanannya (falak) dan mereka hanya sedikit yang mengerti hal ini, sehingga hukum berpuasa dan lainnya tergantung kepada rukyah agar tidak menyulitkan mereka karena sulitnya hisab. Lalu hukum ini berlaku terus pada puasa walaupun setelahnya banyak orang yang telah mengetahui hisab. Bahkan dzahir hadits dipahami tidak adanya hukum puasa dengan hisab. Hal ini dijelaskan dalam hadits-hadits lainnya yang berbunyi: فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا الْعِدَّة ثَلاَثِيْنَ dan tidak menyatakan: “Tanyalah kepada Ahli Hisab!”.

Lalu beliau rahimahullah berkata lagi: ‘Sebagian kaum berpendapat merujuk kepada ahli hisab. Mereka adalah Syiah Rafidhah, dan dinukilkan dari sebagian ahli fiqih bahwa mereka menyetujuinya, Al Baaji berkata: ‘Ijma’ Salafush Shalih sudah menjadi hujjah atas mereka’. Dan Ibnu Bazizah berkata: ‘Ini adalah madzhab yang batil, sebab syari’at telah melarang memperdalam ilmu perbintangan, karena ia hanyalah persangkaan dan hipotesa semata tidak ada kepastian dan tidak juga perkiraan yang rajih (zhann rajih). Ditambah lagi seandainya perkara puasa dihubungkan dengannya. Maka tentulah menyulitkan, karena yang mengetahuinya sedikit sekali.[6]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: Tidak wajib berpuasa dengan penentuan hisab, seandainya ulama hisab menetapkan bahwa malam ini termasuk Ramadhan, namun mereka belum melihat hilal maka tidak berpuasa. Karena syari’at menggantung hukum berpuasa ini dengan perkara yang terindera yaitu rukyat hilal.[7]

Jadi jelaslah hisab tidak dapat dijadikan sandaran dalam penentuan awal bulan Ramadhan, Syawal dan Haji.

FAKTA DAN SYUBHAT
Dewasa ini berkembang penggunaan hisab dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal. Banyak orang yang menggunakannya berusaha membela dan mencari dalih-dalih yang menguatkan penggunaan hisab ini serta menyatakan hal itu berdasarkan pada ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi dan juga ilmu hisab.

Diantara syubhat yang mereka sampaikan adalah.

1. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, hendaklah dia berpuasa.” [al Baqarah/2 : 185]

Jawab.
Dalil ini tidak dapat dipakai untuk membenarkan penggunaan hisab dalam penentuan awal Ramadhan, sebab tidak ada penjelasan cara menentukan awal bulan tersebut. Ayat yang mulia ini tentunya kita fahami dengan penjelasan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam menentukannya. Yaitu dengan melihat hilal (rukyat) atau menyempurnakan 30 hari bulan sya’ban bila terhalang melihatnya.

2. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَآءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَاخَلَقَ اللهُ ذَلِكَ إِلاَّ بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ اْلأَيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. [Yunus/10 : 5]

Jawab.
Ayat yang mulia ini tidak menunjukkan bahwa syari’at menganggap hisab sebagai sarana dalam penentuan awal bulan. Ayat ini hanya menjelaskan fungsi manzilah-manzilah bulan dalam mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu dan ini dijelaskan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan melihat hilal.

Sedangkan firmanNya: (لِتَعْلَمُوا ) tidak berhubungan dengan sifat matahari dan bulan namun berhubungan dengan taqdir manaazil (ketentuan manzila bulan).

Syaikh Islam Ibnu Taimiyah berkata: Firman Allah (لِتَعْلَمُوا) berhubungan dengan firmanNya (َقَدَّرَهُ ) bukan kepada (جَعَلَ ) karena sifat matahari bersinar dan bulan bercahaya tidak memiliki pengaruh dalam mengenal bilangan tahun dan hisab. Juga karena Allah tidak menggantung kepada matahari dalam perhitungan bulan dan tahun dan hanya menetapkannya dengan hilal, sebagaimana ditunjukkan oleh ayat. Demikian juga karena Allah berfirman:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتَابِ اللهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّماَوَاتِ وَاْلأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ

Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. [at-Taubah/9 :36]

Allah Subhanahu wa Ta'ala mengkhabarkan jumlah bulan adalah 12, sehingga diketahui bahwa bulan-bulan tersebut diketahui dengan hilal. [8]

Dengan demikian keumuman ayat ini tidak menunjukkan i’tibar hisab dalam penentuan bulan menurut syari’at.

3. Sabda Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa sallam :

إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

Jika kalian melihat hilal maka berpuasalah dan jika melihatnya kembali maka berbukalah (ber hari raya ‘ied), lalu jika kalian terhalangi (tidak dapat melihatnya) maka perkirakanlah bulan tersebut. [9]

Melihat bentuk kata faqdurulah yang artinya maka perkirakanlah, adalah bentuk amar (perintah) yang dalam hal ini juga hadits (sabda Nabi) yang berkedudukan sebagai dalil. Sehingga menggunakan ilmu hisab, berarti pengamalan terhadap ayat al Qur’an dan hadits. Jadi penggunaan hisab itu bukanlah rekaan terhadap urusan agama (bid’ah).

Jawab:
Menurut ahli bahasa Arab, kata faqdurulah berasal dari makna taqdir yaitu tentukanlah bukan perkirakanlah, sebagaimana firman Allah :

فَقَدَرْنَا فَنِعْمَ الْقَادِرُونَ

Lalu Kami tentukan (bentuknya), maka Kami-lah sebaik-baik yang menentukan. [al-Mursalat /77 : 23] [10]

Kemudian makna ini telah ditafsirkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri melalui perawi hadits diatas yaitu Ibnu Umar dan yang lainnya bahwa makna faqdurullah tersebut adalah menyempurnakan bilangan Sya’ban tiga puluh hari [11], sehingga bila kita mau mengamalkan hadits ini maka harus membawa maknanya kepada hadits yang lain bukan sekedar mendapatkan sesuatu yang dianggap mendukung pendapatnya lalu tidak mau berhujah dengan tafsirnya yang juga berasal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. sikap yang benar terhadap hadits-hadits seperti ini adalah dengan membawa sesuatu yang muthlak kepada penjelasnya, sehingga makna faqdurullah difahami dengan makna menyempurnakan bulan, barulah kemudian dianggap telah mengamalkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kemudian seandainya kata faqdurullah dalam hadits ini dimaknai kira-kira dengan ilmu hisab, maka hadits ini membolehkannya setelah tidak dapat melihat hilal karena mendung dan sejenisnya, bukan sebelumnya.

Sedangkan mereka yang menjadikan hisab sebagai standar penentuan awal Ramadhan tidaklah demikian. Tetapi mereka menentukannya jauh sebelum waktu rukyat dan tidak melihat mendung atau cerah keadaan langitnya. Ini jelas menyelisihi sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang berarti satu perbuatan bid’ah yang tidak pernah dilakukan kaum muslimin sebelumnya.

Ibnu Taimiyah berkata: Sedangkan mengikuti hisab pada keadaan cerah atau menentukan perkara syariat umum yang lain dengan hisab, maka (pendapat seperti ini) tidak pernah disampaikan oleh seorang muslimpun (ulama mereka, ed). [12]

Ibnu Mulaqin berkata : Kata faqdurullah, bila dimaknai dengan menghitungnya dengan hisab manaajil (falak) yang digunakan ahli falak, maka ini pendapat yang sangat lemah sekali. Karena seandainya manusia dibebabkan demikian, tentu menyusahkan mereka, karena tidak mengetahuinya kecuali segelintir orang. Padahal syari’at mengenalkan kepada mereka sesuai dengan sesuatu yang kebanyakan mereka ketahui. Juga karena iklim menurut pendapat mereka (ahli falak) berbeda-beda, dibenarkan satu iklim melihat (dan) yang lain tidak, sehingga membuat perbedaan puasa pada kaum muslimin. Demikian juga seandainya hisab diakui kebenarannya (dalam menentukan awal bulan Ramadhan), tentulah Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menjelaskannya kepada manusia, sebagaimana telah menjelaskan waktu-waktu shalat dan yang lainnya.

Jelas hadits inipun tidak mendukung pendapat bolehnya menggunakan hisab dalam menentukan awal Ramadhan.

4. Dari segi sejarah dapat kita pelajari uraian kitab Bidayatul Mujtahid. Disebutkan bahwa penggunaan hisab oleh ulama sejak masa sahabat atau tabi’in. Kalau dalam menetapkan awal bulan Ramadhan dengan rukyat tidak berhasil karena mendung maka digunakan hisab. Hal ini dilakukan oleh sebagian ulama salaf dan dipelopori oleh seorang senior tabi’in yang bernama Mutharif bin Asy Syahr.

Jawab.
Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid menyatakan: ‘Dan diriwayatkan dari sebagian salaf berpendapat bahwa jika hilal tidak terlihat karena mendung, maka merujuk kepada hisab peredaran bulan dan matahari dan ini adalah madzhab Mutharif bin asy Syikhir seorang senior tabi’in’ [14].

Jadi Mutharif bin Abdillah Asy Syikhir bukan Asy-Syahr. Dan dia bukanlah yang mempelopori. Pernyataan beliau ini perlu dicermati lagi, karena nisbat pendapat ini kepada Muthorif bin Abdillah Al Shikhier tidak benar, sebagaimana dinyatakan imam Ibnu Abdil Barr [15]

Kemudian juga pernyataan para sahabat ada yang menggunakan hisab dibantah oleh hadits Nabi yang berbunyi:

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا ثَلَاثًا حَتَّى ذَكَرَ تِسْعًا وَعِشْرِينَ

Kami adalah umat yang ummiy tidak menulis dan tidak menghisab, bulan itu demikian, demikian dan demikian tiga kali sampai menyebut dua puluh sembilan. [16].

Dengan demikian benarlah pernyataan Ibnu Taimiyah bahwa penggunaan hisab dalam menentukan awal Ramadhan merupakan perkara baru yang terjadi setelah tahun tiga ratusan.[17]

5. Kalaulah menentukan awal Ramadhan dengan rukyat berdasarkan hadits Nabi, bagaimana menentukan awal bulan Dzulhijah untuk selanjutnya menentukan tanggal 10 Dzulhijjah. Tidak ada perintah untuk itu dengan rukyat. Bagaimana penentuan waktu-waktu shalat sekarang, dengan menggunakan jadwal yang didasarkan pada hisab. Padahal dizaman Nabi dilakukan dengan melihat bayangan benda bagi sholat dzuhur dan ashar, dengan menggunakan melihat fajar untuk waktu subuh dan terbenam matahari untuk waktu shalat maghrib dari hilangnya mega merah untuk sholat isya’. Kesemuannya dapat dikembalikan kepada dalil umum ayat 5 surat Yunus diatas dengan melakukan isthimbath dan ijtihad, baik berdasarkan metode bayani dan pendekatan burhani (pendekatan ilmiah beradasarkan dalil).

Jawab.
Alhamdulillah agama Islam telah menjelaskan seluruh keterangan yang dapat digunakan hamba Allah dalam beribadat kepadanya. Menjadi mustahil bila Islam menetapkan satu ibadah yang berhubungan dengan waktu kemudian tidak menjelaskan waktu tersebut. Demikian pula tuntunan awal Ramadhan ditentukan dengan rukyat berdasarkan hadits Nabi, bahkan juga oleh akal, sehingga Ibnu Taimiyah berkata: "Sesungguhnya hukum-hukum Islam seperti puasa Ramadhan berhubungan langsung dengan hilal. Namun berdasarkan dalil sam'iyah (wahyu) dan akal, cara mengetahui terbitnya hilal adalah rukyat tidak yang lainnya. [18]

Sedangkan penentuan bulan Dzulhijah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

يَسْئَلُونَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَن تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِن ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah :"Hilal itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebaktian memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebaktian itu ialah kebaktian orang yang bertaqwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu beruntung. [al-Baqarah/2 :189]

Sungguh aneh kalau dikatakan tidak ada perintah untuk itu dengan rukyat. Adapun waktu shalat sudah jelas dan disepakati Rasululloh telah menjelaskannya dengan sangat jelas sekali dalam hadits Jabir dan yang lainnya.

Mengapa kita memaksakan semua ini masuk dalam keumuman ayat 5 surat Yunus yang tidak menjelaskan tentang penggunaan hisab dalam syari’at Islam, padahal secara jelas ketentuannya telah terperinci dalam ayat dan hadits-hadits yang shahih. Seperti ini menunjukkan jalan istimbath yang jauh dari benar.

Ambillah yang sudah jelas dan gamblang dan tinggalkanlah yang masih direka-reka dan dipaksakan.

6. Secara fakta ilmu hisab telah dapat digunakan untuk menghitung waktu yang mendekati kebenaran

Jawab
Kalau benar fakta ini, mengapa tidak menggunakan yang jelas pasti kebenarannya menurut syari’at dan malah menggunakan sesuatu yang hanya mendekati kebenaran dan masih mungkin bisa keliru dan salah?

7. Sebagian orang berkomentar tentang hadist :

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا ثَلَاثًا حَتَّى ذَكَرَ تِسْعًا وَعِشْرِينَ

Kami adalah umat yang ummiy tidak menulis dan tidak menghisab, bulan itu demikian, demikian dan demikian tiga kali sampai menyebut dua puluh sembilan.

Berdasarkan hadits ini, mereka menyatakan bahwa ini merupakan penyebab hukum puasa tidak ditetapkan dengan hisab, sebab Nabi dan para sahabat tidak mampu melakukannya dengan sebab ummiynya mereka. Sedangkan kami sekarang bias membaca dan mengetahui ilmu hisab. Ditambah lagi kami memiliki teropong bintang yang modern. Sehingga alasan hanya menggunakan rukyat hilal sekarang ini terhapus. Dalam kaidah dikatakan : Hukum bisa berubah dengan ada atau tidak adanya illat (alasan hukum).

Jawab.
Pernyataan seperti ini telah dijawab oleh Syaikh Islam Ibnu Taimiyah : ‘Hal ini tidak bisa dibenarkan, karena pada umat yang Nabi diutus kepada mereka terdapat orang yang mampu membaca dan menulis sebagaimana ada pada sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan juga ada pada mereka yang mampu hisab. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah mengutus untuk melaksanakan kewajiban yang membutuhkan hisab (perhitungan). Telah benar berita bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika petugas (zakat) datang membawa shadaqah Ibnu Al Lutbiyah. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menghitungnya. Demikian juga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki beberapa para juru tulis (Katib) seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Zaid dan Mu’awiyah. Mereka menulis wahyu, perjanjian, risalah Beliau kepada orang banyak dan kepada para raja dan penguasa yang didakwahi serta kepada para petugas dan gubernur serta yang lainnya. Demikian juga Allah berfirman:

لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ

Dalam dua ayat [19] yang memberitahukan bahwa hal itu ada untuk mengetahui hisab.

Kata Ummiy pada asalnya dinisbatkan kepada ummah yaitu orang yang tidak memiliki keistimewaan dari yang lainnya berupa membaca atau menulis sebagaimana dikatakan: ‘aami (orang awam) untuk orang umum yang tidak memiliki keistimewaan khusus dari ilmu pengetahuan. Ada juga yang menyatakan bahwa itu dinisbatkan kepada al um, yang maknanya tetap pada kebiasaan yang dibiasakan ibunya berupa pengetahuan dan ilmu serta yang sejenisnya. Kemudian keistimewan yang mengeluarkan dari ummiyah al’ amah (yang umum) kepada al ikhtishosh, terkadang adalah keutamaan dan kesempurnaan. Misalnya, seperti keistimewan mereka dapat membaca Al Qur’an dan memamahi kandungannya. Dan terkadang hanya menjadi sarana mencapai keutamaan dan kesempurnaan. Misalnya, seperti keistimewan mereka dapat menulis dan membaca tulisan, sehingga terpuji pada orang yang menggunakannya untuk kebenaran, dan dicela pada orang yang meninggalkannya atau menggunakannya untuk kejelekan. Orang yang mencukupkan dengan sesuatu yang lebih bermanfaat baginya, maka lebih sempurna dan utama.[20]

Dari sini jelaslah, dari beberapa sisi, maksud umiyah yang terdapat pada hadits tersebut merupakan sifat terpuji dan sempurna. Yaitu dari sisi mencukupkan dari sisi tulisan dan hisab dengan yang lebih jelas dan pasti, yaitu hilal. Sisi yang lain, tulisan dan hisab masih mungkin keliru dan salah. Sehingga dengan demikian jelaslah kesalahan prasangka diatas.

Seandainya hisab lebih baik dan tepat digunakan dalam penentuan awal bulan Ramadhan, tentulah Allah akan menjelaskan atau mengajarkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam atau sahabat Beliau, sehingga dapat digunakan mereka untuk memudahkan penentuan awal bulan Ramadhan.

وَمَاكاَنَ رَبُّكَ نَسِيًّا

Dan tidaklah Rabbmu lupa. [Maryam/19 :64]

Bahkan bila hisab dapat digunakan sama dengan rukyat hilal tentulah akan dijelaskan Allah dan RasulNya.

KESIMPULAN
Semua dalih yang digunakan untuk membenarkan penggunaan hisab sangat lemah. Sehingga, hendaknya kaum muslimin tidak menggunakannya, dan tidak merasa bingung dengan permasalahan ini. Agama Islam telah lengkap, sempurna dan gamblang dalam menjelaskan seluruh syari’atnya.

Demikianlah sedikit penjelasan tentang permasalahan hisab dalam penentuan Ramadhan, mudah-mudahan bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun IX/1425/2004M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Lihat mabhats Menentukan Ramadhan dalam edisi ini.
[2]. Abdullah bin Abdurrahman Al Basaam, Taudhih Al Ahkam Min Bulughul Maram, cetakan kelima tahun 1423H, maktabah Al Asadi, Makkah, KSA hal. 3/450
[3]. ibid
[4]. Lihat ibid.
[5]. Taqiyuddin Ibnu Daqiqil Ied. Ihkaam Al Ahkam Syarhu Umdat Al Ahkaam, Tahqiqi Ahmad Muhammad Syakir, cetakan kedua tahun 1407H, Dar aalam Al Kutub, Bairut. Hal 2/8.
[6]. Fathul Bari, op.cit. hal 4/127.
[7]. Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Syarhu Al Mumti’ ‘Ala Zaad Al Mustaqni’, Tahqiqi Dr. Sulaiman Aba Khail dan Dr. Khalid Al Musaiqih, cetakan pertama tahun 1416, Muassasah Aasaam, KSA. Hal 6/314.
[8]. Majmu’ Fatawa op.cit hal 25/134-135.
[9]. HR Al Bukhari, dalam Shahihnya, kitab Al Shiyaam, no. 1906 (lihat Fathul Bari op.cit hal.4/119) dan Muslim dalam Shahihnya kitab Al Shaum no 2500. Lihat Al Nawawi, Al Minhaaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, tahqiq Al Syaikh Khalil Ma’mun Syaikha, cetakan ketiga tahun 1417, Dar Al Ma’rifah, Bairut hal. 7/190.
[10]. Lihat Ibnu Al Mulaqqin Al Syafi’i, Al I’laam Bi Fawaa’id Umdat Al Ahkam, tahqiq Abdulaziz Ahmad Al Musyaiqih, cetakan pertama tahun 1417 H, Dar Al ‘Ashimah, KSA. Hal 5/173.
[11]. Lihat rubrik mabhas Menentukan Ramadhan.
[12]. Lihat: Majmu’ al-Fatawa op/cit hal. 25/132)
[13]. Al I’lam Bi Fawaid Umdat AL Ahkam op.cit hal 5/176-177.
[14]. Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayaatul Muqtashid, cetakan kesepuluh tahun 1408, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, bairut. Hal 1/284
[15]. Lihat Fathul Bari op.cit hal 4/122. Ibnu Hajar menukil pernyataan Ibnu Abdilbar, bahwa tidak benar (nisbat pendapat ini) kepada Muthorif . juga lihat imam Muhammad bin Ali Al Saukani, Nailul Author min Ahaadits Sayid Al Akhyar Syarh Muntaqa Al Akhbaar, tahqiq Muhammad saalim Haasyim, cetakan pertama tahun 1415H, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, Bairut. Hal 4/204.
[16]. HR Al Bukhari, dalam Shahihnya Kitab Al Shaum, no 1913, lihat Fathul Bari op.cit hal 4/126 dan juga perhatikan komentar Ibnu Hajar tentang kandungan hadits ini diatas.
[17]. Lihat pernyataan beliau dalam mabhas menentukan Ramadhan.
[18]. Majmu’ Fatawa op.cit hal 25/146.
[19]. Yaitu surat al Isra’ ayat 12 dan Yunus ayat 5
[20]. Majmu’ Fatawa op.cit 25/166-167

Shared from Almanhaj.or.id for android http://bit.ly/Almanhaj

Selengkapnya..

Selasa, 09 Mei 2017

Biografi Imam At Tirmidzi

Allah subhanahu wa ta’ala menakdirkan segala kejadian yang ada di alam semesta ini dengan perantara sebab akibat. Seperti halnya jika kita meminta rezeki dari Allah, kita tidak bisa meminta agar Allah ta’ala menurunkan uang atau pun emas langsung turun dari langit. Akan tetapi, kita harus mengambil sebab agar Allah ta’ala memberikan rezekinya untuk kita, yaitu dengan bekerja.

Begitu pula dengan ilmu. Allah ta’ala ingin menghidupkan dan menyebarkan ilmu agama ini untuk seluruh umat manusia dengan dihidupkannya para ulama. Mereka adalah orang-orang pilihan yang telah Allah ta’ala pilih di antara milyaran manusia di muka bumi ini yang bertugas sebagai pewaris para nabi.

Dan di antara para ulama tersebut, yang telah banyak berjasa untuk kaum muslimin adalah Imam Tirmidzi rahimahullahu ta’ala. Beliau adalah salah satu Imam Ahli Hadis terkenal yang memiliki kitab hadis yang monumental yaitu Kitab “Al-Jami’” atau Sunan at-Tirmidzi.

Bagaimanakah biografi beliau? Mari kita simak kisah perjalanan hidup beliau yang mulia. Semoga kita bisa mengambil banyak pelajaran hidup darinya.

Nama Beliau

Salah satu ulama besar yang dimiliki kaum muslimin ini bernama lengkap Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa as-Sulami at-Tirmidzi. Dan beliau memiliki nama kunyah Abu ‘Isa.1

Kelahiran Beliau

Imam ahli hadis ini dilahirkan pada tahun 209 Hijriyah di sebuah daerah bernama Tirmidz. Dan nama beliau tersebut dinisbatkan kepada sebuah sungai yang ada di daerah tersebut yang sering dikenal dengan nama Jaihun. Para ulama berbeda pendapat akan kebutaan yang beliau alami pada waktu itu. Ada yang mengatakan bahwa beliau mengalami kebutaan sejak beliau lahir. Akan tetapi yang benar adalah beliau mengalami kebutaan pada masa tua beliau, yaitu masa setelah beliau banyak melakukan perjalanan untuk menuntut ilmu.2

Kisah perjalanan beliau dalam menuntut ilmu

Pada zaman kita saat ini, sangat jarang kita temukan ada seorang anak muda yang sudah semangat menuntut ilmu agama di umurnya yang masih belia. Biasanya, pada usia yang masih belia, mereka lebih menyukai kebebasan bermain dan beraktivitas. Akan tetapi, dahulu para ulama kita memiliki semangat untuk menuntut ilmu agama sejak usia mereka yang masih muda. Termasuk di antaranya adalah Imam Tirmidzi. Beliau memulai jihadnya dengan belajar agama sejak beliau masih muda. Beliau mengambil ilmu dari para syekh yang ada di negara beliau.3

Kemudian beliau memulai melakukan perjalanan dalam menuntut ilmu ke berbagai negara yang ada di muka bumi ini. Yang mana perjalanan beliau itu hanya ditujukan untuk menimba ilmu agama. Beberapa daerah yang pernah beliau datangi pada saat itu adalah Khurasan, Iraq, Madinah, Mekkah, dan yang lainnya. 4

Guru Beliau
---------------
Bagi seorang penuntut ilmu, tidak bisa hanya mencukupkan diri dengan membaca buku-buku dalam rangka menimba ilmu agama. Karena jika hal tersebut dilakukan, maka kesalahanlah yang akan banyak dia dapat daripada kebenaran. Oleh karena itu para penuntut ilmu itu sangat membutuhkan kehadiran seorang guru dalam perjalanannya menuntut ilmu.

Begitu pula apa yang telah dilakukan oleh Imam Ahli Hadis ini. Berbagai negara telah beliau singgahi, sehingga beliau telah banyak menimba ilmu dari para gurunya. Di antara para guru beliau adalah:

◆ Ishaq bin Rahawaih, yang merupakan guru pertama bagi Imam Tirmidzi.
◆ Imam Bukhari. Imamnya para ahli hadis ini adalah termasuk salah satu imam besar yang mana Imam Tirmidzi mengambil ilmu darinya. Beliau adalah guru yang paling berpengaruh bagi Imam Tirmidzi. Dari beliaulah Imam Tirmidzi mengambil ilmu ‘ilalul hadits.
◆ Imam Muslim. Beliau dan Imam Bukhari adalah dua imam ahli hadis terkenal yang ada di muka bumi ini. Kitab hadis karya mereka berdua adalah kitab yang paling benar setelah Alquran.
◆ Imam Abu Dawud.
◆ Qutaibah bin Sa’id.

Dan masih banyak lagi yang lainnya. 5

Murid-murid beliau
---------------------------
Suatu keutamaan bagi orang yang berilmu adalah dia akan menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang banyak dan keberadaannya sangat dibutuhkan bagi orang-orang yang sadar akan pentingnya ilmu. Setelah beliau menimba ilmu sekian lama dari para gurunya, beliau mengajarkan dan menyebarkan ilmu-ilmunya kepada manusia. Dan di antara muridnya adalah:

◆ bu Bakar Ahmad bin Isma’il as Samarqand
◆ Abu Hamid al Marwazi
◆ Ar Rabi’ bin Hayyan al Bahiliy

Dan masih banyak lagi yang lainnya. 6

Karya-karya emas beliau
----------------
Salah satu hal yang menyebabkan orang berilmu akan selalu terkenang namanya dan terus mengalir pahalanya adalah apabila dia menulis ilmu-ilmunya dalam suatu buku yang akan dibaca oleh manusia hingga akhir zaman. Dan di antara karya-karya beliau yang sampai saat ini dimanfaatkan oleh kaum muslimin terutama para ulama adalah:

◆ Al-Jami’ (Sunan at-Tirmidzi). Kitab yang satu ini adalah kitab beliau yang paling monumental dan paling bermanfaat.
◆ A-‘Ilal.
◆ Al-‘Ilal al-Kabir
◆ Syamail an-Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kitab ini termasuk kitab yang paling bagus yang membahas tentang sifat-sifat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
◆ At Tarikh
◆ Az Zuhd
◆ Al-Asma’ wal-Kuna.7 Dll

Keutamaan beliau dan pujian ulama’ terhadap beliau
---------------------
Beliau adalah seorang ulama yang memiliki banyak keutamaan sehingga para ulama banyak memberikan pujian kepada beliau. Di antara keutamaan beliau dan pujian ulama kepadanya adalah sebagai berikut:

Kitab beliau yang berjudul “Al-Jami’” menunjukkan akan luasnya pengetahuan beliau dalam ilmu hadis, kefaqihan beliau dalam permasalahan fikih, dan juga luasnya wawasan beliau terhadap permasalahan khilafiyah di kalangan para ulama fikih. Akan tetapi beliau cenderung bermudah-mudahan dalam menilai sahih dan hasan suatu hadis.8

Abu Ahmad al-Hakim berkata bahwa beliau pernah mendengar ‘Umar bin ‘Allak berkata, “Tidak ada seorang pun yang bisa menggantikan posisi Imam Bukhari sepeninggal beliau kecuali Abu ‘Isa (Imam Tirmidzi) dalam masalah ilmu, kuatnya hafalan, sifat zuhud dan wara’-nya. Beliau menangis hingga matanya mengalami kebutaan, dan hal tersebut terus berlangsung beberapa tahun hingga beliau wafat.”9

Imam Abu Isma’il ‘Abdullah bin Muhammad al-Anshoriy10 memberikan sebuah rekomendasi yang luar biasa terhadap beliau, di mana beliau pernah mengatakan bahwa Kitab ‘Al-Jami’ milik Imam Tirmidzi lebih besar manfaatnya daripada kitab hadis yang dimiliki Imam Bukhari dan Imam Muslim. Karena kedua kitab tersebut hanya bisa dimanfaatkan oleh orang yang alim yang tinggi ilmunya, sedangkan kitab Al-Jami’ milik beliau bisa dimanfaatkan oleh setiap orang yang membacanya.11 Akan tetapi hal ini semata-mata hanyalah pendapat seorang ulama’ yang mungkin beliau memandangnya dari sudut tertentu.

Abu Sa’d al-Idris mengatakan bahwa beliau adalah seorang imam hadis yang dijadikan teladan dalam masalah hafalan.12

Imam adz-Dzahabi mengatakan dalam kitabnya Siyar A’lam an-Nubala’, “Di dalam kitab tersebut (Al-Jami’), terdapat banyak sekali ilmu yang bermanfaat, faedah yang melimpah, dan juga terdapat pokok-pokok permasalahan dalam Islam. Seandainya saja kitab tersebut tidak dinodai dengan adanya hadis-hadis yang lemah, yang di antaranya adalah hadis palsu dalam permasalahan keutamaan-keutamaan amalan saleh.”13

Jasa-jasa beliau
--------------
Sesungguhnya jasa-jasa yang telah beliau berikan untuk kaum muslimin sangatlah banyak. Dan di antara jasa yang pernah beliau lakukan untuk kaum muslimin adalah pembelaan beliau untuk ahlussunnah wal jama’ah terhadap kelompok-kelompok sesat yang ada pada zaman beliau. Di antara pembelaan tersebut adalah:

Beliau telah menulis sebuah kitab yang monumental yaitu Al-Jami’ yang di dalamnya beliau susun hadis-hadis yang dikhususkan untuk membantah para ahli bid’ah.

Beliau telah menulis sebuah pembahasan yang luas dalam kitab tersebut yang dikhususkan untuk membantah kelompok sesat “Al-Qadariyyah” dan juga bantahan terhadap “Al-Murji’ah” yang beliau beri nama “Kitab al-Iman”.

Beliau juga membuat pembahasan di akhir kitab beliau tersebut yang khusus membahas tentang keutamaan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan dua Imam ahli hadis kita, Imam Bukhari dan Imam Muslim, untuk membantah kaum Syi’ah Rafidhah laknatullahi ‘alaihim.

Di dalam kitab Al-Jami’ tersebut juga terdapat banyak sekali hadis yang membantah pemahaman Khawarij, Murji’ah, dan Qadariyyah. Dan beliau mengkhususkan pada “Kitab al-Qadr” untuk membantah pemahaman Qadariyyah yang mendustakan takdir Allah.14

Pelajaran yang dapat kita petik dari kisah perjalanan hidup beliau

Jihad itu tidak hanya identik dengan pedang, akan tetapi jihad itu bisa dilakukan dengan ilmu, yaitu berjihad memerangi kebodohan. Seperti apa yang dilakukan oleh para ulama.

Lahirkan penerus generasi pembela Islam dan bangsa ini dengan mendidik anak-anak kita untuk semangat menuntut ilmu agama sejak kecil.

Hargailah, hormatilah, dan doakanlah kebaikan untuk para ulama kita yang telah berjuang dalam mendapatkan ilmu agama dan memberikannya untuk kaum muslimin dalam rangka membela agama ini dan meneruskan perjuangan-perjuangan para nabi dalam menyebarkan ilmu agama.

Mempelajari suatu ilmu terutama ilmu agama membutuhkan adanya seorang guru yang bisa memahamkan penuntut ilmu tersebut. Karena apabila hanya mencukupkan diri dengan membaca buku maka hal itu dapat menyebabkan orang yang melakukannya terjatuh dalam kesalahan karena salahnya pemahaman mereka ketika mengkaji ilmu itu secara autodidak.

Belajar agama adalah suatu hal yang sangat penting bagi kita dan sangat menentukan masa depan kita di kampung yang kekal nanti. Maka dari itu, kita harus mempelajarinya dari seseorang yang benar-benar berilmu. Sehingga kita tidak boleh sembarangan mengambil ilmu agama dari seseorang. Patokannya adalah ketakwaannya dan kapasitas ilmu agamanya, bukan kemahirannya dalam menyampaikan dan melawak.

Jadilah orang yang bermanfaat untuk manusia, dengan menyebarkan ilmu yang bermanfaat untuk mereka melalui lisan dan tulisan.

Berhati-hatilah dengan aliran-aliran menyimpang yang selalu gencar memberikan syubhat dan doktrinnya kepada masyarakat awam. Oleh karena itu, Mari kita bentengi diri kita dari pengaruh-pengaruh tersebut dengan pemahaman akidah yang benar dan lurus. Tidak ada cara lain kecuali dengan terus membekali diri kita dengan ilmu agama yang benar, yang bersumber dari Alquran dan sunah yang dipahami oleh para sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum ajma’in.

Dan tentunya, masih banyak hikmah dan pelajaran yang bisa kita petik dari biografi beliau tersebut, yang diharapkan bisa kita terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Demikianlah, biografi singkat salah satu ulama kita, Imam Tirmidzi, yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi kami pribadi dan para pembaca sekalian. Dan semoga Allah ‘azza wa jalla senantiasa memberikan kita taufik agar kita bisa mengilmui apa yang akan kita amalkan dan mengamalkan apa yang telah kita ilmui. Amin.

Wallahu a’lam bish shawab.

***

Catatan kaki:
------------------
Lihat Jami’ al-Ushul, hal. 193
Lihat Siyar, hal. 271/25
Lihat Syarh ‘Ilal at-Tirmidzi, hal. 43/1
Lihat Siyar, hal 271/25
Lihat Siyar, hal 272/25
Lihat Siyar, hal 273/25
Lihat Juhud al-Imam al-Mubarakfuri, hal. 38/1
Lihat Tarikh, hal. 617/6
Lihat Tarikh, hal. 617/6 dan Siyar, hal. 274/25
Biografi beliau bisa dilihat di kitab Thabaqat al-Hanabilah, hal. 245/2
Lihat Tarikh, hal. 617/6
Lihat Siyar, hal. 274/25
Lihat Siyar, hal. 275/25
Lihat Mausu’ah, hal. 388-392/4

Referensi:
-------
Jami’ al-Ushul fi Ahadits ar-Rasul, Ibnul Atsir. Tahqiq: Syekh Abdul Qadir al-Arnauth. Maktabah Syamilah.

Juhudul Imam al-Mubarakfuri fi ad-Dirasah al-Qur’aniyyah min Khilal Kitabihi Tuhfah al-Ahwadz, Syekh Muhsin Abdul Adzim as-Syadzili. Maktabah Syamilah.

Mausu’ah Mawaqif as-Salaf fi al-Aqidah wa al-Manhaj wa at-Tarbiyyah, Abu Sahl Muhammad bin Abdirrahman al-Maghrawy. Maktabah Syamilah.

Siyar A’lam an-Nubala’, Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabi. Tahqiq: Syekh Syua’ib al-Arnauth. Maktabah Syamilah.

Syarhu ‘Ilal at-Tirmidzi, Ibnu Rajab al-Hambali. Tahqiq: Dr. Hammam Abdurrahim Sa’id. Maktabah Syamilah.

Tarikh al-Islam wa Wafayah al-Masyahiri wa al-A’lam, Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabi. Tahqiq: Dr. Basyar ‘Awwad Ma’ruf. Maktabah Syamilah

Thabaqah al-Hanabilah, Abul Husein bin Abi Ya’la. Tahqiq: Syekh Muhammad Hamid al-Fiqqi. Maktabah Syamilah.

***

Penulis: Winning Son Ashari
Murajaah: Ust. Misbahuzzulam, M.H.I
Artikel Muslim.Or.Id


Dikirim dari aplikasi android muslim.or.id http://bit.ly/MuslimOrid

Selengkapnya..

Biografi Imam Al-Baihaqi

Imam Al Baihaqi adalah seorang ulama ahli fiqh, ushul fiqh, hadist, dan salah seorang ulama besar mazhab Syafi’i. Beliaulah penulis kitab Sunan Al Baihaqi yang terkenal itu.

Nama Beliau
-------------------
Imam Al-Baihaqi bernama lengkap Imam Al-Hafizh Al-Muttaqin Abu Bakar Ahmad bin Al-Husain bin Ali bin Musa Al-Khusrauijrdi Al-Khurasani Al-Baihaqi. Baihaq adalah sejumlah perkampungan di wilayah Naisabur. Beliau adalah seorang ulama besar dari Khurasan (desa kecil di pinggiran kota Baihaq) dan penulis banyak kitab terkenal.

Kelahiran Beliau
-----------------------
Al-Baihaqi lahir di bulan Sya’ban tahun 384 H yang bertepatan dengan bulan September 994 Masehi1. Lahir di desa Khusraujirdi, termasuk daerah Baihaq, Naisabur.

Perjalanan Menuntut Ilmu
------------------------------
Imam Al-Baihaqi hidup pada masa Daulah Al-‘Abbasiyah. Beliau mengembara mencari ilmu ke Khurasan, Irak, dan Hijaz. Dalam Siyar A’lam An-Nubala, Imam Adz-Dzahabi bercerita tentang perjalanan Imam Al-Baihaqi dalam menuntut ilmu. Beliau mengatakan bahwa Imam Al-Baihaqi ketika berusia 15 tahun telah mendengar dari Abu Al-Hasan Muhammad bin Al-Husain Al-Alawi, sahabat dari Abu Hamid bin Asy-Syarqi dan beliau adalah guru yang paling dahulu bagi Imam Al-Baihaqi. Beliau luput dari menyimak secara langsung dari Abu Nu’aim Al-Isfarayini, sahabat Abu ‘Uwanah, dan meriwayatkan darinya secara ijazah mengenai jual beli. Beliau juga mendengar dari Imam Al-Hakim Abu Abdillah Al-Hafizh lalu memperbanyak riwayat darinya dan lulus darinya.2

Guru Beliau
-------------------
Beliau berguru kepada ulama-ulama terkenal dari berbagai negara. Beliau harus menempuh perjalanan panjang dan melelahkan untuk bisa menghadiri majelis ilmu tersebut. Di antara guru-gurunya adalah sebagai berikut:

◆ Imam Abul Hassan Muhammad bin Al-Husain Al-Alawi
◆ Abu Abdillah Al-Hakim, pengarang kitab Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain
◆ Abu Tahir Az-Ziyadi
◆ Abu Abdur-Rahman Al-Sulami
◆ Abu Bakr bin Furik
◆ Abu Ali Al-Ruthabari
◆ Hilal bin Muhammad Al-Hafar
◆ Ibnu Busran
◆ Al-Hasan bin Ahmad bin Farras
◆ Ibnu Ya’qub Al-Ilyadi, dll.

Murid-Murid Beliau
------------------------------
Dalam kitab Siyar A’lamin Nubala (18/169), Imam Adz-Dzahabi mengatakan bahwa di antara perawi yang meriwayatkan dari beliau adalah:

◆ Syaikhul Islam Abu Ismail Al-Anshari dengan ijazah
◆ Putranya sendiri: Ismail bin Ahmad bin Al-Husain
◆ Cucu beliau: Abu Al-Hasan bin Ubaidillah bin Muhammad bin Ahmad
◆ Abu Zakariya Yahya bin Mandah Al-Hafidz
◆ Abu Ma’ali Muhammad bin Ismail Al-Farisi
◆ Abdul Jabbar bin Abdul Wahhab Ad-Dahhan
◆ Abdul Jabbar bin Muhammad Al-Khuwairi
◆ Abdul Hamid bin Muhammad Al-Khuwairi
◆ Abu Bakar Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman Al-Bahiri, dll.

Pujian Ulama Kepada Beliau
------------------------
Imam Al-Haramain mengatakan, “Tidak ada satu pengikut Asy-Syafi’i pun melainkan Asy-Syafi’i memiliki jasa kepadanya, kecuali Al-Baihaqi, karena dia berjasa kepada Asy-Syafi’i berkat karya-karyanya yang berisikan pembelaan terhadap mazhabnya dan pendapat-pendapatnya.”3

At-Taj As-Subki mengatakan, “Imam Al-Baihaqi adalah salah satu imam kaum muslimin dan penyeru kepada tali Allah yang kukuh. Beliau adalah penghafal besar, ahli ushul yang tiada bandingnya, zuhud, wara’, taat kepada Allah, membela mazhab, baik ushul maupun furu’-nya, salah satu bukit ilmu.”4

Abdul-Ghaffar Al-Farsi Al-Naisaburi dalam bukunya “Dzail Tarikh Naisaburi” memuji imam Al-Baihaqi setinggi langit dengan mengatakan, “Abu Bakr Al-Baihaqi Al-Faqih Al-Hafizh Al-Ushuli Ad-Din Al-Wari’, orang nomor satu pada zamannya dalam hal hafalan, orang yang tiada bandingannya di antara para sejawatnya dalam hal kesempurnaan dan ketelitian, salah satu pemuka murid Al-Hakim, dan dia mengunggulinya dengan berbagai macam ilmu. Beliau menulis hadis, menghafalkannya semenjak kecil, mendalaminya, serta menguasainya. Beliau mengambil ilmu ushul dan melakukan perjalanan menuntu ilmu ke Irak, daerah berbukit dan Hijaz, kemudian menulis karya ilmiah. Karyanya hampir mencapai seribu juz, yang belum pernah didahului oleh seorang pun sebelumnya. Beliau menghimpun ilmu hadis dan fikih, menjelaskan tentang ‘illat hadis dan meninjau tentang perbedaan-perbedaan hadis-hadis. Para ulama meminta beliau untuk berpindah dari daerah An-Nahiyah ke Naisabur untuk mendengar kitab-kitabnya. Beliau pun datang padatahun 314 H, lalu mereka bermajelis untuk mendengarkan kitab Al-Ma’rifah dan para ulama menghadirinya. Dia mengikuti jalan ulama, merasa puasdengan yang sedikit.”5

Imam Adz-Dzahabi pun memuji beliau dengan mengatakan, “Seandainya Al-Baihaqi mau membuat madzhab untuk dirinya di mana dia berijtihad, niscaya dia mampu melakukannya karena keluasan ilmu dan pengetahuannya tentang perselisihan ulama. Karena itu, kalian melihatnya membela permasalahan-permasalahan yang didukung oleh hadis sahih.”6

Akhlak Beliau
--------------------
Ibnu ‘Asakir berkata, Syekh Abu Al-Hasan Al-Farisi berkata, “Al-Baihaqi berjalan di jalan para ulama, qana’ah terhadap yang sedikit, dihiasi dengan zuhud dan wara’,serta tetap seperti demikian sampai meninggal.”7

Ibnu Katsir berbicara tentang akhlak beliau, “Al-Baihaqi adalah orang yang zuhud dan menerima sesuatu yang sederhana, banyak beribadah dan wara’.”8

Karya Beliau
-----------------
Sejumlah kitab penting telah ditulisnya dan mempunyai nilai tinggi di sisi para ulama-ulama setelahnya. Bahkan ada yang berpendapat bahwa karyanya mencapai seribu jilid9. Kitab-kitab karangan beliau pun mempunyai keistimewaan dibandingkan yang lainnya, karena diurutkan dengan urutan yang begitu teliti dan cermat dan tidak ada yang seperti beliau. Karena itu tidak ada yang seperti beliau sebelumnya (10). Di antara karya beliau:

◆ Kitab As-Sunan Al-Kubra dalam 10 jilid
◆ Kitab Syu’ab Al-Iman dalam 2 jilid
◆ Kitab Dala’il An-Nubuwwah dalam 4 jilid
◆ Kitab Al-Asma wa Ash-Shifat dalam 2 jilid
◆ Kitab Ahkam Al-Qur’an dalam 2 jilid
◆ Kitab Takhrij Ahadits Al-Umm
◆ Kitab Al-Ma’rifat fi As-Sunan wa Al-Atsar dalam 4 jilid
◆ Kitab Al-Mu’taqad dalam 1 jilid
◆ Kitab Al-Ba’tswa An-Nusyur dalam 1 jilid
◆ Kitab At-Targhib wa At-Tarhib dalam 1 jilid
◆ Kitab Nushus Asy-Syafi’i dalam 2 jilid
◆ Kitab As-Sunan Ash-Shaghir dalam 1 jilid besar
◆ Kitab Al-Madkhal ila As-Sunan dalam 1 jilid
◆ Kitab Fadhail Al-Auqat dalam 2 jilid
◆ Kitab Manaqib Asy-Syafi’i dalam 1 jilid dan masih banyak lagi yang lainnya.

Meninggalnya Beliau
-----------------------
Imam al-Baihaqi meninggal pada hari Sabtu di Naisabur, Iran, tanggal 10 Jumadil Ula 458 H (9 April 1066 M). Dia lantas dibawa ke tanah kelahirannya yaitu Baihaq dan dimakamkan di sana. Beliau hidup selama 74 tahun.

**

Daftar Pustaka:
---------------------
◇ Al-Baihaqi wa Mauqifuhu min Al-Ilahiyyat. DR. Ahmad Al-Ghamidi.
◇ Al-Madkhal ila As-Sunan Al-Kubra. Imam Al-Baihaqi. Adhwa As-Salaf.
◇ Siyar A’lam An-Nubala. Imam Adz-Dzahabi. Dar al-Kutub Al-‘Ilmiyyah.
◇ Tadzkirah Al-Huffadz. Imam adz-Dzahabi. Dar al-Kutub Al-‘Ilmiyyah.
◇ Thabaqat Asy-Syafi’iyyah. Taajuddin as-Subki. DarIhyaKutub Al-‘Arabiyyah.
◇ Min A’lami As-Salaf. Syekh Ahmad Farid. Dar Al-‘Aqidah.

Catatan Kaki
--------------------
1 Al-Madkhal ila As-Sunan Al-Kubra hal. 18 oleh Imam Al-Baihaqi.
2 Siyar A’lam An-Nubala (18/164) oleh Imam Adz-Dzahabi
3 Thabaqat Asy-Syafi’iyyah (4/10) oleh Tajuddin As-Subki
4 Thabaqat Asy-Syafi’iyyah (4/8) oleh Tajuddin As-Subki
5 Tadzkirah Al-Huffadz (3/1133 oleh Imam Adz-Dzahabi
6 Siyar A’lam An-Nubala (18/169) oleh Imam Adz-Dzahabi
7 Tabyinu Kadzib Al-Muftar hal. 266. Lihat Al-Madkhal ila As-Sunan Al-Kubra hal. 20
8 Al-Bidayahwa An-Nihayah (912/94) oleh Imam IbnuKatsir. Lihat Al-Madkhalila As-Sunan Al-Kubra hal.20
9 Thabaqat Al-Huffadz, hal. 434 oleh Imam As-Suyuthi
10 Al-Bidayah wa An-Nihayah (12/94) oleh Ibnu Katsir. Lihat juga Mukhtashar Thabaqat Al-Muhadditsin hal. 200 oleh Ibnu ‘Abdil Hadi



Penulis: Afwan Awwab
Murajaah: Ust. Misbahuz Zulam, Lc, M.H.I
Artikel Muslim.Or.Id


Dikirim dari aplikasi android muslim.or.id http://bit.ly/MuslimOrid

Selengkapnya..

Biografi Imam Muslim

Kita semua tentu mengetahui bahwa sumber hukum utama dalam Islam adalah Al Qur’an dan hadits Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam. Tentang Al Qur’an, tentu tidak perlu diragukan lagi kebenaran dan keontetikannya. Namun berkaitan dengan hadits Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam, banyak sekali upaya dari musuh-musuh Islam serta orang-orang munafik yang ingin merancukan ajaran Islam dengan membuat hadits palsu, yaitu hadits yang diklaim sebagai ucapan Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam padahal sebenarnya bukan. Seperti Abdul Karim bin Abi Auja’, ia mengaku perbuatannya sebelum ia dihukum mati dengan berkata: “Demi Allah, aku telah memalsukan hadits sebanyak 4000 hadits. Saya halalkan yang haram dan saya haramkan yang halal”. Namun alhamdulillah, Allah Ta’ala menjaga kemurnian agama-Nya dengan memunculkan para ulama pakar hadits yang berupaya memisahkan hadits shahih dengan hadits lemah dan palsu. Dan upaya ini bukanlah pekerjaan yang mudah dan selesai dalam sekejap. Bahkan memerlukan penelitian yang panjang, ketelitian yang tajam, kecerdasan akal yang tinggi, hafalan yang kokoh, serta pemahaman yang mantap terhadap Al Qur’an dan hadits. Maka seorang muslim yang memahami hal ini sepatutnya ia menghargai dan bahkan kagum atas jasa para pakar hadits umat Islam yang telah memberikan kontribusi besar bagi agama ini.

Dan diantara para ulama pakar hadits yang telah diakui kemampuannya dan sangat besar jasanya, ada satu nama yang sudah cukup dikenal oleh kita semua yaitu Imam Muslim dengan kitab haditsnya yang terkenal yaitu Kitab Shahih Muslim. Kitab Shahih Muslim dikatakan oleh Imam An Nawawi sebagai salah satu kitab yang paling shahih -setelah Al Qur’an- yang pernah ada. Sampai-sampai ketika seseorang menuliskan hadits yang ada di kitab tersebut, atau dengan tanda pada akhir hadits berupa perkataan: “Hadits riwayat Muslim”, orang yang membaca merasa tidak perlu mengecek kembali atau meragukan keshahihan hadits tersebut. Subhanallah. Oleh karena itu, patutlah kita sebagai seorang muslim untuk mengenal lebih dalam sosok mulia di balik kitab tersebut, yaitu Imam Muslim, semoga Allah merahmati beliau.

Nasab dan Kelahiran Imam Muslim

Nama lengkap beliau adalah Abul Hasan Muslim bin Hajjaj bin Muslim bin Warad bin Kausyaz Al Qusyairi An Naisaburi. Al Qusyairi di sini merupakan nisbah terhadap nasab (silsilah keturunan) dan An Naisaburi merupakan nisbah terhadap tempat kelahiran beliau, yaitu kota Naisabur, bagian dari Persia yang sekarang manjadi bagian dari negara Rusia. Tentang Al Qusyairi, seorang pakar sejarah,  ‘Izzuddin Ibnu Atsir, dalam kitab Al Lubab Fi Tahzibil Ansab (37/3) berkata: “Al Qusyairi adalah nisbah terhadap keturunan Qusyair bin Ka’ab bin Rabi’ah bin ‘Amir bin Sha’sha’ah, yang merupakan sebuah kabilah besar. Banyak para ulama yang menisbahkan diri padanya”.

Para ahli sejarah Islam berbeda pendapat mengenai waktu lahir dan wafat Imam Muslim. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Taqribut Tahdzib (529), Ibnu Katsir dalam Al Bidayah Wan Nihayah (35-34/11), Al Khazraji dalam Khulashoh Tahdzibul Kamal mengatakan bahwa Imam Muslim dilahirkan pada tahun 204 H dan wafat pada tahun 261 H. Namun pendapat yang paling kuat adalah bahwa beliau dilahirkan pada tahun 206 H dan wafat pada tahun 261 H di Naisabur, sehingga usia beliau pada saat wafat adalah 55 tahun. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Abu Abdillah Al Hakim An Naisaburi dalam kitab Ulama Al Amshar, juga disetujui An Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (123/1).

Perjalanan Imam Muslim Dalam Belajar Hadits

Imam Muslim tumbuh sebagai remaja yang giat belajar agama. Bahkan saat usianya masih sangat muda beliau sudah menekuni ilmu hadits. Dalam kitab Siyar ‘Alamin Nubala (558/12), pakar hadits dan sejarah, Adz Dzahabi, menuturkan bahwa Imam Muslim mulai belajar hadits sejak tahun 218 H. Berarti usia beliau ketika itu adalah 12 tahun. Beliau melanglang buana ke beberapa Negara dalam rangka menuntut ilmu hadits dari mulai Irak, kemudian ke Hijaz, Syam, Mesir dan negara lainnya. Dalam Tahdzibut Tahdzib diceritakan bahwa Imam Muslim paling banyak mendapatkan ilmu tentang hadits dari 10 orang guru yaitu:

Abu Bakar bin Abi Syaibah, beliau belajar 1540 hadits.Abu Khaitsamah Zuhair bin Harab, beliau belajar 1281 hadits.Muhammad Ibnul Mutsanna yang dijuluki Az Zaman, beliau belajar 772 hadits.Qutaibah bin Sa’id, beliau belajar 668 hadits.Muhammad bin Abdillah bin Numair, beliau belajar 573 hadits.Abu Kuraib Muhammad Ibnul ‘Ila, beliau belajar 556 hadits.Muhammad bin Basyar Al Muqallab yang dijuluki Bundaar, beliau belajar 460 hadits.Muhammad bin Raafi’ An Naisaburi, beliau belajar 362 hadits.Muhammad bin Hatim Al Muqallab yang dijuluki As Samin, beliau belajar 300 hadits.‘Ali bin Hajar As Sa’di, beliau belajar 188 hadits.

Sembilan dari sepuluh nama guru Imam Muslim tersebut, juga merupakan guru Imam Al Bukhari dalam mengambil hadits, karena Muhammad bin Hatim tidak termasuk. Perlu diketahui, Imam Muslim pun sempat berguru ilmu hadits kepada Imam Al Bukhari. Ibnu Shalah dalam kitab Ulumul Hadits berkata: “Imam Muslim memang belajar pada Imam Bukhari dan banyak mendapatkan faedah ilmu darinya. Namun banyak guru dari Imam Muslim yang juga merupakan guru dari Imam Bukhari”. Hal inilah yang menjadi salah satu sebab Imam Muslim tidak meriwayatkan hadits dari Imam Al Bukhari.

Ada Apa Antara Al Bukhari dan Muslim?

Imam Al Bukhari adalah salah satu guru dari Imam Muslim yang paling menonjol. Dari beliau, Imam Muslim mendapatkan banyak pengetahuan tentang ilmu hadits serta metodologi dalam memeriksa keshahihan hadits. Al Hafidz Abu Bakar Al Khatib Al Baghdadi dalam kitabnya Tarikh Al Baghdadi sampai menceritakan: “Muslim telah mengikuti jejak Al Bukhari, mengembangkan ilmunya dan mengikuti metodologinya. Ketika Al Bukhari datang ke Naisabur di masa akhir hidupnya. Imam Muslim belajar dengan intens kepadanya dan selalu membersamainya”. Hubungan beliau berdua pun dijelaskan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Syarah Nukhbatul Fikr, beliau berkata: “Para ulama bersepakat bahwa Al Bukhari lebih utama dari Muslim, dan Al Bukhari lebih dikenal kemampuannya dalam pembelaan hadits. Karena Muslim adalah murid dan hasil didikan Al Bukhari. Muslim banyak mengambil ilmu dari Al Bukhari dan mengikuti jejaknya, sampai-sampai Ad Daruquthni berkata: ‘Seandainya tidak ada Al Bukhari, niscaya tidak ada Muslim’ ”.

Lalu apa yang menyebabkan Imam Muslim tidak meriwayatkan hadits dari Imam Bukhari? Sehingga dalam Shahih Muslim tidak ada hadits yang sanadnya dimulai dengan “ ‘An Al Bukhari…(Diriwayatkan dari Al Bukhari)”. Dijawab oleh Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad hafizhahullah, beliau menuturkan: “Walau Imam Muslim merupakan murid dari Imam Al Bukhari dan Imam Muslim mendapatkan banyak ilmu dari beliau, Imam Muslim tidak meriwayatkan satu pun hadits dari Imam Al Bukhari. Wallahu Ta’ala A’lam, ini dikarenakan oleh dua hal:

Imam Muslim menginginkan uluwul isnad (sanad yang tinggi derajatnya). Imam Muslim memiliki banyak guru yang sama dengan guru Imam Al Bukhari. Jika Imam Muslim meriwayatkan dari Al Bukhari, maka sanad akan bertambah panjang karena bertambah satu orang rawi yaitu (Al Bukhari). Imam Muslim menginginkan uluwul isnad dan sanad yang dekat jalurnya dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sehingga beliau meriwayatkan langsung dari guru-gurunya yang juga menjadi guru Imam Al BukhariImam Muslim merasa prihatin dengan sebagian ulama yang mencampur-adukkan hadits-hadits lemah dengan hadits-hadits shahih tanpa membedakannya. Maka beliau pun mengerahkan daya upaya untuk memisahkan hadits shahih dengan yang lain, sebagaimana beliau utarakan di Muqaddimah Shahih Muslim. Jika demikian, maka sebagian hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari telah dianggap cukup dan tidak perlu diulang lagi. Karena Al Bukhari juga sangat perhatian dalam mengumpulkan hadits-hadits shahih dengan ketelitian yang tajam dan pengecekan yang berulang-ulang”

Murid-Murid Imam Muslim

Banyak ulama besar yang merupakan murid dari Imam Muslim dalam ilmu hadits, sebagaimana di ceritakan dalam Tahdzibut Tahdzib. Diantaranya adalah Abu Hatim Ar Razi, Abul Fadhl Ahmad bin Salamah, Ibrahim bin Abi Thalib, Abu ‘Amr Al Khoffaf, Husain bin Muhammad Al Qabani, Abu ‘Amr Ahmad Ibnul Mubarak Al Mustamli, Al Hafidz Shalih bin Muhammad, ‘Ali bin Hasan Al Hilali, Muhammad bin Abdil Wahhab Al Faraa’, Ali Ibnul Husain Ibnul Junaid, Ibnu Khuzaimah, dll.

Selain itu, sebagian ulama memasukkan Abu ‘Isa Muhammad At Tirmidzi dalam jajaran murid Imam Muslim, karena terdapat sebuah hadits dalam Sunan At Tirmidzi:

حدثنا مسلم بن حجاج حدثنا يحي بن يحي حدثنا أبو معاوية عن محمد بن عمرو عن أبي سلمة عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:” أحصوا هلال شعبان لرمضان”

Muslim bin Hajjaj menuturkan kepada kami: Yahya bin Yahya menuturkan kepada kami: Abu Mu’awiyah menuturkan kepada kami: Dari Muhammad bin ‘Amr: Dari Abu Salamah: Dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Untuk menentukan datangnya Ramadhan, hitunglah hilal bulan Sya’ban”.

Dalam hadits tersebut nampak bahwa At Tirmidzi meriwayatkan dari Imam Muslim. Terdapat penjelasan Al Iraqi dalam Tuhfatul Ahwadzi Bi Syarhi Jami’ At Tirmidzi: “At Tirmidzi tidak pernah meriwayatkan hadits dari Muslim kecuali hadits ini. Karena mereka berdua memiliki guru-guru yang sama sebagian besarnya”.

Karya Tulis Imam Muslim

Imam An Nawawi menceritakan dalam Tahdzibul Asma Wal Lughat bahwa Imam Muslim memiliki banyak karya tulis, diantaranya:

Kitab Shahih Muslim (sudah dicetak)Kitab Al Musnad Al Kabir ‘Ala Asma Ar RijalKitab Jami’ Al Kabir ‘Ala Al Abwab4. Kitab Al ‘IlalKitab Auhamul MuhadditsinKitab At Tamyiz (sudah dicetak)Kitab Man Laisa Lahu Illa Rawin WahidinKitab Thabaqat At Tabi’in (sudah dicetak)Kitab Al Muhadramain

Kemudian Adz Dzahabi pun menambahkan dalam Tahdzibut Tahdzib bahwa Imam Muslim juga memiliki karya tulis lain yaitu:

Kitab Al Asma Wal Kuna (sudah dicetak)Kitab Al AfradKitab Al AqranKitab Sualaat Ahmad bin HambalKitab Hadits ‘Amr bin Syu’aibKitab Al Intifa’ bi Uhubis Siba’Kitab Masyaikh MalikKitab Masyaikh Ats TsauriKitab Masyaikh Syu’bahKitab Aulad Ash ShahabahKitab Afrad Asy Syamiyyin

Mata Pencaharian Imam Muslim

Imam Muslim termasuk diantara para ulama yang menghidupi diri dengan berdagang. Beliau adalah seorang pedagang pakaian yang sukses. Meski demikian, beliau tetap dikenal sebagai sosok yang dermawan. Beliau juga memiliki sawah-sawah di daerah Ustu yang menjadi sumber penghasilan keduanya. Tentang mata pencaharian beliau diceritakan oleh Al Hakim dalam Siyar ‘Alamin Nubala (570/12): “Tempat Imam Muslim berdagang adalah Khan Mahmasy. Dan mata pencahariannya beliau di dapat dari usahanya di Ustu[1]”. Dalam Tahdzibut Tahdzib hal ini pula diceritakan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab Al Farra: “Muslim Ibnul Hajjaj adalah salah satu ulama besar…. Dan ia adalah seorang pedagang pakaian”. Dalam kitab Al ‘Ubar fi Khabar min Ghabar (29/2) terdapat penjelasan: “Imam Muslim adalah seorang pedagang. Dan ia terkenal sebagai dermawan di Naisabur. Ia memiliki banyak budak dan harta”.

Karakter Fisik Imam Muslim

Terdapat beberapa riwayat yang menceritakan karakter fisik Imam Muslim. Dalam Siyar ‘Alamin Nubala (566/12) terdapat riwayat dari Abu Abdirrahman As Salami, ia berkata: “Aku melihat seorang syaikh yang tampan wajahnya. Ia memakai rida[2] yang bagus. Ia memakai imamah[3] yang dijulurkan di kedua pundaknya. Lalu ada orang yang mengatakan: ‘Ini Muslim’ ”. Juga diceritakan dari Siyar ‘Alamin Nubala (570/12), bahwa Al Hakim mendengar ayahnya berkata: “Aku pernah melihat Muslim Ibnul Hajjaj sedang bercakap-cakap di Khan Mahmasy. Ia memiliki perawakan yang sempurna dan kepalanya putih. Janggutnya memanjang ke bawah di sisi imamah-nya yang terjulur di kedua pundaknya”.

Aqidah Imam Muslim

Imam Muslim adalah ulama besar yang memiliki aqidah ahlussunnah, sebagaimana aqidah generasi salafus shalih. Dengan kata lain Imam Muslim adalah seorang salafy. Aqidah beliau ini nampak pada beberapa hal:

Perkataan Imam Muslim di muqaddimah Shahih Muslim (6/1) : “Ketahuilah wahai pembaca, semoga Allah memberi anda taufik, wajib bagi setiap orang untuk membedakan hadits shahih dengan hadits yang lemah. Juga wajib mengetahui tingkat kejujuran rawi, yang sebagian mereka diragukan kredibilitasnya. Tidak boleh mengambil riwayat kecuali dari orang yang diketahui bagus kredibilitasnya dan hafalannya. Serta patut untuk berhati-hati dari orang-orang yang buruk kredibilitasnya, yang berasal dari tokoh kesesatan dan ahli bid’ah”. Diceritakan pula di dalam Syiar ‘Alamin Nubala (568/12) bahwa Al Makki berkata: “Aku bertanya kepada Muslim tentang Ali bin Ju’d. Muslim berkata: ‘Ia tsiqah, namun ia berpemahaman Jahmiyyah’”. Hal ini menunjukkan Imam Muslim sangat membenci paham sesat dan bid’ah semisal paham Jahmiyyah, serta tidak mengambil riwayat dari tokoh-tokohnya. Dan demikianlah aqidah ahlussunnah.Imam Muslim memulai kitab Shahih Muslim dengan Bab Iman, dan dalam bab tersebut beliau memasukkan hadits-hadits yang menetapkan aqidah Ahlussunnah dalam banyak permasalahan, seperti hadits-hadits yang membantah Qadariyyah, Murji’ah, Khawarij, Jahmiyyah, dan semacam mereka, beliau juga ber-hujjah dengan hadits ahad, terdapat juga bab khusus yang berisi hadits-hadits tentang takdir.Judul-judul bab pada Shahih Muslim seluruhnya sejalan dengan manhaj Ahlussunnah dan merupakan bencana bagi ahlul bid’ah.Abu Utsman Ash Shabuni dalam kitabnya, I’tiqad Ahlissunnah Wa Ash-habil Hadits halaman 121 – 123, yaitu diakhir-akhir kitabnya, beliau menyebutkan nama-nama imam Ahlussunnah Wal Jama’ah dan beliau menyebutkan di antaranya Imam Muslim Ibnul Hajjaj.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitab Dar’u Ta’arudh il ‘Aql Wan Naql (36/7) berkata: “Para tokoh filsafat dan ahli bid’ah, pengetahuan mereka tentang hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam serta atsar para sahabat dan tabi’in sangatlah sedikit. Sebab jika memang diantara mereka ada orang yang memahami sunah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam serta atsar para sahabat dan tabi’in serta tidak berprasangka baik pada hal-hal yang menentang sunah, tentulah ia tidak akan bergabung bersama mereka, seperti sikap yang ditempuh para ahlul hadits. Lebih lagi jika ia mengetahui rusaknya pemahaman filsafat dan bid’ah tersebut, sebagaimana para imam Ahlussunnah mengetahuinya. Dan biasanya kerusakan pemahaman mereka tersebut tidak diketahui selain oleh para imam sunah seperti Malik (kemudian disebutkan nama-nama beberapa imam)… dan juga Muslim Ibnul Hajjaj An Naisaburi, dan para imam yang lainnya, tidak ada yang dapat menghitung jumlahnya kecuali Allah, merekalah pewaris para nabi dan penerus tugas Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam”Adz Dzahabi dalam kitab Al ‘Uluw (1184/2) menyebutkan: “Diantara deretan ulama yang berkeyakinan tidak bolehnya menta’wilkan sifat-sifat Allah dan mereka beriman dengan sifat Al ‘Uluw di masa itu adalah (disebutkan nama-nama beberapa ulama)… dan juga Al Imam Al Hujjah Muslim Ibnul Hajjaj Al Qusyairi yang menulis kitab Shahih Muslim.”Al ‘Allamah Muhammad As Safarini dalam kitab Lawami’ul Anwaril Bahiyyah Wa Sawati’ul Asrar Al Atsariyyah (22/1) ketika menyebutkan nama-nama para ulama ahlussunnah ia menyebutkan: “…Muslim, Abu Dawud, ….”. Kemudian beliau berkata: “dan yang lainnya, mereka semua memiliki aqidah yang sama yaitu aqidah salafiyyah atsariyyah”.Dalam Majmu’ Fatawa (39/20) diceritakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ditanya seseorang: “Apakah Al Bukhari, Muslim, … (disebutkan beberapa nama ulama) termasuk ulama mujtahidin yang tidak taklid ataukah mereka termasuk orang-orang yang taklid pada imam tertentu? Apakah diantara mereka ada yang menisbatkan diri kepada mazhab Hanafi?”. Syaikhul Islam menjawab panjang lebar, dan pada akhir jawabannya beliau berkata: “Mereka semua adalah para pengagung sunnah dan pengagung hadits”.Lebih menegaskan beberapa bukti diatas, bahwa Imam Muslim adalah hasil didikan dari para ulama Ahlussunnah seperti Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih, Imam Al Bukhari, Abu Zur’ah, dan yang lainnya. Dan telah diketahui bagaimana peran mereka dalam memperjuangkan sunah, dan sikap keras mereka terhadap ahli bid’ah, sampai-sampai ahli bi’dah tidak mendapat tempat di majelis-majelis mereka.

Mazhab Fiqih Imam Muslim

Jika kita memperhatikan nama-nama kitab yang ditulis oleh Imam Muslim, hampir semuanya membahas seputar ilmu hadits dan cabang-cabangnya. Hal ini juga ditemukan pada kebanyakan ulama ahli hadits yang lain di zaman tersebut. Akibatnya, kita tidak dapat mengetahui dengan jelas mazhab fiqih mana yang mereka adopsi. Padahal kita semua tahu bahwa Imam Muslim dan para ulama hadits di zamannya juga sekaligus merupakan ulama besar dalam bidang fiqih, sebagaimana Al Bukhari dan Imam Ahmad. Dan jika kita memperhatikan kitab Shahih Muslim, bagaimana metode Imam Muslim membela hadits, bagaimana penyusunan urutan pembahasan yang beliau buat, memberikan isyarat bahwa beliau pun seorang ahli fiqih yang memahami perselisihan fiqih diantara para ulama. Oleh karena itulah Al Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab At Taqrib (529) mengatakan: “Muslim bin Hajjaj adalah ahli fiqih”.

Namun ada beberapa pendapat tentang mazhab fiqih Imam Muslim. Di antaranya sebagaimana diutarakan Haji Khalifah dalam kitab Kasyfuz Zhunun (555/1) ketika menyebut nama Imam Muslim: “Muslim Ibnul Hajjah Al Qusyairi An Naisaburi Asy Syafi’i”. Shiddiq Hasan Khan juga mengamini hal tersebut dalam kitabnya Al Hithah (198). Namun pendapat ini perlu diteliti ulang. Karena terdapat beberapa indikasi yang dijadikan dasar oleh sebagian ulama untuk mengatakan bahwa Imam Muslim bermazhab Hambali. Diantara, indikasi tersebut misalnya Imam Muslim memiliki kitab yang berjudul Sualaat Ahmad bin Hambal. Selain itu Imam Muslim pun berguru pada Imam Ahmad dan mengambil hadits darinya. Diceritakan dalam Thabaqat Al Hanabilah (413/2) bahwa Imam Muslim juga memuji Imam Ahmad dengan mengatakan: “Imam Ahmad adalah salah satu ulama Huffadzul Atsar (punggawa ilmu hadits)”. Namun semua bukti ini juga tidak menunjukkan dengan pasti bahwa beliau berpegang pada mahzab Hambali.

Pendapat yang benar adalah bahwa Imam Muslim berpegang pada mahzab Ahlul Hadits dan tidak taklid pada salah satu imam mazhab. Sebagaimana diterangkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di Majmu’ Fatawa (39/20): “Adapun Al Bukhari dan Abu Dawud, mereka berdua adalah imam mujtahid dalam fiqih. Sedangkan Muslim, At Tirmidzi, An Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Abu Ya’la, Al Bazzar dan yang semisal mereka, semuanya berpegang pada mahzab Ahlul Hadits dan tidak taklid terhadap salah satu imam mahzab. Mereka juga tidak termasuk imam mujtahid dalam fiqih secara mutlak. Namun terkadang dalam fiqih mereka memiliki kecenderungan untuk mengambil pendapat ulama Ahlul Hadits seperti Asy Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu ‘Ubaid, dan yang semisal mereka”

Pujian Para Ulama

Kedudukan Imam Muslim diantara pada ulama Islam tergambar dari banyaknya pujian yang dilontarkan kepada beliau. Pujian datang dari guru-gurunya, orang-orang terdekatnya, murid-muridnya juga para ulama yang hidup sesudahnya. Dalam Tarikh Dimasyqi (89/58), diceritakan bahwa Muhammad bin Basyar, salah satu guru Imam Muslim, berkata: “Ada empat orang yang hafalan hadits-nya paling hebat di dunia ini: Abu Zur’ah dari Ray, Muslim Ibnul Hajjaj dari Naisabur, Abdullah bin Abdirrahman Ad Darimi dari Samarkand, dan Muhammad bin Ismail dari Bukhara”.

Ahmad bin Salamah dalam Tarikh Baghdad (102-103/13) berkata: “Aku melihat Abu Zur’ah dan Abu Hatim Ar Razi mengutamakan pendapat Muslim dalam mengenali keshahihan hadits dibanding para masyaikh lain di masa mereka hidup”.

Diceritakan dalam Tarikh Dimasyqi (89/58), Ishaq bin Mansur Al Kausaz berkata kepada Imam Muslim: “Kami tidak akan kehilangan kebaikan selama Allah masih menghidupkan engkau di kalangan muslimin”.

Dalam Tadzkiratul Huffadz, Adz Dzahabi juga memuji Imam Muslim dengan sebutan: “Muslim Ibnul Hajjaj Al Imam Al Hafidz Hujjatul Islam”.

Imam An Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim berkata: “Para ulama sepakat tentang keagungan Imam Muslim, keimamannya, peran besarnya dalam ilmu hadits, kepandaiannya dalam menyusun kitab ini, keutamaannya dan kekuatan hujjah-nya”.

Wafatnya Imam Muslim

Diceritakan oleh Ibnu Shalah dalam kitab Shiyanatu Muslim (1216) bahwa wafatnya Imam Muslim disebabkan hal yang tidak biasa, yaitu dikarenakan kelelahan pikiran dalam menelaah ilmu. Kemudian disebutkan kisah wafatnya dari riwayat Ahmad bin Salamah: “Abul Husain Muslim ketika itu mengadakan majelis untuk mengulang hafalan hadits. Lalu disebutkan kepadanya sebuah hadits yang ia tidak ketahui. Maka beliau pun pergi menuju rumahnya dan langsung menyalakan lampu. Beliau berkata pada orang yang berada di dalam rumah: ‘Sungguh, jangan biarkan orang masuk ke rumah ini’. Kemudian ada yang berkata kepadanya: ‘Maukah engkau kami hadiahkan sekeranjang kurma?’. Beliau menjawab: ‘(Ya) Berikan kurma-kurma itu kepadaku’. Kurma pun diberikan. Saat itu ia sedang mencari sebuah hadits. Beliau pun mengambil kurma satu persatu lalu mengunyahnya. Pagi pun datang dan kurma telah habis, dan beliau menemukan hadits yang dicari”. Al Hakim mengatakan bahwa terdapat tambahan tsiqah pada riwayat ini yaitu: “Sejak itu Imam Muslim sakit kemudian wafat”. Riwayat ini terdapat pada kitab Tarikh Baghdadi (103/13), Tarikh Dimasyqi (94/58), dan Tahdzibul Kamal (506/27). Beliau wafat pada waktu di hari Ahad, dan dimakamkan pada hari Senin, 5 Rajab 261 H.

Semoga Allah senantiasa merahmati beliau. Namanya begitu harum mewangi hingga hari ini, sungguh ini merupakan buah dari perjuangan berat nan mulia. Semoga Allah menerima amal beliau yang mulia dan membalasnya dengan yang lebih baik di hari dimana tidak ada pertolongan kecuali pertolongan Allah.

Kita memohon kepada Allah agar ditengah-tengah kaum muslimin dimunculkan orang semisal beliau, yang memiliki perhatian besar dan semangat tinggi untuk menjaga agama Allah dan menyebarkannya di tengah kaum muslimin. Mudah-mudahan Allah mengumpulkan kita bersama beliau di Jannah-Nya kelak.

Footnote:
--------------------
[1] Ustu adalah nama tempat di pinggiran Naisabur (Lihat Mu’jamul Buldan, 175/1)
[2] Rida adalah kain selendang yang lebar, yang dipakai untuk menutupi bagian atas tubuh.
[3] Kain yang biasa dipakai laki-laki untuk menutupi kepala, semacam sorban


[Disarikan dari kitab At Ta’rif Bil Imam Muslim Wa Kitabihi Ash Shahih karya Syaikh Abdurrahman bin Shalih As Sudais, dan artikel dari Majalah Universitas Islam Madinah yang berjudul Al Imam Muslim Wa Shahihuhu, Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al Abbad, dengan beberapa tambahan]

Penulis: Yulian Purnama
Artikel www.muslim.or.id

Dikirim dari aplikasi android muslim.or.id http://bit.ly/MuslimOrid

Selengkapnya..

Biografi Imam Bukhari

Muhammad bin Hatim Warraq Al-Bukhari rahimahullah menceritakan, “Aku bermimpi melihat Bukhari berjalan di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap kali Nabi mengangkat telapak kakinya maka Abu Abdillah (Bukhari) pun meletakkan telapak kakinya di situ.” (Hadyu Sari, hal. 656)


Nama dan Nasabnya

Beliau bernama Muhammad, putra dari Isma’il bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Ju’fi, biasa dipanggil dengan sebutan Abu ‘Abdillah. Beliau dilahirkan pada hari Jum’at setelah shalat Jum’at 13 Syawwal 194 H di Bukhara (Bukarest). Ketika masih kecil, ayahnya yaitu Isma’il sudah meninggal sehingga dia pun diasuh oleh sang ibu. Ghinjar dan Al-Lalika’i menceritakan bahwa ketika kecil kedua mata Bukhari buta. Suatu ketika ibunya bermimpi melihat Nabi Ibrahim berkata kepadanya, “Wahai ibu, sesungguhnya Allah telah memulihkan penglihatan putramu karena banyaknya doa yang kamu panjatkan kepada-Nya.” Pagi harinya dia dapati penglihatan anaknya telah sembuh (lihat Hadyu Sari, hal. 640)

Sanjungan Para Ulama Kepadanya

Abu Mush’ab rahimahullah (di dalam cetakan tertulis Abu Mu’shab, sepertinya ini salah tulis karena dalam kalimat sesudahya ditulis Abu Mush’ab, pent) Ahmad bin Abi Bakr Az Zuhri mengatakan, “Muhammad bin Isma’il (Bukhari) lebih fakih dan lebih mengerti hadits dalam pandangan kami daripada Imam Ahmad bin Hambal.” Salah seorang teman duduknya berkata kepadanya, “Kamu terlalu berlebihan.” Kemudian Abu Mush’ab justru mengatakan, “Seandainya aku bertemu dengan Malik (lebih senior daripada Imam Ahmad, pent) dan aku pandang wajahnya dengan wajah Muhammad bin Isma’il niscaya aku akan mengatakan: Kedua orang ini sama dalam hal hadits dan fiqih.” (Hadyu Sari, hal. 646)

Qutaibah bin Sa’id rahimahullah mengatakan, “Aku telah duduk bersama para ahli fikih, ahli zuhud, dan ahli ibadah. Aku belum pernah melihat semenjak aku bisa berpikir ada seorang manusia yang seperti Muhammad bin Isma’il. Dia di masanya seperti halnya Umar di kalangan para sahabat.” (Hadyu Sari, hal. 646)

Muhammad bin Yusuf Al Hamdani rahimahullah menceritakan: Suatu saat Qutaibah ditanya tentang kasus “perceraian dalam keadaan mabuk”, lalu masuklah Muhammad bin Isma’il ke ruangan tersebut. Seketika itu pula Qutaibah mengatakan kepada si penanya, “Inilah Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahawaih, dan Ali bin Madini yang telah dihadirkan oleh Allah untuk menjawab pertanyaanmu.” Seraya mengisyaratkan kepada Bukhari (Hadyu Sari, hal. 646)

Ahmad bin Hambal rahimahullah mengatakan, “Negeri Khurasan belum pernah melahirkan orang yang seperti Muhammad bin Isma’il.” (Hadyu Sari, hal. 647)

Bundar Muhammad bin Basyar rahimahullah mengatakan tentang Bukhari, “Dia adalah makhluk Allah yang paling fakih di zaman kami.” (Hadyu Sari, hal. 647)

Hasyid bin Isma’il rahimahullah menceritakan: Ketika aku berada di Bashrah aku mendengar kedatangan Muhammad bin Isma’il. Ketika dia datang, Muhammad bin Basyar pun mengatakan, “Hari ini telah datang seorang pemimpin para fuqoha’.” (Hadyu Sari, hal. 647)

Muslim bin Hajjaj rahimahullah -penulis Shahih Muslim, murid Imam Bukhari- mengatakan, “Aku bersaksi bahwa di dunia ini tidak ada orang yang seperti dirimu (yaitu seperti Bukhari).” (Hadyu Sari, hal. 650)

Kekuatan Hafalan Imam Bukhari dan Kecerdasannya

Muhammad bin Abi Hatim Warraq Al Bukhari menceritakan: Aku mendengar Bukhari mengatakan, “Aku mendapatkan ilham untuk menghafal hadits ketika aku masih berada di sekolah baca tulis (kuttab).” Aku berkata kepadanya, “Berapakah umurmu ketika itu?” Dia menjawab, “Sepuluh tahun atau kurang dari itu. Kemudian setelah lulus dari Kuttab, aku pun bolak-balik menghadiri majelis haditsnya Ad-Dakhili dan ulama hadits lainnya. Suatu hari tatkala membacakan hadits di hadapan orang-orang dia (Ad-Dakhili) mengatakan, ‘Sufyan meriwayatkan dari Abu Zubair dari Ibrahim.’ Maka aku katakan kepadanya, ‘Sesungguhnya Abu Zubair tidak meriwayatkan dari Ibrahim.’ Maka dia pun menghardikku, lalu aku berkata kepadanya, ‘Rujuklah kepada sumber aslinya, jika kamu punya.’ Kemudian dia pun masuk dan melihat kitabnya lantas kembali dan berkata, ‘Bagaimana kamu bisa tahu wahai anak muda?’ Aku menjawab, ‘Dia adalah Az Zubair (bukan Abu Zubair, pen). Nama aslinya Ibnu Adi yang meriwayatkan hadits dari Ibrahim.’ Kemudian dia pun mengambil pena dan membenarkan catatannya. Dan dia pun berkata kepadaku, ‘Kamu benar’. Menanggapi cerita tersebut, Bukhari ini Warraq berkata, “Biasa, itulah sifat manusia. Ketika membantahnya umurmu berapa?” Bukhari menjawab, “Sebelas tahun.” (Hadyu Sari, hal. 640)

Hasyid bin Isma’il menceritakan: Dahulu Bukhari biasa ikut bersama kami bolak-balik menghadiri pelajaran para masayikh (para ulama) di Bashrah, pada saat itu dia masih kecil. Dia tidak pernah mencatat, sampai-sampai berlalu beberapa hari lamanya. Setelah 6 hari berlalu kami pun mencela kelakuannya. Menanggapi hal itu dia mengatakan, “Kalian merasa memiliki lebih banyak hadits daripada aku. Cobalah kalian tunjukkan kepadaku hadits-hadits yang telah kalian tulis.” Maka kami pun mengeluarkan catatan-catatan hadits tersebut. Lalu ternyata dia menambahkan hadits yang lain lagi sebanyak lima belas ribu hadits. Dia membacakan hadits-hadits itu semua dengan ingatan (di luar kepala), sampai-sampai kami pun akhirnya harus membetulkan catatan-catatan kami yang salah dengan berpedoman kepada hafalannya (Hadyu Sari, hal. 641)

Muhammad bin Al Azhar As Sijistani rahimahullah menceritakan: Dahulu aku ikut hadir dalam majelis Sulaiman bin Harb sedangkan Bukhari juga ikut bersama kami. Dia hanya mendengarkan dan tidak mencatat. Ada orang yang bertanya kepada sebagian orang yang hadir ketika itu, “Mengapa dia tidak mencatat?” Maka orang itu pun menjawab, “Dia akan kembali ke Bukhara dan menulisnya berdasarkan hafalannya.” (Hadyu Sari, hal. 641)

Suatu ketika Bukhari rahimahullah datang ke Baghdad. Para ulama hadits yang ada di sana mendengar kedatangannya dan ingin menguji kekuatan hafalannya. Mereka pun mempersiapkan seratus buah hadits yang telah dibolak-balikkan isi hadits dan sanadnya, matan yang satu ditukar dengan matan yang lain, sanad yang satu ditukar dengan sanad yang lain. Kemudian seratus hadits ini dibagi kepada 10 orang yang masing-masing bertugas menanyakan 10 hadits yang berbeda kepada Bukhari. Setiap kali salah seorang di antara mereka menanyakan kepadanya tentang hadits yang mereka bawakan, maka Bukhari menjawab dengan jawaban yang sama, “Aku tidak mengetahuinya.” Setelah sepuluh orang ini selesai, maka gantian Bukhari yang berkata kepada 10 orang tersebut satu persatu, “Adapun hadits yang kamu bawakan bunyinya demikian. Namun hadits yang benar adalah demikian.” Hal itu beliau lakukan kepada sepuluh orang tersebut. Semua sanad dan matan hadits beliau kembalikan kepada tempatnya masing-masing dan beliau mampu mengulangi hadits yang telah dibolak-balikkan itu hanya dengan sekali dengar. Sehingga para ulama pun mengakui kehebatan hafalan Bukhari dan tingginya kedudukan beliau (lihat Hadyu Sari, hal. 652)

Muhammad bin Hamdawaih rahimahullah menceritakan: Aku pernah mendengar Bukhari mengatakan, “Aku hafal seratus ribu hadits sahih.” (Hadyu Sari, hal. 654). Bukhari rahimahullah mengatakan, “Aku menyusun kitab Al-Jami’ (Shahih Bukhari, pent) ini dari enam ratus ribu hadits yang telah aku dapatkan dalam waktu enam belas tahun dan aku akan menjadikannya sebagai hujjah antara diriku dengan Allah.” (Hadyu Sari, hal. 656)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menuturkan bahwa apabila Bukhari membaca Al-Qur’an maka hati, pandangan, dan pendengarannya sibuk menikmati bacaannya, dia memikirkan perumpamaan-perumpamaan yang terdapat di dalamnya, dan mengetahui hukum halal dan haramnya (lihat Hadyu Sari, hal. 650)

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membalas jasa-jasa beliau dengan sebaik-baik balasan dan memasukkannya ke dalam Surga Firdaus yang tinggi. Dan semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang dapat melanjutkan perjuangannya dalam membela Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyebarkannya kepada umat manusia. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id


Dikirim dari aplikasi android muslim.or.id http://bit.ly/MuslimOrid

Selengkapnya..

Biografi Imam Syafi’i

Nama dan Nasab

Beliau bernama Muhammad dengan kunyah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh beliau, yaitu Hasyim bin al-Muththalib.

Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi’, kakek dari kakek beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi’i)- menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, bapak Syafi’, sendiri termasuk sahabat kibar (senior) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.

Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi’i berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi’i bukanlah asli keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja. Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kunyahUmmu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi’i adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.

Waktu dan Tempat Kelahirannya

Beliau dilahirkan pada tahun 150. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya.

Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.

Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.

Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu

Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi’bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi’i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, ‘Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.’” Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.

Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.

Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan pengembaraannya mencari ilmu.

Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ -yang masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah -ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran.

Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179. Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma’il bin Ja’far, Ibrahim bin Sa’d dan masih banyak lagi.

Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan -satu hal yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di Yaman, nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.

Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi’i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi’i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.

Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu’, padahal sikapnya sama sekali berbeda dengan tasysyu’ model orang-orang syi’ah. Bahkan Imam Syafi’i menolak keras sikap tasysyu’ model mereka itu yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang terdapat dalam Al-Quran maupun hadits-hadits shahih. Dan kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.

Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi’i berusaha memberikan penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.

Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma ‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.

Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi’i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.

Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.

Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Mekkah.

Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara Imam Syafi’i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh -yang selama ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab mereka.

Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi’i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.

Keteguhannya Membela Sunnah

Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.

Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi Syafi’i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya.” Al-Mazani berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi’i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.” Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.

Wafatnya
---------
Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.

Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi’i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah?” Beliau menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus.”

Karangan-Karangannya
--------------------
Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat. Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.

Sumber:
-------
Al-Umm, bagian muqoddimah hal. 3-33Siyar A’lam an-Nubala’Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi’, terjemah kitab Manhaj al-Imam Asy-Syafi ‘i fi Itsbat al-‘Aqidah karya DR. Muhammad AW al-Aql terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi ‘i, Cirebon

***

Sumber: Majalah Fatawa
Penyusun: Ustadz Arif Syarifuddin
Dipublikasikan kembali oleh www.muslim.or.id


Dikirim dari aplikasi android muslim.or.id http://bit.ly/MuslimOrid

Selengkapnya..