Minggu, 30 April 2017

Bolehkah Menjamak Dua Shalat Sebelum Safar?

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Masalah ini menjadi perdebatan di antara kami dan sahabat-sahabat kami, apakah memang dibolehkan menjamak shalat sedangkan saat itu kita belum bersafar, baru bersafar setelah dua jam kemudian. Penulis sendiri berpendapat bahwa boleh saja menjamak ketika itu jika memang kita khawatir waktu shalat kedua akan habis sehingga kita sulit mengerjakan shalat kedua padahal shalat wajib lebih baik dikerjakan di saat turun dari kendaraan (berbeda halnya dengan shalat sunnah). Mengenai pendapat penulis ini, itu hasil kajian kami selama ini. Mungkin ada  yang akan menyanggah, “Kan kita belum bersafar (masih di sakan atau asrama), hanya baru berniat untuk bersafar, kenapa sudah boleh menjamak?” Agar semakin jelas dan menemukan alasannya, simak penjelasan dalam artikel ini dan simak penjelasan para ulama akan hal ini. Allahumma yassir wa a’in.

Maksud Menjamak Shalat dan Qoshor

Menjamak shalat artinya menggabungkan dua shalat dan dikerjakan di satu waktu. Shalat yang boleh dijamak hanyalah empat shalat, yaitu shalat zhuhur, ‘ashar, maghrib dan ‘isya’. Shalat zhuhur dijamak dengan shalat ‘ashar, sedangkan shalat maghrib dijamak dengan shalat ‘isya’. Sedangkan mengqoshor artinya meringkas shalat yang jumlahnya empat raka’at menjadi dua raka’at. Shalat yang boleh diqoshor hanya tiga shalat, yaitu shalat zhuhur, ‘ashar dan ‘isya, yaitu masing-masing diringkas dari empat raka’at menjadi dua raka’at.

Sebab Bolehnya Menjamak dan Mengqoshor Shalat

Ibnu Taimiyah rahimahullah memberikan pelajaran berharga yang patut kita perhatikan. Beliau rahimahullah berkata,

وَالْقَصْرُ سَبَبُهُ السَّفَرُ خَاصَّةً لَا يَجُوزُ فِي غَيْرِ السَّفَرِ وَأَمَّا الْجَمْعُ فَسَبَبُهُ الْحَاجَةُ وَالْعُذْرُ فَإِذَا احْتَاجَ إلَيْهِ جَمَعَ فِي السَّفَرِ الْقَصِيرِ وَالطَّوِيلِ وَكَذَلِكَ الْجَمْعُ لِلْمَطَرِ وَنَحْوِهِ وَلِلْمَرَضِ وَنَحْوِهِ وَلِغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الْأَسْبَابِ فَإِنَّ الْمَقْصُودَ بِهِ رَفْعُ الْحَرَجِ عَنْ الْأُمَّةِ

Sebab qoshor shalat khusus hanya karena seseorang itu bersafar. Tidak boleh seseorang mengqoshor shalat pada selain safar. Adapun sebab menjamak shalat adalah karena adanya hajat (kebutuhan) dan adanya udzur (halangan). Jika seseorang butuh untuk menjamak shalat, maka ia boleh menjamaknya pada safar yang singkat atau safar yang waktunya lama. Begitu pula seseorang boleh menjamak shalat karena alasan hujan dan kesulitan semacam itu, karena sakit, dan sebab lainnya. Karena ingat sekali lagi, sebab menjamak shalat adalah untuk menghilangkan kesulitan pada kaum muslimin.[1]

Jika kita benar-benar memperhatikan penjelasan di atas, Ibnu Taimiyah rahimahullah menggaris bawahi bahwa sebab kita menjamak shalat adalah karena adanya kebutuhan, bukan karena seseorang itu bersafar. Sehingga tidak setiap safar itu mesti menjamak shalat. Keringanan yang khusus ada pada safar adalah mengqoshor shalat. Moga Allah mudahkan untuk memahami hal ini.

Mulai Boleh Mengqoshor Shalat Ketika Telah Berpisah dari Negeri

Seorang musafir tidak mendapatkan keringanan safar kecuali jika ia telah keluar dari negerinya. Musafir tersebut terus mendapatkan keringanan safar hingga ia balik lagi ke negerinya. Jadi janganlah musafir tersebut mengqoshor shalat kecuali jika ia telah keluar dari kota atau negerinya (batas kotanya), sehingga tidak boleh ia mengqoshor shalat sedangkan ia masih di sakan, asrama atau rumahnya.

Dalam Syarhul Mumthi’, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan,

ولذلك لا يجوز أن يقصر الصلاة حتى يخرج من البلد

“Oleh karena itu, tidak dibenarkan seseorang mengqoshor shalat sampai ia keluar dari negerinya.”[2]

Demikianlah pendapat jumhur ulama (mayoritas ulama). An Nawawi rahimahullah mengatakan,

ذكرنا أن مذهبنا أنه إذا فارق بنيان البلد قصر ولا يقصر قبل مفارقتها وان فارق منزله وبهذا قال مالك وأبو حنيفة واحمد وجماهير العلماء

“Menurut madzhab kami (Syafi’iyah), seorang musafir baru boleh mengqoshor shalat setelah ia berpisah dari negerinya dan tidak boleh ia mengqoshor shalat sebelum berpisah dari negerinya walaupun ia baru saja keluar dari rumahnya. Demikian hal ini juga menjadi pendapat Malik, Abu Hanifah, Ahmad dan mayoritas (jumhur) ulama.”[3]

Jika Merasa Berat, Boleh Menjamak Shalat Meskipun Masih di Negerinya

Seorang musafir boleh menjamak dua shalat sebelum safar jika ia memang merasa berat menunaikan shalat yang kedua ketika ia dalam perjalanan. Yang tidak diperkenankan dalam kondisi semacam ini adalah mengqoshor shalat. Jadi ketika masih di rumah, baru keinginan untuk bersafar dan merasa sulit mengerjakan shalat kedua saat di perjalanan, maka boleh memajukan shalat kedua ke waktu shalat pertama. Namun ingat tanpa diqoshor, hanya menjamak saja.

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata,

وتبدأ أحكام السفر إذا فارق المسافر وطنه وخرج من عامر قريته أو مدينته ، ولا يحل لكم أن تجمعوا بين الصلاتين حتى تغادروا البلد إلا أن تخافوا أن لا يتيسر لكم صلاة الثانية أثناء سفركم

“Hukum safar dimulai jika seorang musafir berpisah dari negeri atau kotanya. Begitu pula tidak boleh kalian menjamak dua shalat kecuali setelah ia meninggalkan negerinya. Hal ini dikecualikan jika kalian tidak mudah mengerjakan shalat kedua di perjalanan.”[4] Artinya di sini, Syaikh rahimahullah membolehkan jika sulit atau merasa berat mengerjakan shalat kedua di perjalanan, maka boleh memajukan shalat kedua ke waktu pertama, dilakukan shalat jamak taqdim.

Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah berkata,

وإذا دخل وقت الظهر وأنت لم تبدأ السفر : فإنه يجب عليك أن تصلي صلاة الظهر تمامًا من غير قصر . وأما صلاة العصر : فإن كان سفرك ينتهي وقت العصر ؛ فإنك تصلي العصر تامة في وقتها إذا وصلت ، أما إذا كان السفر يستمر من الظهر إلى بعد غروب الشمس بحيث يخرج وقت العصر وأنت في السفر ، ولا يمكنك النزول لما ذكرت من أن صاحب السيارة لا يوافق على التوقف : فلا مانع من الجمع في هذه الحالة ؛ لأن هذه حالة عذر تبيح الجمع ، ولكن مع الإتمام . إذا صليت العصر مع الظهر جمع تقديم وأنت في بيتك ، وتريد السفر بعدها : فإنك تصلي الظهر والعصر تمامًا كل واحدة أربع ركعات ، ولا بأس بالجمع ؛ لأن الجمع يباح في هذه الحالة ، أما القصر : فإنه لم يبدأ وقته ؛ لأن القصر إنما يجوز بعد مفارقة البنيان الذي هو موطن إقامتك

“Jika telah masuk waktu Zhuhur dan engkau belum memulai safar, maka hendaklah engkau mengerjakan shalat Zhuhur secara sempurna (empat raka’at) tanpa mengqoshor. Adapun shalat ‘Ashar, jika engkau sampai tempat tujuan dan masih mendapati waktu ‘Ashar, maka hendaklah engkau shalat ‘Ashar secara sempurna (empat raka’at) di waktunya. Namun jika safar tersebut berlanjut mulai dari waktu Zhuhur hingga terbenamnya matahari, artinya sampai waktu ‘Ashar berakhir engkau masih di perjalanan dan sama sekali engkau tidak mampu turun dari kendaraan, juga pemilik kendaraan tidak mau untuk berhenti kala itu, maka tidak mengapa engkau menjamak dua shalat dalam kondisi semacam itu. Karena kondisi demikian masih dibolehkan untuk menjamak shalat, akan tetapi jamaknya tetap sempurna (empat raka’at, tanpa diqoshor). Jika ingin melaksanakan shalat ‘Ashar digabung dengan shalat Zhuhur (jamak takdim) sedangkan saat itu engkau masih di rumahmu dan ingin bersafar setelah itu, maka engkau kerjakan shalat Zhuhur dan ‘Ashar secara sempurna yaitu masing-masing empat raka’at, dan tidak mengapa untuk menjamak shalat saat itu. Karena ingat sekali lagi bahwa ini adalah kondisi yang dibolehkan untuk menjamak shalat. Adapun mengqoshor shalat saat itu (masih berada di rumah, belum berangkat safar), maka belum dimulai. Karena qoshor shalat hanya boleh dilakukan setelah berpisah dari negerimu.”[5]

Kata Simpulan

Dari pembahasan di atas, kita bisa tarik kesimpulan bahwa menjamak dua shalat sebelum safar itu dibolehkan dengan syarat merasa sulit mengerjakan shalat kedua di waktunya dan takut waktu shalat kedua itu habis. Namun ketika masih belum bersafar, hanya dibolehkan menjamak shalat tanpa mengqoshornya. Wallahu waliyyut taufiq.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.


-------------
[1] Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’, 22/292.
[2] Asy Syarhul Mumthi’, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, Kitab Ash Shaum
[3] Al Majmu’, Yahya bin Syarf An Nawawi, Mawqi’ Ya’sub, 4/349
[4] Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, 15/346.
[5] Al Muntaqo, Syaikh Sholeh Al Fauzan, 3/62.

Shared from Rumaysho.com for android http://bit.ly/Rumaysho

Selengkapnya..

NASIHAT EMAS PARA IMAM TENTANG MASALAH KHILAFIYAH


◆ Pandangan Imam Sufyan Ats Tsauri Radhiallahu ‘Anhu

Imam Abu Nu’aim mengutip ucapan Imam Sufyan Ats Tsauri, sebagai berikut:

 إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه.

“Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.” (Imam Abu Nu’aim al Asbahany, Hilyatul Auliya’, 3/133)

◆ Pandangan Imam Malik Radhiallahu ‘Anhu

Imam Malik ketika berkata kepada Abu Ja’far, tatkala Ia ingin memaksa semua orang berpegang pada Al Muwatha’ (himpunan hadits karya Imam Malik): “Ingatlah bahwa para sahabat Rasulullah telah berpencar-pencar di beberapa wilayah. Setiap kaum memiliki ahli ilmu. Maka apabila kamu memaksa mereka dengan satu pendapat, yang akan terjadi adalah fitnah sebagai akibatnya.” (Majmu’ah Ar Rasail, Mu’tamar Khamis, hal. 187. Al Maktabah At Taufiqiyah)

◆ Pandangan Imam Ahmad bin Hambal Radhiallahu ‘Anhu

Dalam kitab Al Adab Asy Syar’iyyah:

وقد قال أحمد في رواية المروذي لا ينبغي للفقيه أن يحمل الناس على مذهبه .ولا يشدد عليهم وقال مهنا سمعت أحمد يقول من أراد أن يشرب هذا النبيذ يتبع فيه شرب من شربه فليشربه وحده .

“Imam Ahmad berkata dalam sebuah riwayat Al Maruzi (Al Marwadzi), tidak seharusnya seorang ahli fiqih membebani manusia untuk mengikuti mazhabnya dan tidak boleh bersikap keras kepada mereka. Berkata Muhanna, aku mendengar Ahmad berkata, ‘Barangsiapa yang mau minum nabidz (air perasan anggur) ini, karena mengikuti imam yang membolehkan meminumnya, maka hendaknya dia meminumnya sendiri.” (Imam Ibnu Muflih, Al Adab Asy Syar’iyyah, Juz 1, hal. 212. Syamilah)

Para ulama beda pendapat tentang halal-haramnya air perasan anggur, namun Imam Ahmad menganjurkan bagi orang yang meminumnya, untuk tidak mengajak orang lain. Ini artinya Imam Ahmad bersikap, bahwa tidak boleh orang yang berpendapat halal, mengajak-ngajak orang yang berpendapat haram.

◆ Nasihat Imam Yahya bin Ma’in Rahimahullah

Imam Adz Dzahabi Rahimahullah berkata tentang Yahya bin Ma’in:

قال ابن الجنيد: وسمعت يحيى، يقول: تحريم النبيذ صحيح، ولكن أقف، ولا أحرمه، قد شربه قوم صالحون بأحاديث صحاح، وحرمه قوم صالحون بأحاديث صحاح.

Berkata Ibnu Al Junaid: “Aku mendengar Yahya bin Ma’in berkata: “Pengharaman nabidz (air perasan anggur) adalah benar, tetapi aku no comment, dan aku tidak mengharamkannya. Segolongan orang shalih telah meminumnya dengan alasan hadits-hadits shahih, dan segolongan orang shalih lainnya mengharamkannya dengan dalil hadits-hadits yang shahih pula.” (Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam an Nubala, Juz. 11, Hal. 88. Mu’asasah ar Risalah, Beirut-Libanon. Cet.9, 1993M-1413H)

◆ Nasihat Imam An Nawawi Rahimahullah

Berkata Imam an Nawawi Rahimahullah:

وَمِمَّا يَتَعَلَّق بِالِاجْتِهَادِ لَمْ يَكُنْ لِلْعَوَامِّ مَدْخَل فِيهِ ، وَلَا لَهُمْ إِنْكَاره ، بَلْ ذَلِكَ لِلْعُلَمَاءِ . ثُمَّ الْعُلَمَاء إِنَّمَا يُنْكِرُونَ مَا أُجْمِعَ عَلَيْهِ أَمَّا الْمُخْتَلَف فِيهِ فَلَا إِنْكَار فِيهِ لِأَنَّ عَلَى أَحَد الْمَذْهَبَيْنِ كُلّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ . وَهَذَا هُوَ الْمُخْتَار عِنْد كَثِيرِينَ مِنْ الْمُحَقِّقِينَ أَوْ أَكْثَرهمْ . وَعَلَى الْمَذْهَب الْآخَر الْمُصِيب وَاحِد وَالْمُخْطِئ غَيْر مُتَعَيَّن لَنَا ، وَالْإِثْم مَرْفُوع عَنْهُ

“Dan Adapun yang terkait masalah ijtihad, tidak mungkin orang awam menceburkan diri ke dalamnya, mereka tidak boleh mengingkarinya, tetapi itu tugas ulama. Kemudian, para ulama hanya mengingkari dalam perkara yang disepakati para imam. Adapun dalam perkara yang masih diperselisihkan, maka tidak boleh ada pengingkaran di sana. Karena berdasarkan dua sudut pandang setiap mujtahid adalah benar. Ini adalah sikap yang dipilih olah mayoritas para ulama peneliti (muhaqqiq). Sedangkan pandangan lain mengatakan bahwa yang benar hanya satu, dan yang salah kita tidak tahu secara pasti, dan dia telah terangkat dosanya.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/131. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Jadi, yang boleh diingkari hanyalah yang jelas-jelas bertentangan dengan nash qath’i dan ijma’. Adapun zona ijtihadiyah, maka tidak bisa saling menganulir.

◆ Pandangan Imam Jalaluddin As Suyuthi Rahimahullah

Ketika membahas kaidah-kaidah syariat, Imam As Suyuthi berkata dalam kitab Al Asybah wa An Nazhair:

الْقَاعِدَةُ الْخَامِسَةُ وَالثَّلَاثُونَ ” لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ ، وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ

Kaidah yang ke-35, “Tidak boleh ada pengingkaran terhadap masalah yang masih diperselisihkan. Sesungguhnya pengingkaran hanya berlaku pada pendapat yang bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) para ulama.” (Imam As Suyuthi, Al Asybah wa An Nazhair, Juz 1, hal. 285. Syamilah)

◆ Pandangan Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah

Ketika membahas tema Kesatuan Milah dan Keragaman Syariat ia berkata:
الأصول الثابتة بالكتاب والسنة والإجماع هي بمنزلة الدين المشترك بين الأنبياء، ليس لأحد خروج عنها، ومن دخل فيها كان من أهل الإسلام المحض، وهم أهل السنة والجماعة، وما تنوعوا فيه من الأعمال والأقوال المشروعة فهو بمنزلة ما تنوعت فيه الأنبياء
“Pokok-pokok dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ adalah seperti kedudukan agama yang dimiliki oleh para nabi. Tidak seorang pun yang boleh keluar darinya, dan barangsiapa yang masuk ke dalamnya maka ia tergolong kepada ahli Islam yang murni dan mereka adalah Ahlu Sunnah wal Jamaah. Adapun bervariasinya amal dan perkataan dalam syariat adalah seperti keragaman syariat di antara masing-masing Nabi. Perbedaan ini terkadang bisa pada perkara yang wajib, terkadang bisa juga pada perkara yang sunnah.” (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ al Fatawa, Juz  19, hal. 117)

Beliau Rahimahullah berkata:
فَإِنَّ مَسَائِلَ الدَّقِّ فِي الْأُصُولِ لَا يَكَادُ يَتَّفِقُ عَلَيْهَا طَائِفَةٌ ؛ إذْ لَوْ كَانَ كَذَلِكَ لَمَا تَنَازَعَ فِي بَعْضِهَا السَّلَفُ مِنْ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ
“Sesungguhnya masalah-masalah rinci dalam perkara ushul tidak mungkin disatukan di antara kelompok orang. Karena bila demikian halnya tentu tidak mungkin para sahabat, tabi’in, dan kaum salaf berselisih.” (Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz 6, hal. 56)

Katanya lagi:
فَلَمَّا دَعَتْ الْحَاجَةُ إلَى تَفْرِيعِ الْأَعْمَالِ وَكَثْرَةِ فُرُوعِهَا وَذَلِكَ مُسْتَلْزِمٌ لِوُقُوعِ النِّزَاعِ اطْمَأَنَّتْ الْقُلُوبُ فِيهَا إلَى النِّزَاعِ
“Ketika perluasan aktivitas dan penganekaragaman furu’ (cabang)-nya semakin dituntut maka sebagai akibatnya adalah munculnya perselisihan pendapat sesuai yang cocok jiwa masing-masing pembelanya.” (Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz. 6, hal. 58)

Ia juga berkata:
وَأَمَّا مَنْ تَرَجَّحَ عِنْدَهُ فَضْلُ إمَامٍ عَلَى إمَامٍ أَوْ شَيْخٍ عَلَى شَيْخٍ بِحَسَبِ اجْتِهَادِهِ كَمَا تَنَازَعَ الْمُسْلِمُونَ : أَيُّهُمَا أَفْضَلُ التَّرْجِيعُ فِي الْأَذَانِ أَوْ تَرْكُهُ ؟ أَوْ إفْرَادُ الْإِقَامَةِ أَوْ تَثْنِيَتُهَا ؟ وَصَلَاةُ الْفَجْرِ بِغَلَسِ أَوْ الْإِسْفَارُ بِهَا ؟ وَالْقُنُوتُ فِي الْفَجْرِ أَوْ تَرْكُهُ ؟ وَالْجَهْرُ بِالتَّسْمِيَةِ ؛ أَوْ الْمُخَافَتَةُ بِهَا ؛ أَوْ تَرْكُ قِرَاءَتِهَا ؟ وَنَحْوُ ذَلِكَ : فَهَذِهِ مَسَائِلُ الِاجْتِهَادِ الَّتِي تَنَازَعَ فِيهَا السَّلَفُ وَالْأَئِمَّةُ فَكُلٌّ مِنْهُمْ أَقَرَّ الْآخَرَ عَلَى اجْتِهَادِهِ مَنْ كَانَ فِيهَا أَصَابَ الْحَقَّ فَلَهُ أَجْرَانِ وَمَنْ كَانَ قَدْ اجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَخَطَؤُهُ مَغْفُورٌ لَهُ
“Adapun manusia yang cenderung kepada pendapat salah seorang imam atau syaikh sesuai ijtihadnya. Sebagaimana perbedaan mana yang lebih afdhal antara adzan dengan tidak adzan, dalam qamat ifrad (dibaca sekali) atau itsna (dibaca dua kali), shalat fajar itu di akhir malam atau di saat fajar, qunut subuh atau tidak, bismillah dikeraskan atau dipelankan, dan seterusnya, adalah merupakan masalah ijtihadiyah yang juga diperselisihkan para imam-imam salaf. Dan masing-masing mereka menetapkan keputusan ijtihad yang lain atas ijtihadnya. Siapa yang benar dalam ijtihadnya maka dia mendapat dua pahala, dan siapa yang berijtihad dan ternyata salah maka dia dapat satu pahala, dan kesalahannya itu diampuni.” (Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz, 20. hal. 292)

Beliau juga berkata:
وَاجْتِهَادُ الْعُلَمَاءِ فِي الْأَحْكَامِ كَاجْتِهَادِ الْمُسْتَدِلِّينَ عَلَى جِهَةِ الْكَعْبَةِ ؛ فَإِذَا صَلَّى أَرْبَعَةُ أَنْفُسٍ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ بِطَائِفَةِ إلَى أَرْبَعِ جِهَاتٍ لِاعْتِقَادِهِمْ أَنَّ الْقِبْلَةَ هُنَاكَ : فَإِنَّ صَلَاةَ الْأَرْبَعَةِ صَحِيحَةٌ وَاَلَّذِي صَلَّى إلَى جِهَةِ الْكَعْبَةِ وَاحِدٌ وَهُوَ الْمُصِيبُ الَّذِي لَهُ أَجْرَانِ
“Ijtihad para ulama dalam masalah hukum itu seperti ijtihadnya orang yang menentukan arah kiblat. Empat orang melaksanakan shalat dan masing-masing orang menghadap kea rah yang berbeda dengan lainnya dan masing-masing meyakini bahwa kiblat ada di arah mereka. Maka shalat keempat orang itu benar adanya, sedangkan shalat yang tepat menghadap kiblat, dialah yang mendapat dua pahala.” (Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz, 20, hal. 224)

Lihat! Imam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ijtihad bisa jadi benar semua, yang ada adalah yang benar dan lebih benar, mafdhul (tidak utama) dan afdhal (tidak utama). Ya, sangat berbeda antara beliau dengan orang yang mengaku-ngaku mengikuti madrasah pemikiran beliau. Tenggang rasa Imam Ibnu Taimiyah tidak berhasil diikuti oleh orang-orang keras yang mengaku mengikutinya, yang selalu memaksakan pendapatnya kepada orang lain…

Dia juga berkata:
وَأَمَّا الْأَقْوَالُ وَالْأَفْعَالُ الَّتِي لَمْ يُعْلَمْ قَطْعًا مُخَالَفَتُهَا لِلْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ بَلْ هِيَ مِنْ مَوَارِدِ الِاجْتِهَادِ الَّتِي تَنَازَعَ فِيهَا أَهْلُ الْعِلْمِ وَالْإِيمَانِ ؛ فَهَذِهِ الْأُمُورُ قَدْ تَكُونُ قَطْعِيَّةً عِنْدَ بَعْضِ مَنْ بَيَّنَ اللَّهُ له الْحَقَّ فِيهَا ؛ لَكِنَّهُ لَا يُمْكِنُهُ أَنْ يُلْزِمَ النَّاسَ بِمَا بَانَ لَهُ وَلَمْ يَبِنْ لَهُمْ فَيَلْتَحِقُ مِنْ وَجْهٍ بِالْقِسْمِ الْأَوَّلِ . وَمِنْ وَجْهٍ بِالْقِسْمِ الثَّانِي . وَقَدْ تَكُونُ اجْتِهَادِيَّةً عِنْدَهُ أَيْضًا فَهَذِهِ تَسْلَمُ لِكُلِّ مُجْتَهِدٍ وَمَنْ قَلَّدَهُ طَرِيقَهُمْ تَسْلِيمًا نَوْعِيًّا بِحَيْثُ لَا يُنْكَرُ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ كَمَا سَلِمَ فِي الْقِسْمِ الْأَوَّلِ تَسْلِيمًا شَخْصِيًّا
“Sedangkan perkataan dan amal yang tidak diketahui secara pasti (qath’i) bertentangan dengan Kitab dan Sunnah, namun termasuk lingkup perbincangan ijtihad para ahli ilmu dan iman, bisa jadi dianggap qath’i oleh sebagian yang lain yang telah mendapat cahaya petunjuk dari Allah Ta’ala. Namun demikian dia tidak boleh memaksakan pendapatnya itu kepada orang lain yang belum mendapatkan apa yang dia inginkan itu.” (Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz, 10. hal. 383-384)

Jadi, setelah Anda mengakui satu pendapat fiqih yang benar, maka peganglah baik-baik, namun jangan paksakan kepada orang lain. Karena masalah ini sangat luas dan lentur terjadi perbedaan:
فإن تعارض دلالات الأقوال وترجيح بعضها على بعض بحر خضم
“Sesungguhnya perbedaan mengenai dalalah lafal dan penetapan salah satunya itu bagaikan samudera yang luas.” (Imam Ibnu Taimiyah, Raf’ul Malam, hal. 25)

Wa akhiru da’wana an alhamdulillahi rabbail ‘alamin ….

Wallahu A’lam.

Selengkapnya..

BACAAN TASYAHUD AWAL DAN AKHIR

Bacaan Tasyahud Awal
-------------------------
Pertama, bacaan tasyahud Ibnu ‘Abbas.

التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ

“At tahiyyaatul mubaarokaatush sholawaatuth thoyyibaat lillah. Assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barokaatuh. Assalaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillahish sholihiin. Asyhadu alla ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rosuuluh (artinya: Segala ucapan selamat, keberkahan, shalawat, dan kebaikan adalah bagi Allah. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan kepadamu wahai Nabi beserta rahmat Allah dan barakah-Nya. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan pula kepada kami dan kepada seluruh hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba-Nya dan utusan-Nya)” (HR. Muslim no. 403).

Kedua, bacaan tasyahud Ibnu Mas’ud.

التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

"Segala ucapan selamat, shalawat, dan kebaikan adalah bagi Allah. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan kepadamu wahai Nabi beserta rahmat Allah dan barakah-Nya. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan pula kepada kami dan kepada seluruh hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba-Nya dan utusan-Nya).” (HR. Bukhari no. 6265).

Ditambah Bacaan Shalawat pada Tasyahud Awal

Bacaan shalawat yang bisa dibaca setelah membaca salah satu dari tasyahud awal di atas,

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

“Ya Allah, semoga shalawat tercurah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana tercurah pada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah, semoga berkah tercurah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana tercurah pada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia).” (HR. Bukhari no. 4797 dan Muslim no. 406, dari Ka’ab bin ‘Ujroh).

Minimal bacaan shalawat adalah,
اللّهُمَّ صَلِّ عَلَ مُحَمَّدٍ

“Ya Allah, semoga shalawat tercurah pada Muhammad)”. (Roudhotuth Tholibin, 1: 187).

Bacaan Tasyahud Akhir
-----------------------------
Bacaan ketika tasyahud akhir sama dengan tasyahud awwal :

التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

Lalu ditambah dengan doa meminta perlindungan dari empat perkara.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا فَرَغَ أَحَدُكُمْ مِنَ التَّشَهُّدِ الآخِرِ فَلْيَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْ أَرْبَعٍ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ

“Jika salah seorang di antara kalian selesai tasyahud akhir (sebelum salam), mintalah perlindungan pada Allah dari empat hal: (1) siksa neraka jahannam, (2) siksa kubur, (3) penyimpangan ketika hidup dan mati, (4) kejelekan Al Masih Ad Dajjal.” (HR. Muslim no. 588).

Do’a yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan dalam riwayat lain,

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَعَذَابِ النَّارِ وَفِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَشَرِّ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ

“Allahumma inni a’udzu bika min ‘adzabil qobri, wa ‘adzabin naar, wa fitnatil mahyaa wal mamaat, wa syarri fitnatil masihid dajjal [Ya Allah, aku meminta perlindungan kepada-Mu dari siksa kubur, siksa neraka, penyimpangan ketika hidup dan mati, dan kejelekan Al Masih Ad Dajjal].” (HR. Muslim no. 588)

Setelah itu berdoa dengan doa apa saja yang diinginkan. Dalam hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا تَشَهَّدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْ أَرْبَعٍ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَعَذَابِ الْقَبْرِ وَفِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ ثُمَّ يَدْعُو لِنَفْسِهِ بِمَا بَدَا لَهُ

“Jika salah seorang di antara kalian bertasyahud, maka mintalah perlindungan pada Allah dari empat perkara yaitu dari siksa Jahannam, dari siksa kubur, dari fitnah hidup dan mati dan dari kejelekan Al Masih Ad Dajjal, kemudian hendaklah ia berdoa untuk dirinya sendiri dengan doa apa saja yang ia inginkan.” (HR. An Nasai no. 1310. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Dengan catatan, hendaklah dengan bahasa Arab atau yang lebih baik adalah dengan doa yang berasal dari Al Quran dan hadits. Doa yang berasal dari Al Quran dan hadits begitu banyak yang bisa diamalkan.

Alasan berdoanya dengan bahasa Arab dikatakan oleh salah seorang ulama Syafi’iyah, Muhammad bin Al Khotib Asy Syarbini rahimahullah,

فَإِنَّ الْخِلَافَ الْمَذْكُورَ مَحَلُّهُ فِي الْمَأْثُورِ .أَمَّا غَيْرُ الْمَأْثُورِ بِأَنْ اخْتَرَعَ دُعَاءً أَوْ ذِكْرًا بِالْعَجَمِيَّةِ فِي الصَّلَاةِ فَلَا يَجُوزُ كَمَا نَقَلَهُ الرَّافِعِيُّ عَنْ الْإِمَامِ تَصْرِيحًا فِي الْأُولَى ، وَاقْتَصَرَ عَلَيْهَا فِي الرَّوْضَةِ وَإِشْعَارًا فِي الثَّانِيَةِ ، وَتَبْطُلُ بِهِ صَلَاتُهُ .

“Perbedaan pendapat yang terjadi adalah pada doa ma’tsur. Adapun doa yang tidak ma’tsur (tidak berasal dalil dari Al Quran dan As Sunnah), maka tidak boleh doa atau dzikir tersebut dibuat-buat dengan selain bahasa Arab lalu dibaca di dalam shalat. Seperti itu tidak dibolehkan sebagaimana dinukilkan oleh Ar Rofi’i dari Imam Syafi’i sebagai penegasan dari yang pertama. Sedangkan dalam kitab Ar Roudhoh diringkas untuk yang kedua. Juga membaca doa seperti itu dengan selain bahasa Arab mengakibatkan shalatnya batal.” (Mughnil Muhtaj, 1: 273).

Bacaan Tasyahud, Perlukah Diganti Assalamu ‘alan Nabi?
------------------------------------------------
Bacaan tasyahud di dalamnya disebutkan assalamu ‘alaika ayyuhan nabi, artinya salam untukmu wahai Nabi. Ini menggunakan lafazh orang kedua, seperti orang yang diajak bicara. Sedangkan dalam beberapa riwayat disebutkan lafazh tersebut hendaknya diganti dengan kata ganti orang ketiga menjadi ‘assalamu ‘alan nabi’, artinya salam bagi nabi. Apakah perlu mengganti dengan lafazh orang ketiga ataukah tetap seperti yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan?

Perlu dipahami bahwa hadits-hadits yang membicarakan bacaan tasyahud, yang lebih sempurna adalah bacaan dari Ibnu ‘Abbas. Demikian pandangan dari ulama Syafi’iyah.

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Bacaan tasyahud yang paling sempurna menurut kami adalah bacaan tasyahud dari Ibnu ‘Abbas, lalu bacaan dari Ibnu Mas’ud, lalu bacaan dari Ibnu ‘Umar.” (Al Majmu’, 3: 304). Hal yang sama juga dikatakan oleh Imam Nawawi dalam Roudhotuth Tholibin, 1: 186.

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

عَلَّمَنِى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَكَفِّى بَيْنَ كَفَّيْهِ التَّشَهُّدَ ، كَمَا يُعَلِّمُنِى السُّورَةَ مِنَ الْقُرْآنِ التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ .وَهْوَ بَيْنَ ظَهْرَانَيْنَا ، فَلَمَّا قُبِضَ قُلْنَا السَّلاَمُ . يَعْنِى عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم

“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajariku tasyahud -dan telapak tanganku berada di dalam genggaman kedua telapak tangan beliau– sebagaimana beliau mengajariku surat dalam Al Qur’an: ‘At tahiyyaatu lillaah, wash shalawaatu wath thayyibaat, assalaamu’alaika ayyuhan-nabiyyu warahmatullaahi wa barakaatuh, as-salaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillaahish-shaalihiin. Asyhadu al-laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuuluh (artinya: Segala ucapan selamat, shalawat, dan kebaikan adalah bagi Allah. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan kepadamu wahai Nabi beserta rahmat Allah dan barakah-Nya. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan pula kepada kami dan kepada seluruh hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba-Nya dan utusan-Nya)’. Bacaan itu kami ucapkan ketika beliau masih ada di antara kami. Adapun setelah beliau meninggal, kami mengucapkan ‘as salaamu ‘alan Nabiy (shallallaahu ‘alaihi wa sallam)” ” (HR. Bukhari no. 6265).

Guru kami, Syaikh Abdul Aziz Ath Thorifi hafizhahullah menuturkan bahwa amalan tersebut hanyalah amalan sahabat Nabi. Namun tidak mengapa mengamalkan semuanya. Para sahabat ketika bersafar saja masih mengucapkan assalamu’alaika ayyuhan nabi dalam tasyahud, tidak beralih mengganti menjadi assalamu ‘alan nabi. Jadi, lafazh tasyahud tetap sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan. Oleh karenanya Ibnu Mas’ud mengatakan, “Demikianlah yang diajarkan kepada kami dan demikian yang kami ajarkan.” Maksudnya adalah kami mengajarkan kepada yang lainnya seperti yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan tanpa ada penambahan ataukah pengurangan. Siapa yang mengamalkan seperti yang Ibnu Mas’ud amalkan, maka tidaklah masalah, itulah asalnya. Siapa yang mengamalkan seperti yang diamalkan oleh Ibnu ‘Abbas dan juga yang diceritakan oleh ‘Atho dari beberapa sahabat, tidaklah masalah.” (Lihat Sifat Shalat Nabi karya Syaikh Ath Thorifi, hal. 143).

Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) pernah ditanya, “Dalam tasyahud apakah seseorang membaca bacaan “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi” atau bacaan “assalamu ‘alan nabi”? ‘Abdullah bin Mas’ud pernah mengatakan bahwa para sahabat dulunya sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, mereka mengucapkan “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi”. Namun setelah beliau wafat, para sahabat pun mengucapkan “assalamu ‘alan nabi”.

Jawab para ulama yang berada di komisi fatwa tersebut, “Yang lebih tepat, seseorang ketika tasyahud dalam shalat mengucapkan “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi wa rohmatullahi wa barokatuh”. Alasannya, inilah yang lebih benar yang berasal dari berbagai hadits. Adapun riwayat Ibnu Mas’ud mengenai bacaan tasyahud yang mesti diganti setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat –jika memang itu benar riwayat yang shahih-, itu hanyalah hasil ijtihad dari Ibnu Mas’ud dan tidak bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang ada. Seandainya ada perbedaan hukum bacaan antara sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan setelah beliau wafat, maka pasti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang akan menjelaskannya pada para sahabat.

(Fatawa Al Lajnah Ad Daimah no. 8571, pertanyaan pertama. Yang menandatangani fatwa ini adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz selaku ketua, Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi selaku wakil ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud dan ‘Abdullah bin Ghodyan selaku anggota)

Semoga bermanfaat.



Shared from Rumaysho.com for android http://bit.ly/Rumaysho

Selengkapnya..

Masalah Sirr Sebagian Bacaan Doa Qunut

Sebagaimana yang kita telah ketahui membaca Qunut dalam shalat Shubuh menurut mazhab Asy Syafi’iyyah adalah disunnahkan. Adapun lafadz Qunut yang masyhur dibaca adalah :

اللّهم اهدِنا فيمَن هَديْت و عافِنا فيمَن عافيْت و تَوَلَّنا فيمَن تَوَلَّيْت و بارِك لَنا فيما أَعْطَيْت
و قِنا واصْرِف عَنَّا شَرَّ ما قَضَيت فإنك تَقضي ولا يُقضى عَليك فإنَّهُ لا يَذِّلُّ مَن والَيت وَلا يَعِزُّ من عادَيت تَبارَكْتَ رَبَّنا وَتَعا ليتْ َفلكَ الحَمدُ عَلى ما قَضَيْت نَستَغفِرُكَ ونَتوبُ اليك
وصلي الله علي سيدنا محمد النبي الأمي وعلي أله وصحبه وسلم

“Ya Allah, berilah aku petunjuk seperti orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk. BErilah aku kesehatan seperti orang yang telah Engkau beri kesehatan. Pimpinlah aku bersama-sama orang-orang yang telah Engkau pimpin. Berilah berkah pada segala apa yang telah Engkau pimpin. Berilah berkah pda segala apa yang telah Engkau berikan kepadaku. Dan peliharalah aku dari kejahatan yang Engkau pastikan. Karena, sesungguhnya Engkaulah yang menentukan dan tidak ada yang menghukum (menentukan) atas Engkau. Sesungguhnya tidaklah akan hina orang-orang yang telah Engaku beri kekuasaan. Dan tidaklah akan mulia orang yang Engkau musuhi. Maha berkahlah Engkau dan Maha Luhurl`h Engkau. Segala puji bagi-Mu atas yang telah engkau pastikan. Aku mohon ampun dan kembalilah (taubat) kepada Engkau. Semoga Allah memberi rahmat, berkah dan salam atas nabi Muhammad beserta seluruh keluarganya dan sahabatnya.”

Dan biasanya pada pertengahan bacaan Qunut, yakni dilafadz, ‘ Fainnaka Taqdi…” imam-imam shalat di Indonesia membacanya dengan sirr (pelan). Kenapa demikian ?

Ternyata dalam mazhab syafi’iyyah sendiri hal ini diperselisihkan.  Sebagian ulama syafi’iyyah tetap menganjurkan bagi imam untuk membacanya dengan keras, sedangkan menurut sebagian ulama yang lain cara  membacanya adalah dengan pelan. Berikut penjelasan masing-masing pendapat.

1.     Pendapat yang mengatakan tetap dibaca Jahr

Sebagaian ulama syafi’iyya berpendapat bahwa bacaan Qunut dibaca Jahr (keras) dari awal sampai akhir kalimat. Hal ini karena semua lafadz Qunut adalah  bacaan yang sudah selayaknya dibaca dari awal sampai akhir.[1]  Dalil pendapat ini adalah riwayat yang berbunyi :

“Sesungguhnya Rasulullah shalallahu‘alaihi wassalam ketika hendak mendoakan keburukan atas seseorang atau mendoakan kebaikan beliau berdoa setelah ruku’. Terkadang ketika beliau mengucapkan sami’allah liman hamidah beliau berdoa  ‘Ya Allah Tuhan kami, bagiMu segala puji. Ya Allah selamatkanlah al-Walid ibnu al-Walid, salamah bin hisyam, ‘iyasy bin abi robi’ah. Ya Allah kuatkanlah siksaanMu atas Mudlar. Jadikanlah balasanMu itu bertahun-tahun seperti tahun-tahun Yusuf.’ Dan beliau mengeraskan bacaan tersebut.” (HR. Bukhari)

Menurut pendapat ini, ketika bacaan imam sampai dilafadz ‘ Fainnaka Taqdi…” makmum boleh : (1) Turut membaca bersama imam, atau  (2) mengaminkan, atau (3) membaca asyhadu, atau  (4) membaca Shodaqta wabararta.[2]

Pendapat pertama ini yang dirajihkan oleh imam an Nawawi rahimahullah.[3]

2.     Pendapat yang mengatakan dibaca Sirr

Sedangkan sebagian ulama Syafi’iyyah lainnya, diantaranya imam Ramli dan al Ghazali berpendapat pada lafadz yang telah disebutkan bacaan imam hendaknya disirrkan. Hal ini karena lafadz yang dipelankan tersebut bukanlah doa tapi berupa dzikir, pujian dan sanjungan kepada Allah.[4]

Adapun bagi makmum, maka dalam kondisi sirr tersebut, dia boleh membaca dengan suara sirr pula boleh juga membaca dengan doa-doa yang lain yang ia kehendaki.

Demikian permasalahan tentang sir dan tidaknya sebagian bacaan Qunut. Silahkan diamalkan sesuai keyakinan dan kesanggupan masing-masing. Wallahu a’lam.

---------------
[1] Fath al Wahhaab  (1/78),
( و ) أن ( يؤمن مأموم ) جهرا ( للدعاء ويقول الثناء ) سرا أو يستمع لإمامه كما في الروضة كأصلها أو يقول أشهد كما قاله المتولي والأول أولى ودليله الاتباع رواه الحاكم وأول الثناء إنك تقضي هذا

Busyr al kariim  (1/ 80).
و يسن الجهر به اى بما مر من القنوت ولو الثناء والصلاة والسلام للامام

[2] Mughni al Muhtaaj ( I/167)
( ويقول الثناء ) سرا وهو فإنك تقضي إلى آخره لأنه ثناء وذكر فكانت الموافقة فيه أليق وفي الروضة وأصلها أنه يقول الثناء أو يسكت وقال المتولي أو يقول أشهد وقال الغزالي أو صدقت وبررت
Fiqhul Islami Wa adillatuhu (1/814).
 والإمام يجهر بالقنوت ، اتباعا للسنة ، ويؤمن المأموم للدعاء إلى قوله ; وقني شرما قضيت ، ويجهر به كما فى تأمين القراءة ، و يقول الثناء سرا بدءا من قوله ; فإنك تقضى .. الخ ; لأنه ثناء وذكر فكانت الموافقة فيه أليق ، أو يقول ; أشهد ، و الأول أولى ، وقال بعضهم ; الثانى أولى . فإن لم يسمع الإمام قنت ندبا معه سرا كسائر الدعوات و الأذكار التى لايسمعها.

[3] Al Majmu’ asy Syarh al Muhadzab (2/483).
السادسة إذا قنت الإمام فى الصبح هل يجهر بالقنوت فيه وجهان مشهوران عند الخراسانين وحكاهما جماعة من العراقيين ومنهم صاحب الحاوي أحدهما لا يجهر كالتشهد وكسائر الدعوات وأصحهما يستحب الجهر وبه قطع أكثر العراقيين يحتج له بالحديث الذي سنذكره إن شاء الله تعالى قريبا عن صحيح البخاري قى قنوت النازلة وبالقياس على ما لو سأل الرحمة أو إستعاذ من العذاب فى أثناء القرأة فإن المأموم يوافقه فى السؤال ولا يؤمن وبهذا استدل المتولي وأما المنفرد فيسر به بلا خلاف صرح به الماوردي والبغوي وغيرهما وأما المؤموم فإن قلنا لا يجهر الإمام قنت وأسر وان قلنا يجهر الإمام فان كان يسمع الإمام فوجهان مشهوران للخراسانين أصحهما يؤمن على دعاء الإمام ولا يقنت وبهذا قطع المصنف والاكثرون والثاني يتخير بين التأمين والقنوت فان قلنا يؤمن فوجهان أحدهما يؤمن فى الجميع وأصحهما وبه قطع الأكثرون يؤمن فى الكلمات الخمس التي هي دعاء وأما الثناء وهو قوله فإنك تقضي ولا يقضى عليك الى اخره فيشاركه فى قوله أو يسكت والمشاركة أولى لأنه ثناء وذكر لا يليق فيه التأمين وإن كان لا يسمع الإمام لبعد او غيره وقلنا لو سمع لأمن فهنا وجهان أصحهما يقنت والثاني يؤمن وهما كالوجهين فى إستحباب قراءة السورة إذا لم يسمع قراءة الإمام هذا كله فى الصبح ( المجموع شرح المهذب ج : 3 ص : 502 )

[4] Nihayatul Muhtaj  (1/507).

http://www.konsultasislam.com/2015/11/masalah-sirr-sebagian-bacaan-qunut.html

Selengkapnya..

IMAN KEPADA MALAIKAT

Ahlus Sunnah mengimani adanya Malaikat yang ditugaskan Allah di dunia dan di akhirat. Malaikat adalah alam ghaib, makhluk, dan hamba Allah Azza wa Jalla. Malaikat sama sekali tidak memiliki keistimewaan Rububiyyah dan Uluhiyyah. Allah menciptakannya dari cahaya serta memberikan ketaatan yang sempurna serta kekuatan untuk melaksanakan ketaatan itu.
Dalil bahwa Malaikat diciptakan dari cahaya adalah hadits dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
خُلِقَتِ الْمَلاَئِكَةُ مِنْ نُوْرٍ وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ.
“Malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari api yang menyala-nyala, dan Adam Alaihis sallam diciptakan dari apa yang telah disifatkan kepada kalian.” [1]
Malaikat adalah makhluk Allah yang besar seperti disebutkan dalam ayat-ayat Al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang shahih, seperti sifat para Malaikat yang memikul ‘Arsy.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya Malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” [At-Tahrim: 6]
Malaikat tidak membutuhkan makan dan minum, seperti kisah Nabi Ibrahim Allaihis sallam dengan tamu-tamu Malaikatnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَاهِيمَ الْمُكْرَمِينَ إِذْ دَخَلُوا عَلَيْهِ فَقَالُوا سَلَامًا ۖ قَالَ سَلَامٌ قَوْمٌ مُنْكَرُونَ فَرَاغَ إِلَىٰ أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ فَأَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيفَةً ۖ قَالُوا لَا تَخَفْ ۖ وَبَشَّرُوهُ بِغُلَامٍ عَلِيمٍ
“Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tamu Ibrahim (Malaikat-malaikat) yang dimuliakan. (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: ‘Salaman,’ Ibrahim menjawab: ‘Salamun,’ (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal. Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk (yang dibakar), lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim berkata: ‘Silahkan kamu makan.’ Tetapi mereka tidak mau makan karena itu Ibrahim merasa takut kepada mereka. Mereka berkata: ‘Janganlah kamu takut.’ Dan mereka memberi kabar gembira kepadanya (dengan) kelahiran seorang anak yang ‘alim (Ishaq).” [Adz-Dzaariyaat: 24-28]
Juga dalam ayat yang lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلَمَّا رَأَىٰ أَيْدِيَهُمْ لَا تَصِلُ إِلَيْهِ نَكِرَهُمْ وَأَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيفَةً ۚ قَالُوا لَا تَخَفْ إِنَّا أُرْسِلْنَا إِلَىٰ قَوْمِ لُوطٍ
“Maka tatkala dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka, dan merasa takut kepada mereka. Malaikat itu berkata: ‘Jangan kamu takut, sesungguhnya kami adalah (Malaikat-malaikat) yang diutus kepada kaum Luth.’” [Huud: 70]
Tentang ketaatan Malaikat, Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَمَنْ عِنْدَهُ لَا يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَلَا يَسْتَحْسِرُونَ يُسَبِّحُونَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لَا يَفْتُرُونَ
“Dan Malaikat yang ada di sisi-Nya, mereka tidak angkuh untuk beribadah kepada-Nya dan tidak (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.” [Al-Anbiyaa: 19-20]
Malaikat berjumlah sangat banyak, dan tidak ada yang dapat menghitungnya kecuali Allah.
Dalam hadits al-Bukhari dan Muslim yang diriwayatkan dari Malik bin Sha’sha’ah Radhiyallahu anhu, tentang kisah Mi’raj Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bahwa Allah telah memperlihatkan al-Baitul Ma’mur di langit kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Tempat itu setiap hari didatangi oleh 70.000 Malaikat untuk mengerjakan shalat di sana. Setiap kali mereka keluar dari tempat itu, mereka tidak kembali lagi.[2]
Iman kepada Malaikat mengandung empat unsur:
1. Mengimani wujud mereka.
2. Mengimani nama-nama Malaikat yang kita kenali, seperti Jibril, Mika-il, Israfil dan juga nama-nama Malaikat lainnya yang sudah diketahui.
3. Mengimani sifat-sifat mereka yang kita kenali, seperti sifat bentuk Jibril, sebagaimana yang pernah dilihat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang mempunyai 600 sayap yang menutup ufuk[3]. Setiap Malaikat mempunyai sayap sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
الْحَمْدُ لِلَّهِ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ جَاعِلِ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا أُولِي أَجْنِحَةٍ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۚ يَزِيدُ فِي الْخَلْقِ مَا يَشَاءُ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Segala puji bagi Allah, Pencipta langit dan bumi, Yang men-jadikan Malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus ber-bagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha-kuasa atas segala sesuatu.” [Faathir: 1]
Malaikat bisa saja menjelma menjadi seorang laki-laki, seperti yang pernah terjadi pada Malaikat Jibril ketika diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menjumpai Maryam. Jibril menjelma menjadi seorang manusia yang sempurna.
4. Mengimani tugas-tugas yang diperintahkan Allah kepada mereka yang sudah kita ketahui, seperti membaca tasbih dan beribadah kepada Allah Azza wa Jalla siang malam tanpa merasa lelah.[4]
Dan di antara mereka ada yang mempunyai tugas-tugas tertentu, misalnya:
1. Malaikat Jibril yang dipercayakan menyampaikan wahyu Allah kepada para Nabi dan Rasul.
2.Malaikat Mika-il yang diserahi tugas menurunkan hujan dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan.
3. Malaikat Israfil yang diserahi tugas meniup Sangkakala di hari Kiamat dan di hari kebangkitan makhluk.
4. Malaikat Maut yang diserahi tugas mencabut nyawa seseorang.
5. Malaikat yang diserahi tugas menjaga Surga dan Neraka.
6. Malaikat yang ditugaskan meniupkan ruh pada janin dalam rahim, yaitu ketika janin telah mencapai usia 4 bulan di dalam rahim, maka Allah Azza wa Jalla mengutus Malaikat untuk menuliskan rizki, ajal, amal, celaka dan bahagianya, lalu meniupkan ruh padanya.[5]
7. Para Malaikat yang diserahi menjaga dan menulis semua perbuatan manusia. Setiap orang yang dijaga oleh dua Malaikat, yang satu pada sisi kanan dan yang satunya lagi pada sisi kiri.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“(Yaitu) ketika dua orang Malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya Malaikat pengawas yang selalu hadir.” [Qaaf: 17-18]
8. Para Malaikat yang diserahi tugas menanyai mayit, yaitu apabila mayit telah dimasukkan ke dalam kuburnya, maka akan datanglah dua Malaikat yang bertanya kepadanya tentang Rabb-nya, agamanya dan Nabinya.[6]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. HR. Ahmad (VI/153) dan Muslim (no. 2996 (60)).
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 3207, 3887), Muslim (no. 164) dan Ahmad (IV/207-208), dari Sahabat Malik bin Sha’sha’ah .
[3]. HR. Ahmad (I/460), sanadnya shahih. Lihat ‘Aalamul Malaa-ikah oleh Dr. ‘Umar Sulaiman al-Asyqar, cet. Darun Nafa-is, th. 1412 H.
[4]. Lihat QS. Al-Anbiyaa’: 19-20, ash-Shaaffat: 165-166, al-Mu’min: 7, dan asy-Syuura: 5.
[5]. HR. Al-Bukhari (no. 3208, 3332, 6594) dan Muslim (no. 2643), dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu.
[6]. Lihat Syarah Ushuulil Iimaan (hal. 27-31) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin. Pembahasan lengkap tentang Malaikat dapat dilihat dalam kitab ‘Aalamul Malaa-ikah, oleh Dr. ‘Umar Sulaiman al-Asyqar, cet. Darun Nafa-is, th. 1412 H.


Sumber: https://almanhaj.or.id/3256-ru-yatullaah-melihat-allah-pada-hari-kiamat-iman-kepada-malaikat.html

Selengkapnya..

MERAMPAS TANAH DAN MENGUBAH TANDA BATAS TANAH

Merampas tanah adalah sebuah perbuatan zhalim yang banyak terjadi di masyarakat, termasuk juga dilakukan oleh banyak petani. Perbuatan ini banyak dianggap sebagai perkara yang sepele pada masa sekarang. Mereka para pelaku perbuatan ini menganggap remeh perkara ini bahkan menganggap hal yang biasa terjadi di masyarakat. Padahal merampas tanah termasuk suatu perbuatan yang tergolong dosa besar dan pelakunya diancam di akherat dengan adzab yang keras dan pedih akherat.

Mengenai masalah mengambil tanah orang lain tanpa izin pemiliknya ada beberapa hadits yang akan disebutkan diantaranya;

1.Hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha bahwasanya telah bersabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ ظَلَمَ قِيْدَ شِبْرٍ مِنَ الأَرْضِ طُوِّقَهُ مِنْ سَبْعِ أَرَضِيْنَ
“Barang siapa yang berbuat zhalim (dengan mengambil) sejengkal tanah maka dia akan dikalungi (dengan tanah) dari tujuh lapis bumi.” [1]

2.Hadits yang diriwayatkan dari Sa’id bin Zaid rodhiyallohu ‘anhu bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berasabda:

مَنْ ظَلَمَ مِنَ الأَرْضِ شَيْئًا طُوِّقَهُ مِنْ سَبْعِ أَرَضِيْنَ
“Barang siapa yang mengambil sejengkal tanah secara zhalim maka dia akan dikalungit (dengan tanah) dari tujuh lapis bumi.”[2]

3.Hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar rodhiyallohu ‘anhuma, dia berkata bersabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ أَخَذَ مِنَ الأَرْضِ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ خُسِفَ لَهُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى سَبْعِ أَرَضِيْنَ
“Barang siapa yang mengambil tanah (meskipun) sedikit tanpa haknya maka dia akan ditenggelamkan dengan tanahnya pada hari kiamat sampai ke dasar tujuh lapis bumi.”[3]

4.Hadits yang diriwayatkan dari Ya’la bin Murrah rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata telah bersabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam:

أَيُّمَا رَجُلٍ ظَلَمَ شِبْرًا مِنَ الأَرْضِ كَلَّهُ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ أَنْ يَحْفِرَهُ حَتَّى يَبْلُغَ آخِرَ سَبْعِ أَرَضِيْنَ, ثُمَّ يُطَوِّقَهُ إَلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَقْضَى بَيْنَ النَّاسِ
“Siapa saja orang yang menzhalimi (dengan) mengambil sejengkal tanah (orang lain), niscaya Alloh akan membebaninya hingga hari kiamat dari tujuh lapis bumi, lalu Alloh akan mengalungkannya (di lehernya) pada hari kiamat sampai seluruh manusia diadili.”[4]

5.Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Tsabit rodhiyallohu ‘anhu, ia berkata; aku mendengar Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَخَذَ اَرْضًا بِغَيْرِ حَقِّهَا كُلِّفَ أَنْ يَحْمِلَ تُرَابَهَا إِلَى الْمَحْشَرِ
“Barangsiapa yang mengambil tanah tanpa ada haknya, maka dia akan dibebani dengan membawa tanahnya (yang dia rampas) sampai ke padang mahsyar”[5]

Itulah beberapa hadits yang menerangkan tentang masalah merampas atau mengambil tanah yang dapat di ambil banyak pelajaran, diantarnya:

Kerasnya siksa bagi pelakunya
---------------------------
Berkata Syaikh Salim Al-Hilali menerangkan bentuk adzabnya: “Maksud dari dikalungi dari tujuh lapis bumi adalah Alloh membebaninya dengan apa yang dia ambil (secara zhalim) dari tanah tersebut, pada hari kiamat sampai ke padang mahsyar dan menjadikannya sebagaimana membebani di lehernya atau dia disiksa dengan menenggelamkan ke tujuh lapis bumi, dan mengambil seluruh tanah tersebut dan dikalungkan di lehernya.”[6]-

Semantara Syaikh Abdullah Al-Bassam menjelaskan: “Oleh karena itu Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwasanya barangsiapa yang mengambil tanah orang tanpa izinnya (merampasnya) baik sedikit ataupun banyak maka dia datang pada hari kiamat dengan adzab yang berat, dimana lehernya menjadi keras dan panjang kemudian dikalungkan tanah yang dirampasnya dan apa yang berada di bawahnya sampai tujuh lapis bumi sebagai balasan baginya yang telah merampas tanah.”[7]

Demikian juga Syaikh Utsaimin menjelaskan bagaimana adzab bagi orang yang merampas tanah orang lain dengan mengatakan: “Manusia jika merampas sejengkal tanah maka dia akan dikalungi dengan tujuh lapis bumi pada hari kiamat, maksudnya menjadikan baginya kalung pada lehernya, kita berlindung kepada Alloh, dia membawanya di hadapan seluruh manusia, di hadapan seluruh makhluk, dia dihinakan pada hari kiamat.”[8]

Sebuah Kezhaliman dan Dosa Besar
----------------------
Merampas tanah merupakan kezhaliman, termasuk dosa besar dan kita harus menghindarinya baik sedikit ataupun banyaknya, sempit maupun luasnya karena tetap saja itu haram dan merupakan dosa besar.

Berkata Syaikh Al Utsaimin rohimahulloh, “Hadits ini memberikan contoh jenis dari macam-macam perbuatan zhalim yaitu kezhaliman dalam masalah tanah, dan masalah merampas tanah termasuk dosa besar.
Dan sabdanya (sejengkal tanah) bukanlah ini bentuk penentuan kadar tetapi bentuk mubalaghah (kiasan) yaitu berarti jika merampas kurang dari sejengkal tanah juga tetap dikalungkan. Orang arab menyebutkannya sebagai bentuk mubalaghah yaitu walaupun sekecil apa pun maka akan dikalungkan kepadanya pada hari kiamat.”[9]

Syaikh Saliem mengaskan: “Kandungan dari hadits (di atas) adalah janganlah meremehkan kezhaliman meski sekecil apapun (walaupun Cuma merampas sejengkal tanah), dan merampas tanah termasuk dosa besar.”[10]

Pemilik bagian atas dan bawahnya
---------------------------------
Dari hadits-hadits di atas juga dapat diambil pelajaran bahwa orang yang memiliki tanah maka dia memiliki juga bagian bawah sampai tujuh lapis bumi dan juga bagian atas berupa ruang udara.

Syaikh Utsaimin rohimahulloh menjelaskan: “Di dalam Hadits ini (hadits ‘Aisyah) menunjukkan dalil bahwa orang memiliki tanah maka dia memiliki juga (tanah) bagian bawahnya sampai tujuh lapis bumi, tidaklah boleh seseorang melubangi kecuali dengan izinnya. Misalkan kamu ditakdirkan mempunyai tanah seluas tiga meter persegi dan sekeliling (tanahmu) adalah tanah milik tetanggamu, kemudian tetanggamu bermaksud untuk membuat lubang/terowongan diantara tanahnya, dan melewati bagian bawah tanahmu maka tidaklah dia dibenarkan dalam hal ini karena kamu memiliki tanah dan apa saja yang berada di bawah tanah tersebut sampai tujuh lapis bumi. Sebagaimana juga ruang udara (di atas tanahmu) adalah milikmu sampai ke langit. Maka seseorang tidak bisa untuk membangun atap kecuali dengan izinmu. Oleh karena itu berkata ulama, ‘Udara itu mengikuti apa yang tetap (tanah), dan tanah itu sampai tujuh lapis bumi. Jadi seseorang (yang memiliki tanah) mempunyai bagian atas bagian bawah (dari tanahnya), tidak boleh seseorang (merampasnya).

Berkata Syaikh ‘Utsaimin menyebutkan bahwa para ulama berkata, ‘Seandainya tetanggamu memiliki pohon, kemudian dahannya memanjang ke tanahmu dan ranting-rantingnya menjadi menutupi tanahmu, maka sesungguhnya tetanggamu harus membenggokkan (dahan tersebut) dari tanahmu, jika tidak memungkinkan untuk dibengkokkan maka (dahan tersebut) harus dipotong, kecuali kamu mengizinkan keberadaannya, karena ruang udara (di atas tanahmu) adalah milikmu, mengikuti (kepemilikkan) apa yang tetap (tanah).”[11]

Berkata Syaikh Saliem: “Barangsiapa memiliki tanah, maka berarti dia memilikinya dari bawah sampai atas. Dan dia berhak melarang orang menggali bagian yang berada di bawah tanahnya, baik berupa lubang ataupun sumur tanpa meminta izin dan persetujuan darinya. Dan dia juga merupakan pemilik tambang dan barang-barang berharga berharga dibawahnya. Dia boleh memperdalam lubang di bawah tanahnya sekehendak hatinya selama tidak membahayakan orang lain yang bertetangga dengannya.”[12]

Kemudian Syaikh Abdullah Al-Bassam melanjutkan penjelasannya: “Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini (Hadits Aisyah rodhiyallohu ‘anha): Bahwa perampasan tanah itu adalah haram baik sedikit maupun banyak, inilah faidah penyebutan kata sejengkal tanah, Benda yang diam (tanah) merampasnya dengan cara menguasainya. Berkata Al-Qurthubi : “Dari hadits ini memungkinkan merampas tanah termasuk dosa besar.”, dan Sesungguhnya orang yang memiliki permukaan tanah dia juga memiliki bagian bawahnya maka tidak boleh seseorang melubangi dari bawah atau membuat lubang atau sumur atau selainnya (ditanah orang lain).” [13]

Bumi terdiri dari tujuh lapis
------------------------
Dalam hadits di atas juga terdapat pelajaran bahwa bumi itu tersusun dari tujuh lapis sebagimana langit yang terdiri lapis, berkata Syaikh Saliem: “Bumi ini terdiri dari tujuh lapis, yang antara satu lapisan dengan yang lainnya tidak saling terpisah. Seandainya lapisan tanah itu terpisah-pisah, niscaya cukup bagi perampas tanah untuk dikalungi tanah yang dirampasnya saja, karena terpisahannya dari tanah yang berada di bawahnya. Wallohu a’lam. Tanah tujuh lapis itu bertingkat-tingkat sebagaimana halnya dengan langit. Hal itu tampak pada lahiriyah firman Alloh subhanahu wa ta’ala

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ  [الطلاق : 12]

“Alloh yang menciptakan tujuh lapis langit dan bumi seperti itu pula.” (QS. Ath Thalaq: 12)”[14]

Berkata Syaikh Al Utsaimin rohimallohu: “Kesempurnaan siksa yang lain (selain laknat dari Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam) adalah apa yang disebutkan dalam hadits ini (Hadits ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha) bahwa jika seseorang merampas sejengkal tanah saja maka dia akan dikalungi dengan (tanah yang dirampas) sampai tujuh lapis bumi pada hari kiamat, karena bumi itu terdiri dari tujuh lapis, sebagaimana yang datang dari as-Sunnah yang jelas, dan sebagaimana yang Alloh subhanahu wa ta’ala sebutkan di dalam al-Quran yaitu yang ditunjukkan dalam firman-Nya subhanahu wa ta’ala:

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ  [الطلاق : 12]

“Alloh-lah yang menciptakan tujuh lapis langit dan begitu pula bumi.” (QS. Ath Thalaq : 12)

dan sudah ketahui bahwa permisalan di sini bukanlah bentuknya, karena di antara langit dan bumi terdapat perbedaan yang jauh. Langit jauh lebih besar , lebih luas dan lebih agung dari bumi. Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman:

{وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ} [الذاريات : 47]

“Dan langit itu dibangun dengan dengan tangan.” (Adz Dzariyat: 47) , maksudnya dengan kuat dan Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman:

 {وَبَنَيْنَا فَوْقَكُمْ سَبْعًا شِدَادًا} [النبإ : 12]

“Dan Kami bangun di atasmu tujuh langit yang kokoh” (An Naba’ : 12).”[15]

Pengubahan Tanda Batas Tanah
----------------------------------
Kemudian masalah yang kedua adalah merubah tanda batas tanah. Dalil tentang larangan merubah tanda batas adalah hadits yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib ra, dia berkata: ” Rosululloh memberitahukan kepadaku empat kalimat

لَعَنَ اللهُ مُنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ, لَعَنَ اللهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ, لَعَنَ اللهُ مَنَ آوَى مُحْدِثًا, لَعَنَ اللهُ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الأَرْضِ

, ‘Alloh melaknat orang yang menyembelih bagi selain Alloh; Alloh melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya; Alloh melaknat orang yang memberi perlidungan orang yang mengada-adakan sesuatu yang baru (bid’ah); dan Alloh melaknat orang yang merubah tanda batas tanah.” (HR. Imam Muslim dari berbagai jalur).

Perkataan Alloh melaknat maksudnya penjauhan dari rahmat Alloh .

Berkata Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rohimahulloh: “Alloh melaknat orang yang merubah tanda batas tanah (Manarul Ardhi) yaitu tanda atau simbol yang membedakan antara tanah yang menjadi hakmu dan menjadi hak tetanggamu, kemudian kamu merubah batasnya dengan memajukan tanda tersebut atau memundurkannya.”[16]

Berkata Syaikh Al-Utsaimin rohimallohu: “Perkataan ‘Manarul Ardhi’ berarti tanda-tanda pembatas tanah yang telah ditetapkan antar tetangga (antar para pemilik tanah). Siapa yang mengubahnya secara zhalim maka dia terlaknat. Berapa banyak orang yang mengubah batas tanah, apalagi apabila nilai jual tanah itu tinggi, tanahnya subur dengan lokasi yang strategis. Mereka tidak tahu bahwa Nabi bersabda: “Barangsiapa mengambil tanah secara zhalim maka dia akan dibenamkan ke dalam tujuh lapis bumi.” Jadi masalah ini tidak bisa dianggap enteng. Padahal orang yang menyerobot tanah dan mengubah tanda pembatas tanah serta mengambil sesuatu yang bukan haknya tidak tahu bahwa ternyata dia tidak dapat mengambil manfaat dari tanah yang diserobotnya itu karena keburu meninggal dunia sebelum dapat mengambil manfaat darinya atau kemungkinan dia mendapat bencana dari apa yang dia ambilnya.

Kesimpulannya, hadits ini merupakan dalil bahwa mengubah tanda batas tanah termasuk dosa besar, karena itulah Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam menggabungkan dengan syirik, durhaka kepada kedua orang tua, dan perbuatan bid’ah. Ini menunjukkan yang demikian itu merupakan masalah yang besar, yang harus dihindari oleh manusia dan hendaknya dia takut kepada Alloh.” [17]

Solusi dari dua masalah di atas:
---------------------------------
Bagi para perampas tanah orang lain maka wajib bagi dia mengembalikan tanah yang dia ambil itu kepada pemiliknya.

Berkata Syaikh Abdul Azhim Al Badawi: “Barangsiapa yang merampas tanah kemudian menanaminya atau membangun di dalam tanah tersebut, maka diharuskan untuk mencabut tanamannya dan menghancurkan bangunannya. Karena sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam:

لَيْسَ لِعِرْقٍ ظَالِمٍ حَقٌّ

”Tidak ada hak bagi akar yang zhalim.”[18]

Dan apabila dia menanam tanamannya dengan biaya, maka dia mengambil biayanya dan tanaman bagi pemilik tanah. Dari Rafi’ bin Khudaij rodhiyallohu ‘anhu Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ زَرَعَ فِيْ أَرْضِ قَوْمٍ بِغَيْرِ إِذْنِهِمْ فَلَيْسَ لَهُ مِنَ الزَّرْعِ شَيْءٌ, وَ لَهُ نَفَقَتُهُ

“Barangsiapa menanam di tanah suatu kaum dengan tanpa izin mereka maka tidak ada baginya (hak) dari tanaman itu sedikitpun, dan baginya biaya penanamannya.” [19]

Berkata Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi[20]: “Jika barang yang dirampas berupa tanah, kemudian perampas membangun rumah di atasnya ataupun menanam tanaman di atasnya maka rumah tersebut harus dirobohkan/dihancurkan dan tanaman itu harus dicabut, dan tanah tersebut harus diperbaiki kerena kerusakan yang disebabkan pembangunan rumah dan penanaman tanaman tersebut. Atau rumah itu tidak dirobohkan dan tanaman tersebut tidak dicabut, sebagai gantinya perampas meminta ganti atas biaya pembangunan rumah tersebut atau biaya penanaman tanaman tersebut namun itupun jika pemilik tanah menyetujuinya. Karena Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada hak pada tanaman atau bangunan di tanah orang lain tanpa izinnya.”[21]

Perkataan beliau juga diperkuat dengan hadits dari Urwah bin Az-Zubair, dia berkata: telah berkata seorang dari sahabat Rosululloh berkata: sesungguhnya ada dua orang bertengkar mengadu kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tentang masalah tanah. Salah seorang di antara mereka telah menanam pohon kurma di atas tanah milik yang lain. Maka Rosululloh memutuskan tanah tetap menjadi milik si empunya dan menyuruh pemilik pohon kurma untuk mencabut pohon kurmanya dan beliau bersabda: “Akar yang zhalim tidak mempunyai hak.”

Demikianlah penjelasan dari masalah ini, semoga petani bisa menghindarinya, karena masalah ini sering terjadi di masyarakat dan hendaknya berhati-hati darinya karena termasuk dosa besar dan ancaman siksanya sangat keras dan pedih. Dan apabila diantara kita ada yang telah melakukan perampasan tanah maka segeralah dikembalikan tanah rampasan tersebut sebelum menjadi siksa di akherat. Marilah kita berusaha dengan cara yang halal dan baik dan janganlah kita memberi makan keluarga dengan cara yang haram dan bathil. Firman Alloh subhanahu wa ta’ala:

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ  [البقرة : 188]

“Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian di antara kalian dengan jalan yang bathil.” (QS. Al-Baqarah : 188).

----------------------

[1] Muttafaqun ‘Alaih, Riyadhush Shalihin no. 206.
[2] Muttafaqun ‘Alaih, Imam Bukhari (5/103/2452), Imam Muslim (3/1230/1610).
[3] HR. Imam Bukhari (5/103/2454), Shahih Jami’ush Shaghir no.6385.
[4] HR. Ibnu Hibban no.1167, Imam Ahmad (4/173), Ash Shahihah no.240.
[5] HR. Imam Ahmad (4/173), Ash Shihah no.242.
[6] Kitab Bahjatun Nazhirin Syarhu Riyadhish Shalihin, jilid 1 hal. 302.
[7] Taisirul ‘Alam jilid 2 hal. 231.
[8] Syarhu Riyadush Shalihin Libnil Utsaimin, jilid 1 hal. 753.
[9] Syarhu Riyadush Shalihin Libnil Utsaimin, jilid 1 hal. 753.
[10] Syarah Riyadush Shalihin, jilid hal. 522.
[11] Syarhu Riyadush Shalihin Libnil Utsaimin, jilid 1 hal. 753.
[12] Syarah Riyadush Shalihin, jilid hal. 522.

[13] Taisirul ‘Alam jilid 2 hal. 231.

[14] Syarah Riyadush Shalihin, jilid hal. 522.

[15] Syarhu Riyadush Shalihin Libnil Utsaimin, jilid 1 hal. 753.
[16] Kitabut Tauhid, hal.28.
[17] Syarah Kitab Tauhid, hal.184.
[18] HR. Tirmidzi (2/419/1394), Shahih Tirmidzi (6385), Baihaqi (6/142).
[19] HR. Tirmidzi (2/410/1378), Shahih Jami’ush Shaghir (6272), Ibnu Majah (2/824/2466).
[20] Ensiklopedi Muslim hal. 552.
[21] HR. Abu Dawud, Ad Daruqutni, berkata Tirmidzi, ‘Hadits ini di amalkan sebagian ulama.’

https://abuabdilbarr.wordpress.com/2007/06/22/merampas-tanah-dan-mengubah-tanda-batas-tanah/

Selengkapnya..

HUKUM DEMONSTRASI

Kontroversi seputar kebolehan berdemonstrasi memang termasuk masalah yang sering diperdebatkan banyak kalangan. Ada yang mendukung kebolehan berdemonstrasi, namun tidak sedikit yang menolak kebolehannya.


Buat mereka yang dirugikan karena sebuah demonstrasi, biasanya akan mengatakan bahwa demonstrasi itu tidak baik, tidak layak atau bahkan mereka akan mencoba mencari dalil dari Al-Quran atau Al-Hadits untuk menolak kebolehan berdemonstrasi. Hal itu wajar, karena dengan adanya demonstrasi itu, kepentingannya terusik, kenyamanannya terganggu serta kepentingannya terbentur.

Sebaliknya, buat kalangan yang diuntungkan dengan adanya demonstrasi, tentu saja mereka mendukung sepenuhnya. Berbagai macam argumen yang mendukung keabsahan sebuah demonstrasi akan dipergunakan. Mulai dari pengutipan ayat-ayat Al-Quran bahkan demostrasi disebut-sebut sebagai bagian dari dakwah yang telah diajarkan oleh Nabi SAW.

Lucunya, kalangan yang selama ini menudukung demonstrasi, bisa saja tiba-tiba malah menolak demonstrasi. Mengapa? Barangkali keadaan berbalik. Dahulu mereka aktif berdemosntrasi karena belum punya kekuasaan, sehingga ketika mengeritik penguasa, mereka tidak punya beban. Namun tatkala mereka sudah jadi penguasa, justru mereka sendiri yang alergi dengan demonstrasi.

Sebaliknya, kalangan yang dahulu alergi dengan demonstrasi, ketika kekuasaannya lenyap direnggut lawan politiknya, sekarang mulai menggunakan sarana demonstrasi untuk kepentingannya.

Dan memang begitulah dunia politik, demonstasi adalah salah satu sarana -atau lebih tepat disebut sebagai senjata- dalam melakukan pertarungan. Dan sebagaimana umumnya senjata, kita tidak bisa mengatakan hukumnya haram atau halal, kecuali dengan mempertimbangkan siapa yang menggunakannya, untuk tujuan apa, bagaimana cara menggunakannya dan pertimbangan lainnya.

Kalau sebuah demonstrasi digunakan oleh kekuatan kafir, demi untuk menghalangi dakwah, dengan cara yang bertentangan dengan syariah, tentu saja demonstrasi itu sebuah senjata yang dihujamkan kepada umat Islam. Dan kemudian kita hukumi sebagai haram. Maksudnya, haram bagi umat Islam untuk mendukung demonstrasi yang demikian itu. Karena merugikan umat Islam.

Sebaliknya, bila sebuah demonstrasi digunakan oleh kalangan muslimin, demi untuk menegakkan dakwah, dengan cara-cara yang dibenarkan dalam syariah Islam, tentu saja demontrasi seperti itu merupakan bagian dari dakwah dan jihad fi sabilillah. Umat Islam wajib mendukungnya, bahkan kalau perlu, ikut bergabung di dalamnya. Terutama bila semua saluran dakwah ditutup rapat dan hanya tersisa demonstrasi saja.

Hukum Demonstrasi

Hukum demonstrasi dapat bernilai positif, dapat juga bernilai negatif. Demonstrasi dapat dijadikan komoditas politik yang berorientasi pada perolehan materi dan kekuasaan, dapat juga berupa sarana amar ma’ruf nahi mungkar dan jihad. Dalam kaitannya sebagai sarana mar ma’ruf nahi mungkar dan jihad, demonstrasi dapat digunakan untuk melakukan perubahan menuju suatu nilai dan sistem yang lebih baik. Semua kembali kepada apa yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW:
Sesungguhnya amal-amal itu terkait dengan niat. Dan sesungguhnya setiap orang akan memperoleh sesuai dengan niatnya. Maka barangsiapa hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu mendapatkan keridhoan Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena dunia, maka akan mendapatkannya, atau karena wanita maka ia akan menikahinya. Maka hijrah itu sesuai dengan niatnya. (Muttafaqun ‘alaihi).

Dan jika kita merujuk pada Al-Qur’an, As-Sunnah, Siroh Rasul saw. dan Kaidah Fiqhiyah, maka kita dapatkan kaidah-kaidah secara umum tentang demonstrasi/muzhaharah.

Al-Quran memerintahkan kita untuk menggetarkan mental musuh-musuh Islam, jauh sebelumn peperangan dilancarkan. Demonstrasi adalah salah satu bentuk tindakan menggetarkan musuh Islam, bila tema yang diangkat memang bertujuan demikian. Kalau umat Islam di suatu negeri secara serempak sepakat menolak penjajahan asing dengan cara turun ke jalan dalam jumlah jutaan, tentu hal ini akan menjadi bahan perhitungan.
Urusan menggetarkan hati lawan, memang telah diisyaratkan di dalam Al-Quran:

وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا اسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ وَمِن رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدْوَّ اللّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِن دُونِهِمْ لاَ تَعْلَمُونَهُمُ اللّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنتُمْ لاَ تُظْلَمُونَ

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (QS Al-Anfaal: 60).

Selain itu, dari sisi kewajiban untuk menegur penguasa yang telah berlaku zalim, ada dadits Rasul saw yang menjadi landasan.

Seutama-utamanya jihad adalah perkataan yang benar terhadap penguasa yang zhalim. (HR Ibnu Majah, Ahmad, At-Tabrani, Al-Baihaqi, An-Nasa’i dan Al-Baihaqi).

Barangsiapa melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, dengan lisannya, dan jika tidak mampu, dengan hatinya. Yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman. (HR Muslim).

Tentunya teguran itu harus disampaikan secara tertutup terlebih dahulu, dengan cara yang persuasif, kekeluargaan dan sopan. Barulah bila semua jalan mengalami kebuntuan, domonstrasi turun ke jalan bisa dijadikan alternatif. Hal ini berlaku khususnya bila tema demontrasi itu untuk mengeritik penguasa muslim yang ada kemungkinan berlaku menyimpang.

Adapun jika sebuah demo ditujukan kepada orang-orang kafir yang telah berlaku sewenang-wenang, bahkan menginjak-injak harga diri muslimin, tentu saja merupakan hal yang wajar. Misalnya, demonstrasi anti produk negara-negara yang melecehkan pribadi Rasulullah SAW. Tidak cukup rasanya kita hanya berdiam diri dan menelan kekesalan kita hanya di dalam hati. Kemarahan kita perlu kita tujukkan kepada orang-orang kafir itu, agar mereka tidak menganggap rendah kepada kita.

Hal itu pernah dilakukan oleh Nabi SAW dengan para sahabatnya, yaitu saat mereka melakukan Thawaf Qudum setelah peristiwa Hudaibiyah. Mereka melakukan demo memperlihatkan kebenaran Islam dan kekuatan para pendukungnya (unjuk rasa dan unjuk kekuatan) dengan memperlihatkan pundak kanan (idhthiba’) sambil berlari-lari kecil. Bahkan beliau secara tegas mengatakaan saat itu, ”Kita tunjukkan kepada mereka (orang-orang zhalim) bahwa kita (pendukung kebenaran) adalah kuat (tidak dapat diremehkan dan dimain-mainkan).”
Rasulllah SAW dan para shahabat juga pernah melakukan demonstrasi sambil meneriakkan dan menyerukan tauhid dan kerasulan Muhammad saw. di jalan-jalan sambil menelusuri jalan Makkah dengan tetap melakukan tabligh dakwah.

Maka sebenarnya hukum demonstrasi itu harus dikaji secara mendalam, baik situasinya, kepentingannya, efektifitasnya serta perhitungan lainya. Kita tidak bisa menggeneralisir bahwa hukum demo itu halal atau haram. Apalagi sekedar mengatakan bahwa demonstrasi itu haram lantaran dahulu para jin pernah melakukannya. Hujjah seperti ini agak terlalu dangkal dan terlalu menyederhanakan masalah.

Sebaliknya, harus ada suatu kajian dari para ulama tentang urgensi demonstrasi sebagai reaksi dari suatu keadaan. Dan boleh jadi memang hukumnya haram untuk keadaan tertentu, namun bisa jadi malah wajib untuk alasan yang lain.

Misalnya bila sudah tidak ada jalan lain kecuali hanya demonstrasi yang mungkin bisa dilakukan dan menghasilkan sesuatu yang positif. Maka saat itu berlaku kaidah:

مالا يتم الواجب إلا به فهو واجب

Sesuatu hal yang tidak akan tercapai dan terlaksana kewajiban kecuali dengannya, maka hal tersebut menjadi wajib.

Sehingga dalam hal ini suatu tujuan yang akan ditempuh dengan mengharuskan menggunakan sarana, maka pemakaian sarana tersebut menjadi wajib. Dan dalam ukuran tertentu, demonstrasi merupakan salah satu dari sekian banyak sarana yangmungkin digunakan dalam melaksanakan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar, dakwah dan jihad.

Ahmad Sarwat, Lc.

Selengkapnya..

TAUHID AL-ASMA' WASH SHIFAT

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Ahlus Sunnah menetapkan apa-apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah tetapkan atas Diri-Nya, baik itu dengan Nama-Nama maupun Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan mensucikan-Nya dari segala aib dan kekurangan, sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita wajib menetapkan Nama dan Sifat Allah sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur-an dan As-Sunnah, dan tidak boleh ditakwil.

Al-Walid bin Muslim pernah bertanya kepada Imam Malik bin Anas, al-Auza’i, al-Laits bin Sa’ad dan Sufyan ats-Tsauri tentang berita yang datang mengenai Sifat-Sifat Allah, mereka semua menjawab:

أَمِرُّوْ هَا كَمَا جَاءَتْ بِلاَ كَيْفَ.

“Perlakukanlah Sifat-Sifat Allah secara apa adanya dan janganlah engkau persoalkan (jangan engkau tanyakan tentang bagaimana sifat itu).” [1]

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

آمَنْتُ بِاللهِ، وَبِمَا جَاءَ عَنِ اللهِ عَلَى مُرَادِ اللهِ، وَآمَنْتُ بِرَسُوْلِ اللهِ وَبِمَا جَاءَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ عَلَى مُرَادِ رَسُوْلِ اللهِ.

“Aku beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang datang dari Allah sesuai dengan apa yang diinginkan-Nya dan aku beriman kepada Rasulullah dan kepada apa-apa yang datang dari beliau, sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Rasulullah”[2]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Manhaj Salaf dan para Imam Ahlus Sunnah mengimani Tauhid al-Asma’ wash Shifat dengan menetapkan apa-apa yang telah Allah tetapkan atas Diri-Nya dan telah ditetapkan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi-Nya, tanpa tahrif [3] dan ta’thil [4] serta tanpa takyif [5] dan tamtsil [6]. Menetapkan tanpa tamtsil, menyucikan tanpa ta’thil, menetapkan semua Sifat-Sifat Allah dan menafikan persamaan Sifat-Sifat Allah dengan makhluk-Nya.”

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [Asy-Syuura: 11]

Lafazh ayat لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءٌ “Tidak ada yang serupa dengan-Nya,” merupakan bantahan kepada golongan yang menyamakan Sifat-Sifat Allah dengan makhluk-Nya.

Sedangkan lafazh ayat وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ “Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat,” adalah bantahan kepada orang-orang yang menafikan (mengingkari) Sifat-Sifat Allah.

I’tiqad Ahlus Sunnah dalam masalah Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala didasari atas dua prinsip:

Pertama: Bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala wajib disucikan dari semua nama dan sifat kekurangan secara mutlak, seperti ngantuk, tidur, lemah, bodoh, mati, dan lainnya.

Kedua: Allah mempunyai nama dan sifat yang sempurna yang tidak ada kekurangan sedikit pun juga, tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang menyamai Sifat-Sifat Allah.” [7]

Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak menolak nama-nama dan sifat-sifat yang disebutkan Allah untuk Diri-Nya, tidak menye-lewengkan kalam Allah Subhanahu wa Ta'ala dari kedudukan yang semestinya, tidak mengingkari tentang Asma’ (Nama-Nama) dan ayat-ayat-Nya, tidak menanyakan tentang bagaimana Sifat Allah, serta tidak pula menyamakan Sifat-Nya dengan sifat makhluk-Nya.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani bahwa Allah Azza wa Jalla tidak sama dengan sesuatu apapun juga. Hal itu karena tidak ada yang serupa, setara dan tidak ada yang sebanding dengan-Nya, serta Allah tidak dapat diqiyaskan dengan makhluk-Nya.

Yang demikian itu dikarenakan hanya Allah Azza wa Jalla sajalah yang lebih tahu akan Diri-Nya dan selain Diri-Nya. Dia-lah yang lebih benar firman-Nya, dan lebih baik Kalam-Nya daripada seluruh makhluk-Nya, kemudian para Rasul-Nya adalah orang-orang yang benar, jujur, dan juga yang dibenarkan sabdanya. Berbeda dengan orang-orang yang mengatakan terhadap Allah Azza wa Jalla apa yang tidak mereka ketahui, karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Mahasuci Rabb-mu, Yang memiliki keperkasaan dari apa yang mereka katakan. Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para Rasul, dan segala puji bagi Allah Rabb sekalian alam.” [Ash-Shaffaat: 180-182]

Allah Azza wa Jalla dalam ayat ini menyucikan Diri-Nya, dari apa yang disifatkan untuk-Nya oleh penentang-penentang para Rasul-Nya. Kemudian Allah Azza wa Jalla melimpahkan salam sejahtera kepada para Rasul karena bersihnya perkataan mereka dari hal-hal yang mengurangi dan menodai keagungan Sifat Allah.[8]

Dalam menuturkan Asma’dan Sifat-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala memadukan antara an-nafyu wal itsbat (menolak dan menetapkan) [9]. Maka Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak menyimpang dari ajaran yang dibawa oleh para Rasul, karena itu adalah jalan yang lurus (ash-Shiraathul Mustaqiim), jalannya orang-orang yang Allah karuniai nikmat, yaitu jalannya para Nabi, shiddiqin, syuhada' dan shalihin.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا

“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para Nabi, para shiddiiqiin, para syuhadaa’ dan para shaalihiin. Dan mereka itulah sebaik-baik teman.” [An-Nisaa': 69]

Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpegang dan menempuh jalan orang-orang yang Allah beri nikmat atas mereka. Dengan berpegang kepada jalan ini, maka sempurnalah nikmat yang mereka dapatkan berupa ‘aqidah, adab dan akhlak. Adapun orang-orang yang menempuh selain jalan mereka, maka mereka pasti akan menyimpang dalam masalah ‘aqidah, adab dan akhlak.[10]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Diriwayatkan oleh Imam Abu Bakar al-Khallal dalam Kitaabus Sunnah (no. 313), al-Lalika-i (no. 930). Lihat Fatawa Hamawiyyah Kubra (hal. 303, cet. I, 1419 H) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq Hamd bin ‘Abdil Muhsin at-Tuwaijiri dan Mukhtasharul ‘Uluww lil ‘Aliyyil Ghaffaar (hal. 142 no. 134). Sanadnya shahih. Lihat Fat-hul Baari (XIII/407).
[2]. Lihat Lum’atul I’tiqaad oleh Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi dan Syarahnya (hal. 36) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin dan ar-Risalah al-Madaniyah (hal. 27) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq al-Walid bin ‘Abdir-rahman al-Furayyan.
[3]. Tahrif atau ta’wil yaitu merubah lafazh Nama dan Sifat, atau merubah maknanya, atau menyelewengkan dari makna yang sebenarnya.
[4]. Ta’thil yaitu menghilangkan dan menafikan Sifat-Sifat Allah atau mengingkari seluruh atau sebagian Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Perbedaan antara tahrif dan ta’thil ialah, bahwa ta’thil itu mengingkari atau menafikan makna yang sebenarnya yang dikandung oleh suatu nash dari Al-Qur-an atau hadits Nabi j, sedangkan tahrif adalah, merubah lafazh atau makna, dari makna yang sebenarnya yang terkandung dalam nash tersebut.
[5]. Takyif yaitu menerangkan keadaan yang ada padanya sifat atau mempertanyakan: “Bagaimana Sifat Allah itu?” Atau menentukan bahwa Sifat Allah itu hakekatnya begini, seperti menanyakan: “Bagaimana Allah bersemayam?” Dan yang seperti-nya, karena berbicara tentang sifat sama juga berbicara tentang dzat. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala mempunyai Dzat yang kita tidak mengetahui kaifiyatnya. Dan hanya Allah Subhanahu wa Ta'ala yang mengetahui dan kita wajib mengimani tentang hakikat maknanya.
[6]. Tamtsil sama dengan Tasybih, yaitu mempersamakan atau menyerupakan Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan makhluk-Nya. Lihat Syrahul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (I/86-102) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal 66-69) oleh Syaikh Muhammad Khalil Hirras, tahqiq ‘Alwi as-Saqqaf, at-Tanbiihaatul Lathiifah ‘alaa Mahtawat ‘alaihil ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal 15-18) oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, tahqiq Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz, al-Kawaasyif al-Jaliyyah ‘an Ma’aanil Waasithiyah oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz as-Salman (hal. 80-94).
[7]. Lihat Minhaajus Sunnah (II/111, 523), tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim.
[8]. Lihat at-Tanbiihaat al-Lathiifah hal. 15-16.
[9]. Maksudnya, Allah memadukan kedua hal ini ketika menjelaskan Sifat-Sifat-Nya dalam Al-Qur-an. Tidak hanya menggunakan Nafyu saja atau Itsbat saja.
Nafyu (penolakan) dalam Al-Qur-an secara garis besarnya menolak adanya ke-samaan atau keserupaan antara Allah dengan makhluk-Nya, baik dalam Dzat maupun sifat, serta menolak adanya sifat tercela dan tidak sempurna bagi Allah. Nafyu bukanlah semata-mata menolak, tetapi penolakan yang di dalamnya terkandung suatu penetapan sifat kesempurnaan bagi Allah, misalnya disebutkan dalam Al-Qur-an bahwa Allah tidak mengantuk dan tidak tidur, maka ini menunjukkan sifat hidup yang sempurna bagi Allah.
Itsbat (penetapan), yaitu menetapkan Sifat Allah yang mujmal (global), seperti pujian dan kesempurnaan yang mutlak bagi Allah dan juga menetapkan Sifat-Sifat Allah yang rinci seperti ilmu-Nya, kekuasaan-Nya, hikmah-Nya, rahmat-Nya dan yang seperti itu. (Lihat Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah oleh Khalil Hirras, tahqiq Alwi as-Saqqaf, hal. 76-78).
[10]. Lihat at-Tanbiihaatul Lathiifah (hal. 19-21).


Ketujuh:
KAIDAH TENTANG SIFAT-SIFAT ALLAH JALLA JALALUHU MENURUT AHLUS SUNNAH


Sifat-sifat yang disebutkan Allah tentang Diri-Nya ada dua macam: Sifat Tsubutiyyah dan Sifat Salbiyyah.

Pertama: Sifat Tsubutiyyah
Sifat Tsubutiyyah adalah setiap sifat yang ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi Diri-Nya di dalam Al-Qur-an atau melalui sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semua sifat-sifat ini adalah sifat kesempurnaan, serta tidak menunjukkan sama sekali adanya cela dan kekurangan. Contohnya: Hayaah (hidup): ‘Ilmu (mengetahui), Qudrah (ber-kuasa), Istiwaa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy, Nuzuul (turun) ke langit terendah, Wajh (wajah), Yad (tangan) dan lain-lainnya.

Sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut wajib ditetapkan benar-benar sebagai milik Allah sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya, berdasarkan dalil naqli dan ‘aqli.

Sifat Tsubutiyyah ada dua macam: Dzaatiyah dan Fi’liyah.

Sifat Dzaatiyyah adalah sifat yang senantiasa dan selamanya tetap ada pada Diri Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seperti, Hayaah (hidup), Kalam (berbicara): ‘Ilmu (mengetahui), Qudrah (berkuasa), Iradah (ke-inginan), Sami’ (pendengaran), Bashar (penglihatan), Izzah (kemuliaan, keperkasaan), Hikmah (kebijaksanaan): ‘Uluw (ketinggian, di atas makhluk): ‘Azhamah (keagungan). Dan yang termasuk dalam sifat ini adalah Sifat Khabariyyah seperti adanya wajah, yadan (dua tangan) dan ‘ainan (dua mata).

Sifat Fi’liyyah adalah sifat yang terikat dengan masyi-ah (kehendak) Allah Azza wa Jalla, seperti Istiwa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy dan Nuzul (turun) ke langit terendah, atau pun datang pada hari Kiamat, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:

وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا

“Dan datanglah Rabb-mu, sedang Malaikat berbaris-baris.” [Al-Fajr: 22]

Suatu sifat bisa menjadi sifat dzaatiyyah-fi’liyyah ditinjau dari dua segi, yaitu asal (pokok) dan perbuatannya. Seperti sifat Kalaam (pembicaraan), apabila ditinjau dari segi asal atau pokoknya adalah sifat dzaatiyyah karena Allah Azza wa Jalla selamanya akan tetap berbicara, tetapi jika ditinjau dari segi satu persatu terjadinya Kalaam adalah sifat fi’liyyah karena terikat dengan masyi-ah (kehendak), dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berbicara apa saja yang Dia kehendaki jika Dia menghendaki.

Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:

إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

“Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berfirman kepadanya: ‘Jadilah,’ maka terjadilah.” [Yaasiin: 82]

Setiap Sifat Allah yang terikat dengan masyii-ah (kehendak-Nya) adalah mengikuti hikmah-Nya. Hikmah ini terkadang dapat kita ketahui, tetapi terkadang tidak mampu kita pahami, namun kita benar-benar yakin bahwa Allah Azza wa Jalla tidak menghendaki sesuatu melainkan apa yang dikehendaki-Nya, itu pun sesuai hikmah-Nya. Seperti yang Allah isyaratkan melalui firman-Nya:

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

“Dan kamu tidak menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali jika Allah kehendaki. Sesungguhnya Allah adalah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana.” [Al-Insaan: 30]

Kedua: Sifat Salbiyyah
Sifat Salbiyyah adalah setiap sifat yang dinafikan (ditolak) Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi Diri-Nya melalui Al-Qur-an atau sabda Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan seluruh sifat ini adalah sifat kekurangan dan ter-cela bagi Allah, contohnya; maut (mati, tidak hidup), naum (tidur), jahl (bodoh), nis-yan (kelupaan): ‘ajz (kelemahan, ketidakmampuan), ta’ab (kecapekan, kelelahan). Sifat-sifat tersebut wajib dinafikan (ditolak) dari Allah Azza wa Jalla berdasarkan keterangan di atas, dengan disertai penetapan sifat kebalikannya secara sempurna. Misalnya, menafikan maut (mati) dan naum (tidur) berarti menetapkan kebalikannya bahwasanya Allah Dzat Yang Mahahidup dengan sempurna, menafikan jahl (kebodohan) berarti menetapkan bahwasanya Allah Dzat Yang Mahamengetahui dengan ilmu-Nya yang sempurna.[1]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Lihat at-Tanbiihatul Lathiifah ‘alaa Mahtawat ‘alaihil ‘Aqiidah al-Waasithiyyah minal Mabaahiits al-Muniifah (hal. 40, 47) oleh Syaikh as-Sa’di, al-Qawaa’idul Mutsla fii Shifaatilaahi wa Asmaa-ihil Husnaa (hal. 59-63) oleh Syaikh Muhammad al-‘Utsaimin dan Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah oleh Khalil Hiras (hal. 159-160) dan Madkhaal lidiraasatil ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 91-92).



Shared from Almanhaj.or.id for android http://bit.ly/Almanhaj

Selengkapnya..

NIFAQ ; DEFINISI DAN JENISNYA

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

A. Definisi Nifaq
------------------------
Nifaq (اَلنِّفَاقُ) berasal dari kata نَافَقَ-يُنَافِقُ-نِفَاقاً ومُنَافَقَةً yang diambil dari kata النَّافِقَاءُ (naafiqaa’). Nifaq secara bahasa (etimologi) berarti salah satu lubang tempat keluarnya yarbu’ (hewan sejenis tikus) dari sarangnya, di mana jika ia dicari dari lobang yang satu, maka ia akan keluar dari lobang yang lain. Dikatakan pula, ia berasal dari kata النَّفَقُ (nafaq) yaitu lobang tempat bersembunyi.[2]

Nifaq menurut syara’ (terminologi) berarti menampakkan keislaman dan kebaikan tetapi menyembunyikan kekufuran dan kejahatan. Dinamakan demikian karena dia masuk pada syari’at dari satu pintu dan keluar dari pintu yang lain. Karena itu Allah memperingatkan dengan firman-Nya:

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Sesungguhnya orang-orang munafiq itu mereka adalah orang-orang yang fasiq.” [At-Taubah: 67]

Yaitu mereka adalah orang-orang yang keluar dari syari’at. Menurut al-Hafizh Ibnu Katsir mereka adalah orang-orang yang keluar dari jalan kebenaran masuk ke jalan kesesatan. [3]

Allah menjadikan orang-orang munafiq lebih jelek dari orang-orang kafir. Allah berfirman:

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَن تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari Neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” [An-Nisaa’: 145]

Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ

“Sesungguhnya orang-orang munafiq itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka...” [An-Nisaa’: 142]

Lihat juga Al-Qur-an surat al-Baqarah ayat 9-10.

B. Jenis Nifaq
--------------------
Nifaq ada dua jenis: Nifaq I’tiqadi dan Nifaq ‘Amali.

Nifaq I’tiqadi (Keyakinan)
Yaitu nifaq besar, di mana pelakunya menampakkan keislaman, tetapi menyembunyikan kekufuran. Jenis nifaq ini menjadikan pelakunya keluar dari agama dan dia berada di dalam kerak Neraka. Allah menyifati para pelaku nifaq ini dengan berbagai kejahatan, seperti kekufuran, ketiadaan iman, mengolok-olok dan mencaci agama dan pemeluknya serta kecenderungan kepada musuh-musuh untuk bergabung dengan mereka dalam memusuhi Islam. Orang-orang munafiq jenis ini senantiasa ada pada setiap zaman. Lebih-lebih ketika tampak kekuatan Islam dan mereka tidak mampu membendungnya secara lahiriyah. Dalam keadaan seperti itu, mereka masuk ke dalam agama Islam untuk melakukan tipu daya terhadap agama dan pemeluknya secara sembunyi-sembunyi, juga agar mereka bisa hidup bersama ummat Islam dan merasa tenang dalam hal jiwa dan harta benda mereka. Karena itu, seorang munafiq menampakkan keimanannya kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya dan Hari Akhir, tetapi dalam batinnya mereka berlepas diri dari semua itu dan mendustakannya. Nifaq jenis ini ada empat macam, yaitu:

Pertama : Mendustakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam atau mendustakan sebagian dari apa yang beliau bawa.
Kedua : Membenci Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam atau membenci sebagian apa yang beliau bawa.
Ketiga : Merasa gembira dengan kemunduran agama Islam.
Keempat : Tidak senang dengan kemenangan Islam.

Nifaq ‘Amali (Perbuatan).
Yaitu melakukan sesuatu yang merupakan perbuatan orang-orang munafiq, tetapi masih tetap ada iman di dalam hati. Nifaq jenis ini tidak mengeluarkannya dari agama, tetapi merupakan wasilah (perantara) kepada yang demikian. Pelakunya berada dalam iman dan nifaq. Lalu jika perbuatan nifaqnya banyak, maka akan bisa menjadi sebab terjerumusnya dia ke dalam nifaq sesungguhnya, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ كَانَ مُنَافِقاً خَالِصًا، وَمَنْ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا، إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ.

“Ada empat hal yang jika terdapat pada diri seseorang, maka ia menjadi seorang munafiq sejati, dan jika terdapat padanya salah satu dari sifat tersebut, maka ia memiliki satu karakter kemunafikan hingga ia meninggalkannya: 1) jika dipercaya ia berkhianat, 2) jika berbicara ia berdusta, 3) jika berjanji ia memungkiri, dan 4) jika bertengkar ia melewati batas.” [4]

Terkadang pada diri seorang hamba terkumpul kebiasaan-kebiasaan baik dan kebiasaan-kebiasaan buruk, perbuatan iman dan perbuatan kufur dan nifaq. Karena itu, ia mendapatkan pahala dan siksa sesuai konsekuensi dari apa yang ia lakukan, seperti malas dalam melakukan shalat berjama’ah di masjid. Ini adalah di antara sifat orang-orang munafik. Sifat nifaq adalah sesuatu yang buruk dan sangat berbahaya, sehingga para Sahabat Radhiyallahu anhum begitu sangat takutnya kalau-kalau dirinya terjerumus ke dalam nifaq. Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah berkata: “Aku bertemu dengan 30 Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka semua takut kalau-kalau ada nifaq dalam dirinya.” [5]

C. Perbedaan antara Nifaq Besar dengan Nifaq Kecil
-----------------------------------
1. Nifaq besar mengeluarkan pelakunya dari agama, sedangkan nifaq kecil tidak mengeluarkannya dari agama.

2. Nifaq besar adalah berbedanya yang lahir dengan yang batin dalam hal keyakinan, sedangkan nifaq kecil adalah berbedanya yang lahir dengan yang batin dalam hal perbuatan bukan dalam hal keyakinan.

3. Nifaq besar tidak terjadi dari seorang Mukmin, sedangkan nifaq kecil bisa terjadi dari seorang Mukmin.

4. Pada umumnya, pelaku nifaq besar tidak bertaubat, seandainya pun bertaubat, maka ada perbedaan pendapat tentang diterimanya taubatnya di hadapan hakim. Lain halnya dengan nifaq kecil, pelakunya terkadang bertaubat kepada Allah, sehingga Allah menerima taubatnya. [6]

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ

“Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar).” [Al-Baqarah: 18]

Juga firman-Nya:

أَوَلَا يَرَوْنَ أَنَّهُمْ يُفْتَنُونَ فِي كُلِّ عَامٍ مَّرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ لَا يَتُوبُونَ وَلَا هُمْ يَذَّكَّرُونَ

“Dan tidakkah mereka (orang-orang munafik) memperhatikan bahwa mereka diuji sekali atau dua kali setiap tahun, kemudian mereka tidak (juga) bertaubat dan tidak (pula) mengambil pe-lajaran?” [At-Taubah: 126]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Pembahasan ini dinukil dari ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 85-88) oleh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan, dengan beberapa tambahan.
[2]. Lihat an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits (V/98) oleh Ibnul Atsiir.
[3]. Tafsir Ibnu Katsir (II/405), cet. Daarus Salaam.
[4]. HR. Al-Bukhari (no. 34, 2459, 3178), Muslim (no. 58), Ibnu Hibban (no. 254-255), Abu Dawud (4688), at-Tirmidzi (2632), an-Nasa-i (VIII/116) dan Ahmad (II/189), dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu.
[5]. Fat-hul Baari (I/109-110).
[6]. Lihat Majmuu’ Fataawaa (XXVIII/434-435) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 88) oleh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan.

Shared from Almanhaj.or.id for android http://bit.ly/Almanhaj

Selengkapnya..