Senin, 24 Agustus 2015

Bersalaman Seusai Shalat : Antara Boleh Dan Haram, Mana Yang Benar?

Masalah hukum bersalaman sesudah shalat termasuk perkara khilafiyah yang sejak dulu seringkali menjadi bahan perdebatan di tengah umat Islam. Secara umum, ulama berbeda pendapat terkait hal ini, antara mereka yang melarang dan yang membolehkan.

A. Pendapat Yang Melarang
Mereka yang melarang bersalaman setelah shalat ini di antaranya adalah Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin dan juga Syeikh Bin Bazz.

1. Tokoh
Mereka yang melarang bersalaman setelah shalat ini di antaranya adalah Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin dan juga Syeikh Bin Bazz.

a. Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah (w. 728H) berfatwanya di dalam kitab Majmu’ Fatawa :

وسئل: عن المصافحة عقيب الصلاة: هل هي سنة أم لا؟ فأجاب: الحمد للَّه، المصافحة عقيب الصلاة ليست مسنونة، بل هي بدعة. والله أعلم
Beliau ditanya tentang bersalaman sesudah shalat, apakah dia sunah atau bukan? Beliau menjawab: “Alhamdulillah, bersalaman sesudah shalat tidak disunahkan, bahkan itu adalah bid’ah.” Wallahu A’lam ’[1]

b. Syeikh Bin Bazz
Syeikh Bin Bazz (w. 1420 H) juga termasuk mereka yang berfatwa melarang bersalaman seusai shalat.
المصافحة بعد سلام الإمام ليس لها أصل بل إذا سلم يقول…
Bersalaman setelah salamnya imam tidaklah memiliki dasar, justru jika usai salam hendaknya mengucapkan ..(lalu beliau memaparkan cukup panjang berbagai dzikir setelah shalat yang dianjurkan syara’). [2]

c. Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin (w. 1421H) dalam fatwanya berkata:
المصافحة بين الرجل وأخيه سنة عند الملاقاة فقط وأما بعد السلام من الصلاة المفروضة فإنها ليست بسنة إذ لم ينقل عن الصحابة رضي الله عنهم أنهم كانوا إذا سلموا من الفريضة صافح بعضهم
Bersalaman antara seorang laki-laki dengan saudaranya adalah sunah ketika bertemu saja, ada pun setelah salam dari shalat wajib, maka itu bukan sunah. Karena tidak ada riwayat dari sahabat –radhiallahu ‘anhum- bahwa mereka jika setelah salam dari shalat shalat wajib bersalaman satu sama lain.” [3]

2. Dalil Yang Digunakan
Adapun dalil-dalil yang dipakai oleh pendapat ada banyak.

a. Tidak Ada Contoh dan Perintah dari Nabi SAW
Yang paling utama bahwa bersalaman setelah shalat itu tidak ada tuntunan atau contoh langsung dari Rasulullah SAW. Logika yang mereka kembangkan adalah bila tidak ada dalilnya maka hukumnya bid'ah atau terlarang.
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak (HR. Bukhari dan Muslim)

b. Saddu Adz-Dzari'ah
Selain itu mereka juga menggunakan kaidah saddu ad-dzariah. Maksudnya meski tidak ada larangannya secara resmi, tetapi kalau dibiarkan khawatir nanti orang awam menganggap bahwa bersalaman selepas shalat itu termasuk ritual ibadah yang harus dilakukan sebagai rangkaian kesempurnaan shalat.

B. Pendapat Yang Membolehkan
Pendapat kedua menganggap bahwa bersalaman selepas shalat itu hukumnya boleh.

1. Para Pendukung
Dan para ulama salaf yang membolehkan adanya bersalaman selepas shalat cukup banyak juga. Diantaranya adalah Al-Imam ‘Izzuddin (Al ‘Izz bin Abdussalam), Al-Imam An-Nawawi, Ibnu Hajar Al Haitami dan Ar-Ramli, Imam Abdurrahman Syaikhi Zaadah dan juga ulama modern di masa sekarang, Syaikh ‘Athiyah Shaqr.

a. Al ‘Izz Ibnu Abdissalam
Diantara ulama yang membolehkan adanya bersalaman selepas shalat adalah Imam ‘Izzuddin (Al ‘Izz) bin Abdussalam Asy Syafi’i (w. 660H). Beliau memasukkan bersalaman setelah shalat subuh dan ‘ashar sebagai bid’ah yang boleh (bid’ah mubahah). Berikut perkataannya:
وللبدع المباحة أمثلة. منها: المصافحة عقيب الصبح والعصر، ومنها التوسع في اللذيذ من المآكل والمشارب والملابس والمساكن، ولبس الطيالسة، وتوسيع الأكمام.
Bid’ah-bid’ah mubahah (bid’ah yang boleh) contoh di antaranya adalah: bersalaman setelah subuh dan ‘ashar, di antaranya juga berlapang-lapang dalam hal-hal yang nikmat berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, melebarkan pakaian kebesaran ulama, dan melebarkan lengan baju. [4]

b. Imam An-Nawawi
Al-Imam An-Nawawi (w. 676 H) termasuk ulama yang berpendapat boleh bersalaman selepas shalat. Dalam kitabnya beliau mengatakan;
واعلم أن هذه المصافحة مستحبة عند كل لقاء، وأما ما اعتاده الناس من المصافحة بعد صلاتي الصبح والعصر، فلا أصل له في الشرع على هذا الوجه، ولكن لا بأس به، فإن أصل المصافحة سنة، وكونهم حافظوا عليها في بعض الأحوال، وفرطوا فيها في كثير من الأحوال أو أكثرها، لا يخرج ذلك البعض عن كونه من المصافحة التي ورد الشرع بأصلها.
Ketahuilah, bersalaman merupakan perbuatan yang disunahkan dalam keadaan apa pun. Ada pun kebiasaan manusia saat ini bersalaman setelah shalat subuh dan ‘ashar, maka yang seperti itu tidak ada dasarnya dalam syariat, tetapi itu tidak mengapa. Karena pada dasarnya bersalaman adalah sunah, dan keadaan mereka menjaga hal itu pada sebagian keadaan dan mereka berlebihan di dalamnya pada banyak keadaan lain atau lebih dari itu, pada dasarnya tidaklah keluar dari bersalaman yang ada dalam syara’. [5]

Bahkan beliau berpendapat bersalaman selepas shalat itu bisa jadi hukumnya sunnah. Yaitu jika orang yang disamping kita memang belum bersama kita di awal shalat. Beliau berkata:
وَأَمَّا هَذِهِ الْمُصَافَحَةُ الْمُعْتَادَةُ بَعْدَ صَلَاتَيْ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ فَقَدْ ذَكَرَ الشَّيْخُ الْإِمَامُ أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ عَبْدِ السَّلَامِ رحمه الله أَنَّهَا مِنْ الْبِدَعِ الْمُبَاحَةِ وَلَا تُوصَفُ بِكَرَاهَةٍ وَلَا اسْتِحْبَابٍ، وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ حَسَنٌ، وَالْمُخْتَارُ أَنْ يُقَالَ: إنْ صَافَحَ مَنْ كَانَ مَعَهُ قَبْلَ الصَّلَاةِ فَمُبَاحَةٌ كَمَا ذَكَرْنَا وَإِنْ صَافَحَ مَنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ قَبْلَهَا فَمُسْتَحَبَّةٌ؛ لِأَنَّ الْمُصَافَحَةَ عِنْدَ اللِّقَاءِ سُنَّةٌ بِالْإِجْمَاعِ لِلْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ فِي ذَلِكَ
Ada pun bersalaman ini, yang dibiasakan setelah dua shalat; subuh dan ‘ashar, maka Asy Syaikh Al Imam Abu Muhammad bin Abdussalam Rahimahullah telah menyebutkan bahwa itu termasuk bid’ah yang boleh yang tidak disifatkan sebagai perbuatan yang dibenci dan tidak pula dianjurkan, dan ini merupakan perkataannya yang bagus. Dan, pandangan yang dipilih bahwa dikatakan; seseorang yang bersalaman (setelah shalat) dengan orang yang bersamanya sejak sebelum shalat maka itu boleh sebagaimana yang telah kami sebutkan, dan jika dia bersalaman dengan orang yang sebelumnya belum bersamanya maka itu sunah, karena bersalaman ketika berjumpa adalah sunah menurut ijma’, sesuai hadits-hadits shahih tentang itu. [6]

c. Al-Imam Ibnu Hajar Al Haitami
Ulama lain yang membolehkan bersalaman selepas shalat diantaranya Imam Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki Asy Syafi’i (w. 974H). Beliau memfatwakan tentang sunahnya bersalaman setelah shalat walau pun shalat 'Ied.[7] Dalam kitabnya yang lain beliau berkata:
ولا أَصْلَ لِلْمُصَافَحَةِ بَعْدَ صَلاتَيْ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ وَلَكِنْ لا بَأْسَ بِهَا فَإِنَّهَا مِنْ جُمْلَةِ الْمُصَافَحَةِ وَقَدْ حَثَّ الشَّارِعُ عَلَيْهَا
Tidak ada dasarnya bersalaman setelah shalat subuh dan ‘ashar, tetapi itu tidak mengapa, karena itu termasuk makna global dari bersalaman, dan Asy Syaari’ (pembuat syariat) telah menganjurkan atas hal itu. [8]

d. Al-Imam Ar-Ramli
Ulama lain yang membolehkan bersalaman selepas shalat adalah Imam Syihabuddin Ar Ramli Asy Syafi’i (w. 957 H). Dalam kitab Fatawa-nya tertulis:
سُئِلَ عَمَّا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنْ الْمُصَافَحَةِ بَعْدَ الصَّلاةِ هَلْ هُوَ سُنَّةٌ أَوْ لا ؟ ( فَأَجَابَ ) بِأَنَّ مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنْ الْمُصَافَحَةِ بَعْدَ الصَّلاةِ لا أَصْلَ لَهَا وَلَكِنْ لا بَأْسَ بِهَا
Ditanya tentang apa yang dilakukan manusia berupa bersalaman setelah shalat, apakah itu sunah atau tidak? (Beliau menjawab): “Sesungguhnya apa yang dilakukan manusia berupa bersalaman setelah shalat tidaklah ada dasarnya, tetapi itu tidak mengapa. [9]

e. Imam Abdurrahman Syaikhi Zaadah
Imam Abdurrahman Syaikhi Zaadah Al-Hanafi (w. 1078 H) berkata ketika membahas tentang shalat Id:
وَالْمُسْتَحَبُّ الْخُرُوجُ مَاشِيًا إلا بِعُذْرٍ وَالرُّجُوعُ مِنْ طَرِيقٍ آخَرَ عَلَى الْوَقَارِ مَعَ غَضِّ الْبَصَرِ عَمَّالا يَنْبَغِي وَالتَّهْنِئَةِ بِتَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ لا تُنْكَرُ كَمَا فِي الْبَحْرِ وَكَذَا الْمُصَافَحَةُ بَلْ هِيَ سُنَّةٌ عَقِيبَ الصِلاة كُلِّهَا وَعِنْدَ الْمُلَاقَاةِ كَمَا قَالَ بَعْضُ الْفُضَلاءِ
Disunahkan keluar menuju lapangan dengan berjalan kecuali bagi yang uzur dan pulang melalui jalan yang lain dengan berwibawa dan menundukkan pandangan dari yang dilarang, dan menampakan kegembiraan dengan ucapan: taqabballallahu minna wa minkum, hal ini tidaklah diingkari sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al Bahr, demikian juga bersalaman bahkan itu adalah sunah dilakukan seusai shalat seluruhnya, dan ketika berjumpa sebagaimana perkataan sebagian orang-orang utama. [10]

f. Syaikh ‘Athiyah Shaqr
Syaikh ‘Athiyah Shaqr (mantan Mufti Mesir) beliau menyimpulkan bahwa:
والوجه المختار أنها غير محرمة وقد تدخل تحت ندب المصافحة عند اللقاء الذى يكفر الله به السيئات، وأرجو ألا يحتد النزاع فى مثل هذه الأمور
Pendapat yang dipilih adalah bahwa hal itu tidaklah haram, dan hal itu telah termasuk dalam anjuran bersalaman ketika bertemu yang dengannya Allah Ta’ala akan menghapuskan kesalahannya, dan saya berharap perkara seperti ini jangan terus menerus diributkan. … [11]

2. Dalil Yang Digunakan
Alasannya karena meski tidak ada contoh dan perintahnya, tetapi juga tidak ada nash yang secara tegas melarangnya. Logika yang digunakan, tidak mentang-mentang suatu perbuatan itu tidak ada contoh atau perintahnya, lantas menjadi haram atau bid'ah. Padahal hukum bersalaman sendiri aslinya justru merupakan perbuatan sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah SAW sendiri.
مامن مسلمين يلتقيان فيتصافحان إلا غفر لهما قبل أن يتفرقا
Dari Bara bin ‘Azib radhialllahanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu mereka bersalaman melainkan Allah ampuni mereka berdua sebelum mereka berpisah. (HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah)

Selain itu juga ada dalil yang merupakan atas shahabi.
قلت لأنس: أكانت المصافحة في أصحاب النبي ؟ قال: نعم.
Dari Qatadah radhiallahuanhu berkata,"Aku bertanya kepada Anas bin Malik,"Apakah bersalaman itu dilakukan para sahabat Nabi SAW?". Anas menjawab,“Ya. (HR. Bukhari)

C. Kesimpulan
- Jika menganggap bersalaman selepas shalat itu termasuk ritual ibadah shalat, maka tak diragukan lagi itu termasuk bid’ah dhalalah.
- Jika bersalaman selepas shalat kepada saudara yang baru datang, kebetulan baru berkesempatan bisa bersalaman selepas shalat maka hukumnya sunnah dan termasuk aplikasi hadits Nabi.
- Jika kepada sesama jamaah yang mulanya memang sudah bertemu sebelum shalat, maka semua sepakat bersalaman seperti ini tidak ada haditsnya yang secara khusus memerintahkan. Tetapi, ulama berbeda pendapat. Sebagian tidak membolehkan, karena bid’ah dan tidak boleh, sebagian lagi berpendapat meski tidak ada haditsnya, belum tentu tidak boleh.
- Jika berpendapat bersalaman setelah shalat itu tidak boleh dilakukan, tetapi dia melakukannya bukan inisiatif sendiri, melainkan dia dalam keadaan berjamaah shalat bersama jamaah yang biasa melakukan. Jika dia menolak untuk bersalaman, bisa saja malah melukai perasaan saudaranya itu jika dia menghindar, maka tidak mengapa dia bersalaman. Hal ini, demi menjaga perasaan sesama muslim, menyatukan hati, dan menghindari kebencian satu sama lain
--------------------------------
[1] Ibnu Taimiyah, Majmu' Fatawa, jilid 2 hal. 3339
[2] Majmu’ Fatawa wal Maqalat, jilid 29 hal. 309-310, Ar Riasah Al ‘Aamah Lil Buhuts Al ‘ilmiyah wal ifta’.
[3] Fatawa Nur ‘Alad Darb Lil Utsaimin, pertanyaan No. 780. Syamilah
[4] Qawaid Al Ahkam fi Mashalihil Anam, jilid 2 hal. 173
[5] An-Nawawi, Al Adzkar, hal. 184. Mawqi’ Ruh Al Islam
[6] An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, jilid 3 hal. 325
[7] Ibnu Hajar al-Haitami, Al-Fatawa Al-Kubra Al-Fiqhiyah ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i, jilid 4 hal. 224-225
[8] Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj, jilid 39 hal. 448-449
[9] Syihabuddin ar-Ramli, Fatawa Ar Ramli, jilid 1 hal. 385
[10] Abdurrahman Zaadah, Majma’Al Anhar fi Syarh Multaqa Al Abhar, jilid 1 hal. 173
[11] Fatawa Dar Al Ifta’ Al Mishriyah, jilid 8 hal. 477
Ahmad Sarwat, Lc., MA
www.rumahfiqih.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar