Senin, 24 Agustus 2015

PAHAM INKAR SUNNAH (1)

Di antara berbagai bid’ah yang ada di dalam Islam atau menisbatkan dirinya kepada Islam, adalah bid’ah paham inkar Sunnah. Ini adalah salah satu bid’ah klasik yang sesat lagi menyesatkan. Paham ini sudah mulai muncul pada abad kedua Hijriyah. Mereka hendak mengganti syariat Allah dengan syariat hawa nafsu yang menafikan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan penafian eksistensi sahabat.

 Namun demikian, inkar Sunnah bukan barang baru dalam sejarah Islam. Jauh-jauh hari Rasulullah sudah memperingatkan,

يُوشِكُ الرَّجُلُ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيكَتِهِ يُحَدِّثُ بِحَدِيثٍ مِنْ حَدِيثِي فَيَقُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مَا وَجَدْنَا فِيهِ مِنْ حَلَالٍ اسْتَحْلَلْنَاهُ وَمَا وَجَدْنَا فِيهِ مِنْ حَرَامٍ حَرَّمْنَاهُ أَلَا وَإِنَّ مَا حَرَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ . (رواه ابن ماجه عن المقدام بن معدي كرب
“Kelak akan ada seorang laki-laki yang duduk bersandar di ranjang mewahnya, dia berbicara menyampaikan haditsku. Lalu dia berkata, ‘Di antara kita sudah ada kitab Allah. Maka, apa yang kita dapatkan di dalamnya sesuatu yang dihalalkan, kita halalkan. dan apa yang diharamkan di dalamnya, maka kita haramkan. Padahal, sesungguhnya apa yang diharamkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sama seperti apa yang diharamkan Allah.” (HR. Ibnu Majah dari Al-Miqdam bin Ma’di Karib)

Goresan sejarah mengungkapkan, bahwa memang ada sekelompok orang yang mengaku beragama Islam namun menolak keberadaan Sunnah, mengingkari kedudukan Sunnah, dan tidak mau menggunakan Sunnah sebagai sumber syariat setelah Al-Qur`an. Mereka hanya mau mengakui Al-Qur`an satu-satunya sumber syariat. Secara terang-terangan mereka tidak mau menerima hadits-hadits Nabi, baik yang mutawatir maupun yang ahad. Kata mereka; Sunnah tidak dibutuhkan, Al-Qur`an saja sudah cukup tanpa Sunnah. Namun, di antara mereka ada juga yang menggunakan hadits sebagai hujjah, meskipun hanya sebagian dan pilih-pilih. Terutama hadits-hadits tentang larangan menulis hadits, hadits-hadits yang dianggap bertentangan satu sama lain, dan hadits-hadits lain yang memungkinkan untuk diserang dikarenakan derajatnya yang lemah.

Sabda Nabi di atas terbukti sepeninggal beliau. Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu berkata, “Allah melaknat perempuan yang membuat tato, perempuan yang minta dibuatkan tato, perempuan yang mencabuti bulu di wajahnya, dan perempuan yang merenggangkan giginya agar kelihatan bagus, yang mengubah ciptaan Allah.”

Perkataan Ibnu Mas’ud ini didengar oleh seorang perempuan bernama Ummu Ya’qub. Dia pun datang kepada Ibnu Mas’ud dan berkata, “Saya dengar engkau melaknat perempuan yang begini dan begitu?” Kata Ibnu Mas’ud, “Kenapa saya tidak boleh melaknat orang yang dilaknat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan yang dilaknat dalam Kitab Allah?”

Perempuan itu berkata, “Sungguh saya telah membaca semua yang ada di antara dua papan (Al-Quran), tapi saya tidak mendapatkan apa yang engkau katakan?” Kata Ibnu Mas’ud, “Jika engkau benar-benar telah membacanya, maka sesungguhnya engkau telah mendapatkannya. Apa engkau tidak membaca, ‘Dan apa yang dibawa oleh Rasul untuk kalian, maka ambillah. Dan apa yang kalian dilarang (melakukannya)nya, maka hentikanlah’.” Perempuan itu berkata, “Ya, benar.” Kata Ibnu Mas’ud, “Jadi, sesungguhnya Rasulullah telah melarang hal tersebut.”

Juga diriwayatkan, bahwa Imran bin Hushain Radhiyallahu Anhu pernah berkata kepada seseorang yang menyerukan inkar Sunnah, “Sesungguhnya kamu ini orang yang dungu! Apa kamu mendapatkan dalam Kitab Allah kalau shalat zuhur itu empat rakaat dan bacaannya tidak dikeraskan?” Kemudian, Imran menanyakan banyak hal kepadanya tentang shalat, zakat, dan sebagainya. Lalu, Imran berkata, “Apa kamu mendapatkan tafsir semua itu dalam Al-Qur`an? Sesungguhnya hal ini masih samar dalam Al-Qur`an dan Sunnahlah yang menjelaskannya!”

Ketika Mutharrif bin Abdillah Asy-Syikhkhir –seorang ulama tabi’in– mendengar ada orang yang mengatakan; Jangan mengajak kami bicara selain dengan Al-Qur`an, dia berkata, “Demi Allah, kami tidak ingin mencari pengganti Al-Qur`an, tetapi kami hanya ingin mencari penjelasan Al-Qur`an dari orang yang lebih tahu dari kami tentang Al-Qur`an.”

Pada masa Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah, orang-orang yang mendustakan hadits Nabi masih saja ada, bahkan semakin banyak. Sehingga, tidak mengherankan jika Imam Asy-Syafi’i membuat satu bab khusus dalam Kitabnya (Al-Umm) yang mengisahkan terjadinya perdebatan antara dirinya dengan mereka yang menolak habis Sunnah Nabi. Sedangkan dalam Ar-Risalah, Imam Asy-Syafi’i membuat satu pembahasan tersendiri yang cukup panjang tentang kekuatan khabar ahad sebagai hujjah.

Dikisahkan, bahwa suatu hari manakala Imam Asy-Syafi’i sedang duduk di Masjidil Haram, dia berkata kepada orang-orang di sekelilingnya, “Tidaklah kalian bertanya tentang suatu masalah kepadaku, melainkan akan saya jawab dengan Kitab Allah.” Lalu, ada seseorang yang bertanya, “Apa yang engkau katakan apabila orang yang sedang ihram (muhrim) membunuh kalajengking?”
Imam Asy-Syafi’i berkata, “Tidak apa-apa.”
Orang itu berkata lagi, “Mana dalilnya dalam Al-Qur`an?”
Imam Asy-Syafi’i berkata, “Allah Ta’ala berfirman; Dan apa-apa yang dibawa Rasul kepada kalian, maka ambillah.[9] Sedangkan Rasul bersabda; Kalian harus memegang teguh Sunnahku dan Sunnah khulafa’ur rasyidin sesudahku. Dan, Umar Radhiyallahu Anhu berkata; Orang yang sedang ihram boleh membunuh kalajengking!”

Selanjutnya, kelompok inkar Sunnah sedikit demi sedikit terus berkurang jumlahnya, bahkan bisa dibilang sudah punah. Tidak ada lagi kabar eksistensi mereka paska abad kedua Hijriyah. Mereka tidak disinggung dalam kitab-kitab tarikh maupun literatur tentang agama-agama dan berbagai aliran di dunia.
Hingga akhirnya pada sekitar abad delapan belas, masa penjajahan Barat atas negara-negara berkembang di Asia dan Afrika, benih-benih inkar Sunnah ini mulai tampak muncul kembali. Ketika itu, Inggris menduduki sebagian negara-negara Islam atau mayoritas muslim yang sudah mapan beberapa abad sebelumnya. India yang waktu itu belum berpisah dengan Pakistan dan Bangladesh, adalah salah satu target proyek penghancuran Islam oleh Inggris.

Inggris sadar bahwa untuk menghancurkan Islam bukanlah perkara mudah selama umatnya masih mempunyai akidah yang lurus dan jiwa yang bersih. Oleh karena itu, mereka sengaja mencari orang-orang Islam yang gila harta dan budak hawa nafsu untuk menembus dinding akidah umat Islam. Orang-orang seperti ini sengaja dimunculkan oleh musuh-musuh Islam dengan dukungan penuh material spiritual. Mereka pun merusak akidah umat dan memecah-belah kesatuannya.

Paham inkar Sunnah dimunculkan dan dimanfaatkan oleh musuh Islam untuk menghabisi Islam dengan cara menghancurkan sendi-sendi utamanya. Bagaimana tidak, karena yang digerogoti dan dinafikan adalah Sunnah Nabi-Nya! Orang-orang inkar Sunnah ini ada yang menamakan kelompoknya sebagai “Qur`aniyyun” (pengikut Al-Qur`an), ada yang menamakan diri “Jama’atul Qur`an,” dan ada juga yang melabelkan diri sebagai “Ahlul Qur`an!”

INKAR SUNNAH KEHILANGAN AKAR SEJARAH

Secara paradigma pemikiran dan pemahaman, sejarah inkar Sunnah memang sangat erat dengan golongan Khawarij, Muktazilah, dan Syiah. Dan dari segi benih kemunculan, mereka sudah tampak sejak masa sahabat. Bahkan, kabar tentang akan adanya orang yang mengingkari Sunnah sudah pernah disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Tetapi, dari segi golongan atau kelompok yang terpisah dan berdiri sendiri, inkar Sunnah ini sesungguhnya tidak pernah eksis kecuali pada masa penjajahan kolonial Inggris di India sekitar abad delapan belas.

Barangkali, satu-satunya kitab turats yang di dalamnya ada pembahasan khusus yang membantah pemahaman orang-orang inkar Sunnah yang menunjukkan keberadaannya adalah kitab Ar-Risalah karya Imam Asy-Syafi’i, yang memang waktu itu sempat berhadapan dengan mereka. Adapun kitab-kitab turats lain, biasanya hanya membahas masalah kedudukan Sunnah dalam syariat Islam serta hukum orang yang mengingkarinya. Misalnya, Al-Kifayah fi ‘Ilm Ar-Riwayah (Imam Al-Khathib Al-Baghdadi), Syarh As-Sunnah An-Nabawiyyah (Imam Abu Muhammad Al-Baghawi), dan Miftah Al-Jannah fi Al-Ihtijaj bi As-Sunnah (Imam Jalaluddin As-Suyuthi).

Semestinya, apabila kelompok inkar Sunnah benar-benar pernah ada wujudnya dalam perjalanan sejarah Islam, tentu akan mudah ditemui kisahnya dalam kitab-kitab tarikh yang besar semacam; Tarikh Al-Umam wa Al-Muluk (Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari), Tarikh Al-Islam (Imam Adz-Dzahabi), Al-Bidayah wa An-Nihayah (Imam Ibnu Katsir), Tarikh Dimasyq (Ibnu Asakir), Al-Kamil fi At-Tarikh (Ibnul Atsir), dan Tarikh Baghdad (Al-Khathib Al-Baghdadi).

Padahal, betapa banyaknya tokoh-tokoh sesat yang bernasib tragis yang kisahnya dimuat dalam kitab-kitab sejarah Islam. Sebutlah misalnya;
- Abdullah bin Saba`yang akan dibakar oleh Ali bin Abi Thalib, tetapi berhasil melarikan diri;
- Al-Harits bin Said Al-Mutanabbi (79 H) yang dihukum mati dengan cara dilempar tombak di tiang salib oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan Al-Umawi;
- Ma’bad Al-Juhani Al-Qadari (80 H) yang juga dihukum mati oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan;
- Ghailan Ad-Dimasyqi Al-Qadari (105 H) yang dihukum salib dan dipenggal lehernya oleh Khalifah Hisyam bin Abdul Malik;
- Abbad Ar-Ru’aini Al-Khariji (107 H) dibunuh oleh Gubernur Yaman Yusuf bin Umar;
- Ammar bin Yazid Bakhdasy (118 H) yang dipotong tangannya dan disalib oleh Gubernur Irak Khalid bin Abdillah Al-Qasri;
- Al-Ja’d bin Dirham (124 H) yang disembelih pada hari raya Idul Adha layaknya qurban juga oleh Khalid bin Abdillah Al-Qasri;
- Al-Jahm bin Shafwan (128 H) yang dibunuh oleh Salam bin Ahwaz, kepala kepolisian pada masa Khalifah Marwan Al-Himari, khalifah terakhir Bani Umayyah;
- Bisyr Al-Marrisi, seorang tokoh Muktazilah yang menghilang tak tentu rimbanya karena takut akan dibunuh oleh Khalifah Harun Al-Rasyid;
- Al-Husain bin Manshur Al-Hallaj (309 H), tokoh sesat sufi yang dihalalkan darahnya dan dikafirkan oleh para ulama dan kaum muslimin ketika itu yang kemudian dijatuhi hukuman mati oleh Khalifah Al-Muqtadir Billah.
Dan masih banyak lagi yang lain. Akan tetapi, dari sekian banyak tokoh sesat lagi menyesatkan yang mengemuka dan dicatat oleh sejarah, tidak satu pun di antara mereka yang dikenal sebagai seorang yang berpaham inkar Sunnah.

Atau lebih khusus lagi, seharusnya mereka juga mudah ditemukan dalam kitab-kitab yang membahas golongan-golongan dalam Islam atau dinisbatkan ke Islam atau yang pernah bersinggungan dengan Islam. Seperti; Al-Milal wa An-Nihal (Abul Fath Asy-Syahrastani/w. 548 H) dan Al-Farq Baina Al-Firaq (Abu Manshur Al-Baghdadi/w. 409 H)). Atau buku-buku dalam masalah ini yang muncul belakangan, seperti; Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyyah (Syaikh Muhammad Abu Zuhrah) dan Islam Bila Madzahib (DR. Musthafa Syak’ah). Namun, faktanya tidaklah demikian. Mereka benar-benar tidak terekam dalam sejarah.
Jadi, aliran sesat inkar Sunnah ini memang bagaikan hantu yang muncul tiba-tiba. Mereka pernah terdengar beritanya hingga abad kedua Hijriyah, itu pun sayup-sayup. Selanjutnya, mereka lenyap ditelan bumi. Tidak ada kabar, tidak ada suara, dan tiada wujud. Kemudian, setelah berabad-abad lamanya (sekira sepuluh abad) tahu-tahu mereka muncul di India. Tentu hal ini membuat orang waras bertanya-tanya, kenapa kemunculan mereka berbarengan dengan masa penjajahan Inggris? Ke mana saja inkar Sunnah ini selama sepuluh abad sebelumnya?

Dalam salah satu email diskusi yang kami tujukan kepada Pak Deepspace, salah satu aktor inkar Sunnah di dunia maya, kami katakan bahwa mereka ini seperti teori Darwin saja; ada link atau mata rantai yang hilang. Ibarat sanad, ada yang terputus, alias tidak bersambung. Sungguh susah memahami kerangka berpikir mereka, di satu sisi mereka menolak hadits karena baru ditulis 200-an tahun setelah Nabi wafat, tetapi di sisi lain mereka juga baru eksis 1200-an tahun setelah Nabi wafat. Kalau mereka tidak percaya Sunnah, semestinya mereka lebih tidak percaya kepada diri mereka sendiri. Bahkan, barangkali bisa juga bisa dikatakan bahwa inkar Sunnah ini bagaikan anak haram yang tidak jelas siapa bapaknya dan pula tidak diketahui siapa ibu yang melahirkannya!

Dalam hal ini, setidaknya ada enam kelemahan inkar Sunnah di hadapan Ahlu Sunnah:
a. Ahlu Sunnah selalu eksis sejak masa Nabi dan sahabat hingga sekarang. Dari satu generasi ke generasi berikutnya tanpa terputus sedetik pun, senantiasa bersambung. Dan, insya Allah hingga Hari Kiamat kelak. Amin.
- Inkar Sunnah baru eksis 1200 tahun setelah wafatnya Nabi.
b. Ahlu Sunnah selalu dapat mengalahkan argumentasi orang yang mengingkari Sunnah pada dua abad pertama paska wafatnya Nabi ketika secara personal mereka pernah ada.
- Orang yang mengingkari Sunnah selalu kalah jika berhadapan dengan para ulama Ahlu Sunnah ketika itu.
c. Ahlu Sunnah mempunyai khazanah keilmuan yang sangat melimpah dalam berbagai disiplin ilmu; Al-Qur`an dan ilmu-ilmu Al-Qur`an, tafsir Al-Qur`an, kitab-kitab hadits dan ilmu-ilmu hadits, fikih dan ushul fikih, sejarah Islam dan madzhab-madzhab dalam Islam, dan lain-lain. Semuanya penuh dengan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
- Inkar Sunnah sama sekali tidak memiliki kekayaan intelektual sebagaimana Ahlu Sunnah.
d. Setiap abad, setiap masa, dan setiap saat, selalu saja ada tokoh ulama Ahlu Sunnah dan para imam yang mengemuka. Nama-nama mereka tercatat dengan tinta emas dalam sejarah Islam, terutama dalam literatur biografi yang menyebutkan berbagai kelebihan dan sumbangsih mereka dalam menegakkan agama Islam.
- Inkar Sunnah tidak memiliki tokoh-tokoh seperti Ahlu Sunnah, kecuali setelah abad delapan belas Masehi. Itu pun tercatat dengan noda merah. Banyak di antara tokoh inkar Sunnah yang hidupnya berakhir dengan mengenaskan, setimpal dengan dosa-dosanya.
e. Ahlu Sunnah, baik ulamanya ataupun umat Islam secara umum, banyak terlibat dalam perjuangan (baca; jihad) melawan musuh-musuh Islam. Kemenangan-demi kemenangan pasukan kaum muslimin atas musuh-musuhnya tercatat dengan indah dalam sejarah.
- Adapun inkar Sunnah, justru tercatat sebagai orang-orang atau kelompok yang diperangi oleh kaum muslimin. Mereka adalah ‘pe-er’ bagi umat Islam. Mereka adalah musuh dalam selimut.
f. Para khalifah, sejak masa Khulafa`ur rassyidin, Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, dan Daulah Utsmaniyah, adalah orang-orang yang memegang teguh memegang Al-Qur`an dan Sunnah Nabi.
- Inkar Sunnah tidak memiliki peran apa pun dalam pemerintahan Islam. Tidak ada satu pun khalifah dalam sejarah Islam yang berpaham inkar Sunnah.

MAKNA SUNNAH DALAM AL-QUR'AN
Adalah sangat mengada-ada dan dipaksakan jika orang-orang yang mengingkari Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengatakan bahwa Sunnah itu tidak ada hanya dikarenakan tidak ada penyebutan kata “Sunnah Nabi” atau “Sunnah Rasul” di dalam Al-Qur`an. Sebab, tidak semua hal harus disebutkan secara letterledge (harfiyah) oleh Allah dalam Kitab-Nya, dan itu adalah hak prerogatif Allah yang tidak bisa diganggu gugat. Bagaimanapun juga, setiap bahasa mempunyai kaidah dan gramatikanya sendiri. Begitu pula dengan Bahasa Arab. Penggunaan kata ganti orang kedua dan ketiga serta penyebutan sesuatu dengan menggunakan kata yang lain adalah sesuatu yang sangat biasa. Bahkan dalam bahasa apa pun.

Siapa pun maklum bahwa ketika Allah menyebutkan kata “Nabi,” “Rasul,” dan “Ahmad” dalam Kitab-Nya, maka yang dimaksud adalah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Dan manakala Allah menyebutkan kata “Al-Kitab” dalam awal surat Al-Baqarah, maka setiap orang yang berakal pasti tahu bahwa yang dimaksud adalah Al-Qur`an. Begitu pula ketika Allah menyebutkan kata “Ar-Ruh Al-Amin” dalam surat Asy-Syu’araa` ayat 193, maka tidak ada lagi yang dimaksud selain Malaikat Jibril. Sebab, Malaikat Jibril-lah satu-satunya malaikat yang bertugas menurunkan wahyu kepada para utusan Allah. Dan masih banyak lagi yang lain.

Jadi, merupakan suatu hal yang aneh jika orang-orang inkar Sunnah menutup mata atau pura-pura tidak tahu bahwa ada kata-kata tertentu dalam Al-Qur`an yang bermakna sebagai Sunnah Nabi. Apalagi jika konteks ayatnya memang menunjukkan bahwa itu adalah Sunnah Nabi. Lebih ‘lucu’ lagi, ketika mengartikan kata “adz-dzikr” dan “al-hikmah” sebagai Al-Qur`an, orang inkar Sunnah mengklaim bahwa hanya Al-Qur`an sajalah yang diturunkan Allah. Padahal konteks ayatnya tidak selalu mutlak bermakna demikian.

“Adz-Dzikr” juga Bermakna Sunnah
Benar, dalam sejumlah ayat dalam Al-Qur`an yang menyebutkan kata “adz-dzikr,” hampir semua ulama tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud “adz-dzikr” adalah Al-Qur`an. Akan tetapi, dalam waktu yang sama, akan sulit dijumpai ulama tafsir yang memisahkan antara Al-Qur`an dan Sunnah. Dalam arti kata, para ulama tafsir Ahlu Sunnah pun sepakat bahwa selain Al-Qur`an, Allah juga menurunkan wahyu-Nya dalam bentuk Sunnah yang tidak terdapat dalam Al-Qur`an.

Misalnya, perkataan Nabi ketika menjawab salah seorang istrinya yang bertanya, “Siapa yang memberitahukan hal ini kepadamu?” Kata beliau, “Aku diberi tahu oleh Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Pengetahuan Nabi atas apa yang sedang dibicarakan secara rahasia oleh sebagian istrinya ini adalah wahyu, tetapi mengenai apa isi perkataan Nabi tersebut, maka Sunnah-lah yang menceritakannya lebih lanjut.

Sesungguhnya, Sunnah yang shahih juga dijaga oleh Allah Azza wa Jalla sebagaimana Al-Qur`an. Allah berfirman,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ 
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan adz-dzikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjaganya.” (Al-Hijr: 9)

DR. Muhammad Musa Nashr mengatakan, bahwa yang dimaksud adz-dzikr dalam ayat ini adalah Al-Qur`an dan Sunnah. Sebab, ayat-ayat Al-Qur`an itu saling menafsirkan satu sama lain. Dan, ayat ini ditafsirkan oleh ayat lain yang berbunyi,
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ ۗ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ 
“Maka bertanyalah kalian kepada ahlu adz-dzikr jika kalian tidak mengetahui, dengan penjelasan-penjelasan dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan adz-dzikr kepadamu agar kamu menjelaskan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka mau berpikir.” (An-Nahl: 43-44)

Mereka yang dimaksud dengan “ahlu adz-dzikr” dalam dua ayat ini adalah para ulama. Dan, seseorang tidak mungkin disebut sebagai alim (bentuk jama’; ulama) kecuali apabila dia menguasai Al-Qur`an dan Sunnah secara bersama-sama. Dengan demikian, sesungguhnya “ahlu adz-dzikr” itu adalah ulama Al-Qur`an dan Sunnah. Dikarenakan Sunnah merupakan bagian dari wahyu inilah, maka Allah memudahkan para ulama untuk menyeleksi dan memilah Sunnah; mana yang benar-benar Sunnah dan mana yang bukan Sunnah. Sebab, Allah pun menjaga Sunnah Nabi-Nya sebagaimana Dia menjaga Kitab-Nya.

Jadi, karena “adz-dzikr” juga mempunyai makna Sunnah, maka sesungguhnya Sunnah itu ada dalam Al-Qur`an, dan bahwa Sunnah adalah juga wahyu dari Allah. Apalagi Allah Ta’ala mengatakan,
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ 
“Dan tidaklah dia (Muhammad) berbicara dari hawa nafsunya. Tidak lain itu adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4)

“Al-Hikmah” Adalah Sunnah
Terdapat sekitar dua puluh kata “al-hikmah” dalam Al-Qur`an, Dan, kira-kira separonya adalah bermakna Sunnah. Misalnya, dalam surat Al-Baqarah ayat 129 Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ 
“Wahai Tuhan kami, utuslah seorang Rasul di tengah-tengah mereka yang membacakan kepada mereka ayat-ayatMu, dan mengajari mereka Al-Kitab serta al-hikmah, dan menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Imam Abdullah An-Nasafi (w. 710 H) berkata, “Yang dimaksud ‘membacakan kepada mereka ayat-ayatMu’ yaitu membacakan dan menyampaikan kepada mereka bukti-bukti keesaan Allah dan kebenaran para nabi yang diutus berdasarkan wahyu yang diturunkan. Dan, yang dimaksud ‘mengajari mereka Al-Kitab’ yaitu mengajarkan Al-Qur`an kepada mereka. Sedangkan yang maksud al-hikmah’ yaitu Sunnah Nabi dan pemahaman Al-Qur`an. Adapun maksud ‘menyucikan mereka’ adalah membersihkan mereka dari perbuatan syirik dan segala najis.” Jadi, makna “al-hikmah” dalam ayat ini adalah Sunnah.

Dalam ayat lain Allah Jalla wa ‘Ala berfirman,
وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَىٰ فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا
“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan al-hikmah. Sesungguhnya Allah adalah Mahalembut lagi Maha Mengetahui.” (Ak-Ahzab: 34)

Tentang ayat ini, Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni mengatakan dalam kitab tafsirnya, bahwa yang dimaksud dengan “ayat-ayat Allah” adalah ayat-ayat Al-Qur`an. Sedangkan yang dimaksud “al-hikmah” yaitu Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Dengan keduanyalah (Al-Qur`an dan Sunnah) seorang mukmin dapat memperoleh kebahagiaan dan kesuksesan.

“Al-Bayan” Adalah Sunnah
“Al-bayan” atau “at-tibyan” artinya secara bahasa yaitu penjelas atau yang menjelaskan. Yang namanya penjelas, tentu ada sesuatu yang dijelaskan. Dan, tidak selalu (tidak harus) bahwa yang dijelaskan itu adalah sesuatu yang tidak bisa dipahami atau tidak dimengerti artinya atau hakekatnya. Sebab, terkadang sesuatu yang sudah jelas pun perlu penjelasan lebih lanjut supaya lebih jelas lagi. Contoh yang sangat sederhana saja, yang sedang Anda baca sekarang ini adalah buku. Siapa pun tahu dengan jelas apa itu buku. Tapi apa kata “buku” itu sendiri tidak bisa dijelaskan? Tentu bisa. Meskipun semua orang (yang berakal sehat) tahu apa itu buku, namun kita masih bisa membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) –terbitan Balai Pustaka, misalnya– untuk melihat apa itu penjelasan dari kata “buku.”

Sekiranya segala sesuatu yang sudah jelas itu tidak perlu dijelaskan lagi, barangkali tidak akan pernah ada yang namanya Kamus Bahasa Indonesia dalam berbagai versinya yang menjelaskan kosa kata Bahasa Indonesia sendiri. Begitu pula dengan berbagai kamus Bahasa Arab dan Bahasa Inggris serta kamus-kamus dalam bahasa lain yang menjelaskan kosa kata dalam bahasanya sendiri.

Demikian pula dengan Al-Qur`an. Al-Qur`an memang sudah jelas dan mudah dipahami. Allah sendiri yang mengatakan demikian dalam Kitab-Nya. Akan tetapi, tentu tidak semua ayat Al-Qur`an itu bisa dipahami dengan mudah, sebagaimana juga ada kata-kata dalam Al-Qur`an yang sudah jelas namun perlu penjelasan lebih lanjut. Terutama dalam hal penjabarannya, perinciannya, dan praktik serta aplikasinya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآَنَهُ . ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ 
“Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.” (Al-Qiyamah: 18-19)

Penjelasan seperti apa yang diberikan Allah kepada Nabi-Nya? Apakah setiap penjelasan dari Allah juga terdapat dalam Al-Qur`an? Tentu tidak. Itulah makanya, yang dimaksud dengan “al-bayan” atau penjelasannya di sini adalah Sunnah. Karena, melalui Sunnah-lah Nabi menjelaskan makna ayat-ayat Al-Qur`an berdasarkan wahyu yang beliau terima dari Allah. Syaikh Abdurrahman As-Sa’di (1307 – 1376 H) mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan penjelasannya atau yang menjelaskannya adalah penjelasan makna-makna Al-Qur`an. Allah menjanjikan kepada Nabi bahwa beliau pasti akan hafal lafalnya dan hafal makna-maknanya.

Mengutip pendapat Qatadah bin Di’amah (w. 117 H), Imam Al-Qurthubi menyebutkan, bahwa yang dimaksud “al-bayan” dalam ayat ini yaitu tafsir ayat-ayat tentang hudud, dan halal serta haram dalam Al-Qur`an. Al-Qurthubi melanjutkan, “al-bayan” juga berarti penjelasan lebih detil tentang janji dan ancaman Allah. Dan bahwa Allah-lah yang akan menjelaskan makna Al-Qur`an melalui lisanmu (Muhammad).
Apabila penjelasan yang berasal dari Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang ayat-ayat Al-Qur`an tersebut tidak ada dalam Al-Qur`an, maka yang dimaksud dengan “al-bayan” tidak lain dan tidak bukan adalah Sunnah.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ 
“Dan Kami telah menurunkan Al-Kitab (Al-Qur`an) yang menjelaskan segala sesuatu.” (An-Nahl: 89)
Dalam kitab tafsirnya, Imam Ibnu Katsir mengutip pendapat Al-Auza’i, bahwa Nabi menjelaskan segala sesuatu dalam Al-Kitab dengan Sunnahnya. Jadi, yang dimaksud “at-tibyan” dalam ayat ini adalah Sunnah. Sebab, dengan Sunnah-lah Nabi menjelaskan segala sesuatu yang terkandung dalam Al-Qur`an.
Prof. DR. Wahbah Az-Zuhaili berkata, “Penjelas (at-tibyan) segala sesuatu dalam Al-Qur`an bisa dengan nash yang sudah jelas hukumnya (dalam suatu perkara), dan bisa juga dengan Sunnah Nabi dimana Allah memerintahkan kita untuk mengikuti dan menaati Rasul-Nya.

Apabila orang inkar Sunnah mengatakan bahwa Al-Qur`an adalah penjelas segala sesuatu, seharusnya mereka bisa membuktikan penjelasan Al-Qur`an tentang perincian ibadah dan muamalah serta adab keseharian seorang muslim. Mereka (inkar Sunnah) harus bisa menunjukkan dalam Al-Qur`an tentang rincian tatacara shalat; bacaan, gerakan, dan jumlah rakaatnya. Mereka harus bisa membuktikan bahwa manasik haji secara lengkap terdapat dalam Al-Qur`an. Mereka harus mampu menunjukkan penjelasan Al-Qur`an tentang aturan jual-beli, hukum pernikahan, dan etika bermasyarakat. Demikian seterusnya. Apakah mereka bisa menunjukkan penjelasan hal-hal tersebut dalam Al-Qur`an? Sungguh, Sunnah-lah yang menjelaskan ini semua. Bagaimanapun juga, Sunnah adalah penjelas Al-Qur`an.
“Al-Balagh” Mengandung Makna Sunnah
Memberikan hidayah kepada seseorang atau membuat seseorang menjadi beriman kepada Allah, bukanlah tugas Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagai seorang utusan Allah. Kewajiban Nabi hanyalah menyampaikan apa yang diwahyukan Allah kepadanya. Tugas beliau hanyalah menyampaikan risalah Allah. Adapun masalah pemberian pahala dan pencatatan dosa adalah urusan Allah. Allah-lah yang membalas amal baik dan buruknya seseorang. Dan, Allah pula yang memberikan hidayah serta yang membuat seseorang menjadi beriman atau tetap dalam kekafirannya.

Kata “al-balagh” yang berarti menyampaikan banyak terdapat dalam Al-Qur`an. Kata “al-balagh” ini sering dilekatkan pada Nabi berkaitan dengan tugas beliau sebagai utusan Allah yang menyampaikan risalah-Nya. Dan, risalah yang diemban oleh Nabi ini mencakup Al-Qur`an dan Sunnahnya. Sebab, dengan Sunnah-lah Nabi menjelaskan isi Al-Qur`an, sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan yang lalu.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
مَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا تَكْتُمُونَ 
“Tidak ada kewajiban Rasul selain menyampaikan. Dan, Allah Maha mengetahui apa yang kalian tampakkan dan apa yang kalian sembunyikan.” (Al-Maa`idah: 99)

Imam Abdullah An-Nasafi mengatakan, bahwa ayat ini menegaskan wajibnya melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Rasul, dan bahwasanya Rasul telah melaksanakan “al-balagh” yang menjadi kewajibannya.

Dan, sebagaimana diketahui, bahwa risalah yang dibawa Nabi adalah Al-Qur`an dan Sunnah. Dalam arti kata, Nabi pun mempunyai otoritas –atas izin dan kehendak Allah– untuk menyuruh dan melarang umatnya. Inilah makna dari firman Allah Ta’ala,
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
“Dan apa yang dibawa oleh Rasul untuk kalian, maka ambillah. Dan apa yang kalian dilarang (melakukannya)nya, maka hentikanlah.” (Al-Hasyr: 7)

Jadi, sangat masuk akal jika yang dimaksud dengan “al-balagh” dalam ayat di atas dan beberapa ayat lain adalah Sunnah Nabi. Karena, kewajiban Nabi adalah menyampaikan apa yang diwahyukan Allah kepada beliau, dan penjelasan dari Nabi atas wahyu Allah adalah Sunnah. DR. Muhammad Musa Nashr berkata, “Al-balagh al-mubin (penyampaian yang jelas) yaitu tafsir Al-Qur`an Al-Karim dan penjelasan tentang syariat Islam.”

“Al-Amr” Bermakna Sunnah
Kaum muslimin dan para ulamanya telah bersepakat, bahwa apa pun yang bersumber dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan sanad yang shahih adalah Sunnah beliau. Baik itu berupa perintah, larangan, contoh praktik suatu ibadah, adab keseharian beliau, dan apa pun yang beliau katakan, lakukan, dan diamkan, adalah Sunnah. Keputusan dan perintah beliau adalah Sunnah, dimana kaum muslimin wajib melaksanakannya semampu mungkin. Dalam Al-Qur`an Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ 
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (An-Nur: 63)

Al-Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullah berkata, “Maksudnya yaitu dari perintah Rasulullah. Perintah ini adalah jalan beliau, manhaj, dan jalannya. Perintah Rasul adalah Sunnah dan syariatnya, dimana semua perkataan dan perbuatan kita diukur dengan perkataan dan perbuatan Rasul. Apabila perkataan dan perbuatan kita sama dengan Rasul, maka hal itu bisa diterima. Namun, jika perkataan dan perbuatan kita menyalahi Rasul, maka ia tertolak, siapa pun orangnya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih riwayat Imam Al-Bukhari dan Muslim, bahwa ‘Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dariku, maka ia tertolak.’ Maksudnya, hendaklah seseorang takut dan berhati-hati jangan sampai dia menyalahi syariat Rasul baik secara lahir maupun batin.” Jadi, makna “al-amr” atau perintah di sini adalah perintah Rasul, yakni Sunnah beliau.

Dalam ayat lain disebutkan,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُّبِين 
“Dan tidaklah patut bagi seorang mukmin maupun mukminah apabila Rasulullah telah menetapkan suatu perintah, mereka mempunyai pilihan sendiri untuk urusannya. Dan barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (Al-Ahzab: 36)

Menukil hadits yang diriwayatkan Imam Ath-Thabarani dengan sanad shahih dari Qatadah, Imam As-Suyuthi menyebutkan sebab turunnya ayat ini, bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melamar Zainab binti Jahsy untuk dinikahkan dengan Zaid bin Haritsah, mantan budak beliau. Zainab menyangka bahwa Nabi melamarnya untuk dirinya sendiri. Namun, setelah Zainab tahu bahwa lamaran itu ternyata untuk Zaid, dia pun menolak. Maka, Allah pun menurunkan ayat ini. Kemudian, Zainab pun menerima dan bersedia dinikahi oleh Zaid.”

Mengomentari ayat di atas, Syaikh Abdul Qadir As-Sindi berkata, “Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur`an yang bermakna seperti ini, semuanya adalah nash sharih dalam masalah wajibnya mengikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Dan, mengikuti Rasul ini tercerminkan dalam bentuk mengikuti Sunnah beliau yang shahih yang benar-benar berasal dari beliau.”

“An-Nur” Bermakna Sunnah
Allah Jalla wa ‘Ala berfirman dalam Kitab-Nya,
فَالَّذِينَ آَمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ 
“Adapun orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, dan menolongnya, serta mengikuti ‘an-nur’ yang diturunkan bersamanya; maka mereka adalah orang-orang yang beruntung.” (Al-A’raf: 157)

“An-nur” artinya cahaya. Dengan cahaya, seseorang bisa terbebas dari kegelapan. Dalam surat An-Nur ayat 35 disebutkan bahwa Allah adalah cahaya langit dan bumi. Dan dalam ayat ini, “an-nur” bisa bermakna Al-Qur`an dan bisa pula bermakna Sunnah, atau dua-duanya secara bersamaan. Bagaimanapun juga, Sunnah adalah cahaya. Dengan mengikuti Sunnah-lah seseorang bisa beragama dengan benar dan terbebas dari bid’ah serta ketergelinciran ke dalam perbuatan maksiat. Dengan mengikuti Sunnah, otomatis seseorang juga mengikuti Al-Qur`an. Demikian sebaliknya dan seharusnya. Dengan mengikuti Al-Qur`an, seorang muslim juga harus mengikuti Sunnah Nabi-Nya
.
Menafsiri ayat ini, Imam An-Nasafi berkata, “Ikutilah Al-Qur`an yang diturunkan dengan cara mengikuti Nabi dan mengamalkan Sunnahnya.” Sedangkan dalam Tafsir Al-Wasith disebutkan, bahwa “an-nur’ yaitu Al-Qur`an Al-Karim dan wahyu yang diturunkan kepada Nabi dalam Sunnah. Karena, yang dimaksud dengan “an-nur” adalah kata lain dari syariat Allah secara keseluruhan.

Dalam ayat lain disebutkan,
وَيُخْرِجُهُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيم
“Dan Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya (nur) dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al-Maa`idah: 16)

Syaikh As-Sa’di mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan “mengeluarkan mereka dari kegelapan” yaitu kegelapan kekafiran, bid’ah, maksiat, kebodohan, dan kelalaian. Sedangkan “kepada cahaya (nur),” maksudnya yaitu cahaya iman dan Sunnah, ketaatan, ilmu, dan dzikir.”

Dengan demikian, sesungguhnya Sunnah Nabi itu terdapat dalam banyak sekali ayat-ayat Al-Qur`an. Meskipun, sebagaimana kami katakan, tidak mutlak harus dengan menggunakan kata yang letterledge “Sunnah Nabi” atau “Sunnah Rasul.” Karena, dalam hal ini kita bisa menggunakan akal sehat kita. Apalah gunanya Allah mengaruniakan akal kepada kita kalau kita tidak memanfaatkannya untuk berpikir. Apalagi, Allah menyuruh kita –melalui ayat-ayatNya– untuk memaksimalkan pemikiran kita tanpa menuruti hawa nafsu.

Dan, sebagai orang berakal, tentu kita bisa membaca bahwa ada kata-kata tertentu dalam Al-Qur`an yang bermakna Sunnah. Sehingga, Sunnah sebagai sumber syariat Islam yang utama setelah Al-Qur`an adalah legitimate dari Pembuat syariat, alias sudah mendapatkan legitimasi dari Allah Ta’ala dalam Kitab-Nya. Tidak ada satu pun umat Islam yang mengingkari hal ini, selain orang-orang yang mempertuhankan hawa nafsunya. Mahabenar Allah dengan firman-Nya,
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
“Apakah kamu tidak melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya? Allah telah menyesatkan dia dalam ilmunya dan mengunci mati pendengaran serta telinganya, dan Dia membuat penghalang pada penglihatannya. Maka, siapakah yang akan memberinya petunjuk (setelah Allah sesatkan dia)? Apakah kalian tidak juga mau berpikir?” (Al-Jatsiyah: 23).

(bersambung..)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar